PRESENTED BY :
PROF. LAODE M. KAMALUDDIN,Ph.D
Rektorat Lt.II, 27 Februari 2012
16.00 – 22.15 WIB
Oleh : Marlis Herni Afridah
"Dan masa
(kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat
pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan
orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai)
syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang lalim, dan agar Allah
membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan
orang-orang yang kafir.”
(QS. Ali’-Imran [3]: 140-141)[1]
Sejarah Peradaban Islam (SPI) adalah program studi baru di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula). SPI dibentuk sebagai bukti komitmen Unissula terhadap visinya, yaitu membangun kembali kejayaan peradaban Islam di masa depan. SPI terdiri dari mahasiswa yang berasal dari seluruh fakultas di Unissula. Tiap fakultas rata-rata mengirimkan tiga mahasiswanya untuk belajar di SPI. Hingga kemudian jadilah SPI sebuah kelas yang plural, dimana berbagai dispilin ilmu saling berinteraksi untuk membentuk satu peradaban yang kokoh, yaitu peradaban Islam.
Salah satu tradisi baru di SPI adalah kuliah pakar.
Kuliah pakar dilakukan sekali dalam sebulan dengan mendatangkan para profesor
yang ahli di bidangnya. Kuliah pakar#1 dilaksanakan pada awal januari 2012
dengan menghadirkan seorang pakar “Islam di Asia Tengah”, Prof. DR. Abdul Karim
dari Jogjakarta. Kuliah pakar#2 baru saja usai diadakan pada tanggal 27
Februari 2012 dengan menghadirkan Prof. H. Laode M. Kamaluddin, M.Sc. M.Eng.
Beliau adalah rektor Unissula sekaligus realisator SPI yang sebelumnya telah
dikonsepkan oleh para pendahulunya.
Tema kuliah pakar#2 adalah “Sejarah Peradaban Barat”.
Namun dengan basis keilmuannya yang luas,
Prof Laode tidak hanya membahas sejarah peradaban barat. Beliau juga
menjabarkan sejarah berbagai peradaban yang pernah ada di muka bumi –yang
terekam oleh manusia- mulai dari Periode Sumeria, Mesopotamia, Mesir Kuno,
Yunani, Romawi, China, India, Islam, renaissance, industrial age, modern age,
hingga digital age dimana kita hidup
pada masa ini.
Tujuan beliau menjabarkan peradaban dengan sedemikian
luas adalah agar para mahasiswa mampu melihat suatu peradaban dalam dimensi
makro dan tidak terjebak dalam dimensi mikro semata. Beliau meyakini bahwa
pemahaman konsep keilmuan secara makro dapat membawa seseorang pada kearifan.
Menjadikannya lebih bijaksana memandang kehidupan dan toleran terhadap
perbedaan. Dengan memahami keilmuan dalam dimensi makro, seseorang tidak akan
terjebak dalam kesibukan mikro yang sia-sia. Implikasinya, ia bisa berbuat
lebih banyak untuk membangun peradaban yang dicita-citakannya.
Untuk memberikan gambaran awal tentang peradaban, beliau
menjelaskan bahwa setiap peradaban memiliki basic
philosophy, yaitu ruang gerak antara deterministik dari dogma dan realita.
Setiap peradaban juga selalu memiliki tiga unsur utama. Pertama adalah orang-orang
yang mampu menerjemah kosmos atau alam semesta, merekalah yang biasa dikenal
dengan sebutan pendeta, paderi atau sufi. Kedua adalah mereka yang mampu
merealisasikan apa yang telah diterjemah oleh kelompok pertama, yaitu para raja
atau penguasa. Kelompok ketiga adalah mereka yang ‘disuruh’ untuk melaksanakan
apa yang hendak direalisasikan oleh kelompok kedua. Kelompok ketiga terdiri
dari para pegawai, petani, atau pedagang.
Peradaban adalah puncak kebudayaan. Sebagaimana peradaban
Islam dengan visi rahmatan lil alamin, peradaban-peradaban lain juga memiliki visi
yang secara garis besar dapat dihimpun kedalam satu kata yaitu “Kemakmuran”.
Visi tersebut membuat tiap-tiap peradaban memiliki corak tersendiri dalam
mencapai tujuannya. Contohnya adalah Peradaban Mesir Kuno. Mesir Kuno
mengembangkan sektor pertanian untuk menciptakan kemakmuran. Nabi Yusuf AS
memiliki andil yang sangat besar dalam membangun pertanian di mesir. Dari sini
jelas, Prof Laode ingin menyatakan bahwa seorang nabi memiliki peran yang
fundamental dalam membangun suatu peradaban. Inilah peradaban dalam
epistimologi Islam dimana peran seorang nabi integral dengan pembangunan
peradaban. Dalam tradisi Barat, peran nabi tidak pernah terintegrasi dengan
peradaban. Tidak ada kaitan sama sekali.
Basic
philosophy tiap peradaban –terang prof
Laode- menentukan corak tiap-tiap peradaban. Babilonia yang tidak meyakini
kehidupan setelah mati, dengan basic filosofinya tersebut telah membangun tata
kota yang begitu indah. Mengapa demikian?? Karena kehidupan mereka adalah
kehidupan hari ini. Maka dari itu mereka tidak perlu mempersiapkan apapun
sebagai bekal setelah kematian. Mereka menganggap tidak ada kehidupan setelah
mati. Berbeda dengan Babilonia, Mesir Kuno meyakini filosofi “Ada kehidupan setelah kematian”. Basic philosophy ini mendorong mereka
membangun Piramida. Maka tata kota Mesir Kuno tidak seindah tata kota Babilonia,
namun Mesir Kuno memiliki Piramida-piramida yang besar dan kokoh. Kedua
peradaban tersebut memiliki fokus yang berbeda, menghasilkan corak peradaban
yang juga berbeda.
Peradaban yang kemudian muncul adalah Yunani. Yunani
muncul dengan corak yang berbeda dari peradaban-peradaban
sebelumnya yang cenderung bersifat dogmatis. Yunani muncul dengan satu ciri
khas yaitu kebebasan berpikir. Konon, tradisi intelektual pertama kali lahir
pada periode Yunani. Hal ini wajar mengingat posisi Yunani yang secara
geografis jauh dari dua pusat kekuasaan pada masa itu, yaitu Mesir Kuno dan
Babilonia. Dengan keadaan semacam ini, sangat memungkinkan bagi Yunani untuk
tumbuh dengan bebas. Yunani menandai perubahan tradisi peradaban-peradaban
sebelumnya dari tradisi sastra dan seni menjadi tradisi intelektual. Konsekwensi
logisnya, muncul transformasi penulisan dari huruf-huruf paku Babilonia dan
gambar-gambar di Mesir kuno menjadi tulisan. Dalam periode Yunani terjadi
penulisan historis pertama dalam sejarah umat manusia.
Menelusuri peradaban dari awal hingga kini, nampaklah
bahwa peradaban merupakan dunia yang sangat dinamis. Prof Laode menyebutnya “Never ending story”. Membangun
peradaban Islam dewasa ini sejatinya tidak cukup dengan hanya berkaca pada
peradaban Islam di masa lalu karena peradaban Islam di masa lalu hanyalah satu
serpihan dari sejarah panjang peradaban umat manusia. Jika kita berkenan
menelaah kembali surat Ali’-Imran ayat 140-141, nampak jelas bahwa Allah
menghendaki kita untuk mempelajari peradaban secara makro (meminjam istilah
Prof Laode) agar kita mendapat pelajaran. Fenomena kejayaan dan kehancuran
suatu peradaban, dan beriman atau kafirnya masyarakat suatu peradaban menyimpan
pembelajaran bagi umat manusia dan berimplikasi bagi keimanan (Supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman dengan orang-orang yang kafir)[2].
Karena jika tidak demikian, Allah toh
mampu untuk menciptakan seluruh dunia ini dalam keadaan homogen, Islam
seluruhnya. Jika Dia menghendaki, seluruh dunia bisa dijadikan-Nya beriman dan
bertaqwa hanya kepada Allah. Namun yang dikehendaki-Nya dari kita adalah ujian “Yang menciptakan hidup dan mati untuk
menguji kamu siapa yang paling baik amalnya”[3].
Dalam konteks ini, mempelajari peradaban secara makro dapat mengakomodir
kehendak-Nya. Dengan demikian, mempelajari peradaban secara makro menjadi
niscaya bagi kita terutama mereka yang concern
di bidang peradaban seperti mahasiswa SPI .
Geliat peradaban Barat mulai nampak pada masa renaissance. Mereka mendefinisikan
dirinya sebagai suatu peradaban yang elemen-elemen filsafat, epistimologi,
pendidikan, etika dan estetikanya diadopsi dari Yunani, elemen-elemen hukum,
pemerintahan dan tata negaranya diadopsi dari romawi, sistem kepercayaannya
diadopsi dari Yahudi dan Kristen dan nilai-nilai tradisionalnya diadopsi dari bangsa
latin, cheltic, dan nordic serta bangsa-bangsa di kawasan Eropa pada waktu itu.
Namun satu pertanyaan mendasar muncul disini. Bagaimana Barat
mentransfer filsafat yunani ke dalam periodenya?? Prof Laode menyatakan bahwa
Barat tidak pernah bisa menjawabnya –atau tidak berkenan untuk menjawab.
Realitanya, Barat dapat mentrasfer filsafat Yunani dengan jasa peradaban Islam
yang saat itu sedang berjaya. Di saat Barat takut menyentuh teks-teks
Aristoteles karena khawatir hal itu akan membahayakan keimanannya, dunia Islam
telah menterjemah dan mengkajinya. Islam memperkenalkan semangat rasional
kepada Barat, Islam juga yang memperkenalkan Barat pada Yunani. Bahkan sistesis
teologi Thomas Aquinas yang terkenal, Summa
Theologiae disusun dengan logika Aristoteles yang dikenalkan Islam kepada
Barat. Islam adalah stimulus bagi lahirnya renaissance
di Barat yang saat itu masih diliputi dark
age, zaman kegelapan.
Dalam hal transisi peradaban dari masa helenistik sampai renaissance, Barat tidak pernah
menyinggung Islam dan dua peradaban timur lainnya, China dan India. Maka dalam
hierarki peradaban dari periode awal hingga renaissance,
Islam, China dan India berada dalam Black
box yang tidak dianggap. Padahal renaissance
untuk pertama kalinya lahir di Sisilia
(Italia) yang dikuasai Muslim. Dari sini nampak jelas bahwa Islam memicu
kebangkitan Eropa. Islam adalah cikal bakal lahirnya renaissance.
Saat mengalami masa kegelapan, barat berada di bawah
kekuasaan gereja yang sangat otoriter. Penekanan-penekanan gereja pada
masyarakat luas baik dalam sektor publik maupun domestik membuat masyarakat
gerah. Gereja bahkan mulai membisniskan surat pengampuan dosa untuk membangun
Roma. Hal ini kemudian memicu protes dari Martin Luther, seorang pendeta
kebangsaan Jerman. Ia kemudian mendirikan sekte kristen yang berbeda dengan
Katolik dan kemudian dikenal dengan nama kristen protestan.
Kekecewaan terhadap gereja juga ditandai dengan eksodus
orang-orang kelas menengah menuju Amerika. Mereka kemudian dikenal dengan
sebutan kaum calvinis. Filsafat
mereka adalah “Bekerja keras. Siapapun
yang sukses mereka adalah saudara kita”. Eksodus ini juga merupakan cikal
bakal lahirnya renaissance yang
ditandai dengan semakin banyaknya orang yang meninggalkan gereja. Dalam hal
eksodus ke Amerika ini lagi-lagi Islam memainkan peran yang penting.
Sebagaimana diketahui, saat itu orang-orang Eropa meyakini bahwa bumi berbentuk
datar atau flat. Mereka percaya jika
pergi ke ujung dunia mereka pasti akan terjatuh. Namun ilmu kelautan umat Islam
saat itu telah berkembang pesat. Umat Islam meyakini bahwa bumi berbentuk
bulat, gagasan ini lahir dari seorang ulama bernama Umar Khayyam. Christophorus
Columbus yang disebut-sebut sebagai penemu benua Amerika belajar kelautan dari
dunia Islam.
Babak selanjutnya dari sejarah peradaban manusia adalah
periode industri atau industrial age.
Periode ini ditandai dengan pergeseran konsentrasi manusia dari teologi ke
sains. Pada periode ini, terjadi industrialisasi besar-besaran. Sebagai
akibatnya, bangsa-bangsa di Eropa berlomba-lomba mencari tanah jajahan. Tujuan
mereka mencari tanah jajahan adalah untuk menemukan sumber bahan produksi industri
sekaligus untuk mendapatkan pasar bagi barang produksi mereka. Akhirnya, muncullah
koloni-koloni Eropa di berbagai wilayah. Muncul wilayah-wilayah jajahan baru.
Indonesia termasuk di dalamnya. Periode ini juga mulai menggeliatkan suatu perubahan
dimana tenaga manusia diganti dengan tenaga mesin. Para buruh akhirnya harus
rela dibayar lebih murah karena jasa mereka telah digantikan oleh mesin yang
dapat bekerja lebih efektif dan efisien. Mesin pertama yang ditemukan dan
mengawali lahirnya periode Industri adalah mesin uap yang ditemukan oleh James
Watt.
Periode selanjutnya yaitu periode modern atau modern age. Periode ini bermula dari
abad ke-18 hingga sekitar akhir abad ke-20 (tahun 1999). Periode ini tidak
ditandai dengan peperangan untuk mewujudkan supremasi kekuasaan suatu wilayah
kerajaan. Periode modern ditandai dengan lahirnya negara-negara dan munculnya
perdagangan bebas antar negara serta kompetisi pengembangan teknologi angkasa
luar. Uni Soviet dan Amerika memainkan peranan penting pada periode ini.
Periode selanjutnya yang hari ini kita rasakan, dan masih
akan berlanjut di masa depan adalah periode digital atau digital age. Pada era digital terjadi perubahan fundamental dalam
budaya kehidupan masyarakat. Dunia di era digital adalah dunia yang datar
karena internet telah menghubungkan seluruh manusia di berbagai pelosok dunia
secara real time.[4] Kini tidak ada jarak yang berarti. Arus
informasi begitu deras. Apa yang didengar orang di Amerika Serikat dapat
didengar orang di Indonesia pada waktu yang sama meskipun berada di tempat yang
berbeda.
Pada era digital telah terjadi revolusi 3T, yaitu
Telekomunikasi, transportasi, dan turisme. Telekomunikasi melahirkan informasi.
Kemudian orang mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain karena sistem
transportasi yang cangggih dengan harga murah. Turisme juga mengalami
perkembangan yang signifikan.
Di era digital ini juga terjadi satu fenomena besar,
yaitu pergeseran peta kekuaatan global. Kekuatan global kini bergeser ke timur.
Asia kini memegang peranan penting sebagai hemisfer baru dunia. runtuhnya
supremasi Amerika Serikat dan Uni Eropa akibat krisis global tidak serta merta
meruntuhkan ekonomi dunia. Justru hari ini muncul kekuatan besar empat negara
yang menjaga stabilitas ekonomi dunia. Keempat negara tersebut adalah Brasil,
Rusia, India dan China (BRIC). Disamping BRIC juga ada beberapa negara yang
hari ini berperan sebagai penyangga ekonomi dunia yaitu Indonesia, Korea,
Vietnam, Turki, Afrika Selatan dan Argentina. Kini Asia –terutama China dan
India- menentukan bagaimana peta peradaban di masa mendatang.
Kembalinya Asia ke atas panggung utama kekuatan global
diawali dengan fenomena restorasi Meiji di Jepang. Pada tahun 1860, sekelompok
reformator Meiji – yang ditugaskan untuk meluputkan Jepang dari ancaman
kolonisasi dan dominasi barat yang hampir telah melanda seluruh Asia- berlayar
ke semua daerah di masyarakat Barat untuk menemukan praktik-praktik terbaik Barat.
Orang Jepang itu menarik pelajaran dengan baik : mereka menemukan –sebagaimana
empat macan Asia kemudian menemukannya dan disusul China dan India yang
menyadari belakangan dalam dua dekade terakhir- bahwa ada sekurang-kurangnya
tujuh pilar kebijaksanaan barat yang dapat membawa efek menakjubkan pada
masyarakat mereka. Setiap pilar itu memperkuat efek pilar yang lain.
Tujuh pilar itu adalah [1]ekonomi pasar bebas, [2]sains
dan teknologi, [3]meritokrasi, [4]pragmatisme, [5]budaya perdamaian, [6]aturan
hukum, dan [7]pendidikan. Dengan mengimplementasikan tujuh pilar ini masyarakat
Asia mulai lepas landas.[5]
Namun yang dilakukan Barat hari ini adalah kebalikan dari apa yang dilakukan
Asia. Barat justru meninggalkan tujuh pilar kebijaksanaan yang dulu dibangunnya
dengan susah payah. Inkonsistensi tersebut membuat Barat tidak dapat mengelak
dari perubahan –ke arah kemunduran. Dalam kuliahnya Prof.Laode menyampaikan,
bahwa faktor utama penyebab kemunduran peradaban adalah [1]hedonisme,
[2]pertikaian, dan [3]ketidak adilan.
****
Dalam upaya membangun kembali peradaban Islam, Prof. Laode
mengatakan bahwa umat Islam lazimnya bisa ambil bagian dalam perubahan zaman.
Zaman kita hari ini berbeda dengan zaman Umayyah atau Abasiyah pada masa kejayaan
Islam dahulu. Islam hari ini adalah Islam di era digital, maka pembangunannya –
secara fisik- harus berorientasi ke depan sesuai era digital, dengan tanpa
meninggalkan semangat dan karakteristik peradaban Islam di masa lalu. Karena
semangat dan karakter yang ada pada generasi Islam di masa lalu -seperti
kejujuran, integritas, persatuan, pengorbanan, keikhlasan,dll- selamanya
relevan dan sangat penting untuk kebangkitan peradaban manapun, terutama
peradaban Islam itu sendiri.
Jika ingin bangkit, muslim hari ini setidaknya harus
menguasai sains dan teknologi, militer dan perdagangan. Karena yang akan
memimpin peradaban adalah mereka yang memiliki tiga hal tersebut. Niccolo
Machiavelli sangat menekankan pentingnya suatu negara memiliki angkatan
bersenjata yang tangguh.[6]
Tanpa militer yang tangguh, suatu peradaban tidak akan dapat menciptakan
kedamaian. Mengapa demikian?? Karena sejatinya kedamaian hanya dapat diciptakan
oleh mereka yang kuat tapi tidak bermaksud menyakiti yang lain. Jika suatu
negara atau peradaban tidak ingin menyakiti lainnya tapi tidak memiliki
kekuatan, maka ia akan menjadi objek penyerangan dari yang lain. Jika ia kuat
dan menginginkan perdamaian, maka tidak akan ada yang menyerangnya karena pihak
lain akan berpikir seribu kali ketika melihat kekuatan yang ada padanya. Dengan
demikian kedamaian dapat tercipta[7].
Peradaban yang kuat juga memiliki tiga pilar penting,
yaitu [1]politik, [2]ekonomi, dan [3]militer. Tiga pilar ini dibangun dengan
apik oleh Amerika Serikat pada masa kejayaannya. Supremasi politik dilambangkan
dengan White House dan Capitol Hill, supremasi ekonomi
dilambangkan dengan Wall Street dan
militer dilambangkan dengan Pentagon.
Membangun
Peradaban Islam dengan Competitive
Advantage
Dunia berubah. Corak pembangunan peradaban juga bisa
berubah. Prof.Laode menjelaskan, setidaknya ada dua cara membangun peradaban.
Pertama adalah dengan comparative
advantage dan kedua competitive
advantage. Comparative advantage adalah membangun peradaban dengan
membanding-bandingkan dengan peradaban lain. Seolah-olah menggambarkan suatu keadaan
lose-win dan bukan win-win. Jika peradaban kita terbangun,
maka peradaban lain mati. Tidak jarang comparative
advantage berujung pada praktek keilmuan yang tidak dewasa atau dengan kata
yang lebih jelas –menjelek-jelekkan peradaban lain. Comparative advantage mungkin mengaminkan tesis Samuel Huntington
dalam bukunya Clash of Civilization.
Dalam Clash of Civilization,
seolah-olah suatu peradaban tidak akan hidup tanpa memiliki musuh yaitu
peradaban lain.
Competitive
advantage memiliki logika yang sama
sekali berbeda dengan comparative
advantage. Filsafat competitive
advantage adalah “siapa yang unggul
dialah yang akan menentukan permainan”. Maka competitive advantage berorientasi pada pembangunan peradaban dari
tubuh sendiri, dengan segenap upaya yang ada tanpa harus membanding-bandingkan
–apalagi menjelek-jelekkan- peradaban
lain. Competitive advantage digambarkan
dengan apik oleh Nabi Muhammad SAW saat membangun peradaban Islam di Madinah.
Ketika Nabi menerima laporan bahwa ajakannya kepada Kaisar Romawi, Heraclitus
untuk berpegang pada keyakinan yang sama (kalimatun sawa’) ditolak dengan
halus, Nabi hanya berkomentar pendek “Sa
uhajim al-ram min uqri baiti”yang artinya akan kuperangi Romawi dari dalam rumahku. Ucapan Nabi itu bukan
genderang perang. Ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik. Tidak juga
menyakiti Romawi. Ucapan tersebut justru menunjukkan keagungan risalah yang
dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di Jazirah Arab yang tandus Nabi
yakin bahwa kelak Islam akan berkembang menjadi peradaban yang besar bahkan
mengalahkan Romawi[8].
Apa yang dilakukan Nabi kemudian bukanlah
membanding-bandingkan Islam dengan Romawi atau justru menjelek-jelekkan Romawi.
Yang dilakukan Nabi adalah fokus membangun peradaban Islam di dalam tubuh
masyarakat Islam sendiri dengan ilmu pengetahuan hingga Madinah mencapai
kemajuan di segala bidang kehidupan. Akhirnya, kemajuan tersebut tanpa terasa
mampu melebihi kedigdayaan Romawi. Inilah contoh competitive advantage yang dikembangkan Nabi Muhammad Saw.
Membangun diri sebaik mungkin bukan menyerang yang lain secara membabi buta.
Apa yang dilakukan Nabi sejatinya itulah yang seharusnya ditiru umat Islam dewasa
ini dalam membangun peradaban Islam.
Bagaimana peradaban Islam dimasa depan bergantung pada
bagaimana kita membangunnya pada hari ini. Logika umat Islam yang meyakini bahwa hari ini adalah cermin masa lalu, hari ini adalah hasil dari apa yang
kita kerjakan di masa lalu harus diubah menjadi apa yang kita kerjakan hari ini adalah cermin masa depan. Meskipun
dua kalimat tersebut nyaris sama tapi memiliki makna yang jauh berbeda. Filsafat
”hari ini adalah cermin masa lalu, hari
ini adalah hasil dari apa yang kita kerjakan di masa lalu” tidak akan
membuat suatu peradaban menjadi unggul karena hari ini tidak lebih hanyalah
hasil yang seolah-olah telah final. Filsafat “apa yang kita kerjakan hari ini adalah cermin masa depan”, sebaliknya,
membuka kesempatan bagi suatu peradaban untuk menjadi unggul karena filsafat
tersebut membuka peluang untuk lahirnya inovasi-inovasi baru. Jika yang pertama
adalah hasil, maka yang kedua adalah ikhtiar. Kita bisa mengupayakan hari ini
sebaik mungkin untuk hari depan yang lebih baik. Karena sejatinya peradaban
tidak ditentukan oleh barat atau timur, tidak ditentukan oleh warna kulit,
hitam atau putih tapi ditentukan oleh talenta orang-orang yang berada dalam
suatu kaum yang hendak mewujudkan suatu peradaban[9].
Maka bagaimana peradaban Islam di masa depan ditentukan oleh umat Islam
sendiri.
Pesan dan
Harapan Prof.Laode Terhadap Mahasiswa SPI
Apa yang diharapkan beliau dari para mahasiswa SPI
tidaklah berlebihan tapi cukup menjadi tanggungan seumur hidup bagi mereka.
Beliau berpesan “Profesi apapun yang kelak kalian pilih hendaklah menjadi suatu
strategic point untuk menunjang
kehidupan. Fokuskan hidupmu pada kata “being”,
yaitu menjadi pejuang bagi peradaban Islam melalui apapun yang menjadi
jalan hidupmu”.
“Kamu menulis, berkarya, bekerja tapi jangan sekali-kali
malu menjadi seorang muslim. Jadilah muslim yang berkualitas karena ketika kamu
memiliki kualitas, maka kualitas itu yang akan menjaga dirinya”. “Hari ini
kalian memang masih kecil, tapi jangan takut saat kecil, karena segala yang
besar berawal dari yang kecil. Tidak ada yang besar kecuali awalnya kecil.
Tidak ada yang besar tanpa adanya kecil”.
Dan akhirnya, “Engkau yang menentukan hari depanmu. kalau
tidak yakin jangan berdiri, kalau sudah berdiri jangan duduk”.
Wallahua’lam
bissawwab
Walillahi al masyriq wa al maghrib (Dan milik Allah lah Timur dan Barat).
BalasHapusKira-kira itu kata kuncinya, bahwa seluruh umat manusia harus sadar betul tentang milik siapa alam semesta ini. Manusia yang dilahirkan di Timur maupun di Barat.
Tulisan Mba Marlis di atas menggambarkan betapa luasnya wawasan dan pandangan Prof Laode. Tidak mudah untuk memahami dunia yang luas ini kalau tidak mempunyai titik temu yang benar. Dan Prof laode berhasil mendapatkan titik temu itu. Dan lebih beruntungnya, pemaparan yang sangat berharga tersebut berhasil direkam secara apik dengan bahasa yang cukup menarik oleh salah satu mahasiswanya.
Itulah salah satu tradisi keilmuan islam yang selama ini hilang. Hanya sangat sedikit saja tradisi keilmuan islam seperti yang terjadi di atas kita temukan di Indonesia.
Bahkan, saya pribadi sangat iri karena tidak ada dalam kelas perkuliahan peradaban ini.
Namun, ada beberapa poin yang harus saya sebutkan agar tulisan mba Marlis lebih baik. Walaupun, saya sendiri belum tentu bisa membuat tulisan yang sarat informasi seperti di atas.
Yang pertama:
- Mba marlis bisa menambahkan data urutan waktu (tahun)di tiap peradaban yang disebut/dibahas. Karena kajian peradaban cukup erat dengan hisotris, dan historis sangat berkaitan dengan waktu. Maka pembaca akan lebih sadar ada urutan waktu yang terus berganti, yang menjadi penekanan/penjelasan pada ayat yang Mba Marlis cantumkan. Dan mungkin bisa dikaitkan dengan siklus 7 abad yang pernah dilontarkan Pak Hamid Fahmi Zaskasyi.
Yang kedua:
- Penguatan pendapat Pak Laode tentang penyebab kehancuran perdaban (Hedonisme, Pertikaian, Ketidakadilan) dan tiga pilar peradaban ataupun negara (Teknologi, Militer, Perdagangan). Sebenarnya bukan pendapat pak Laode. Namun Pak Laode mengaambilnya dari buku Muqoddimah-nya Ibnu Kholdun. Sah-sah saja memang itu menjadi pendapat pak Laode. tapi mungkin ketika di kelas, mba marlis bisa menanyakan, siapa yang berpendapat demikian. Pak Laode insyaAllah menyebutkan data-data pustakanya. Karena itulah, lagi-lagi saya sebutkan sebagai proses tradisi inteletual Islam.
after all, It is great work of you!
Makasih atas komentarnya yang sangat mencerahkan mas..:)
Hapusini sangat bermanfaat untuk bahan perbaikan tulisan daya ke depan..
thanks yaa...:D