STUDI KRITIS TERHADAP MAHAKARYA
NICCOLO MACHIAVELLI
IL PRINCIPE
Oleh : Marlis Herni Afridah
Oleh : Marlis Herni Afridah
Pendahuluan
Kekuasaan sering menarik minat manusia melebihi apapun. Adagium “power is sweet” yang menggambarkan indahnya kekuasaan sudah sangat terkenal. Maka dari itu, adalah wajar jika begitu banyak orang mengingingkannya, meskipun tidak sedikit pula yang menghindarinya. Masing-masing memiliki motivasi yang berbeda.
Kekuasaan sering menarik minat manusia melebihi apapun. Adagium “power is sweet” yang menggambarkan indahnya kekuasaan sudah sangat terkenal. Maka dari itu, adalah wajar jika begitu banyak orang mengingingkannya, meskipun tidak sedikit pula yang menghindarinya. Masing-masing memiliki motivasi yang berbeda.
Sejak semula, kekuasaan selalu berwajah dua. Mempesona
sekaligus menakutkan. Hierarki kehidupan dunia tak pernah lepas dari masalah
kekuasaan, maka dari itu kekuasaan selalu menjadi objek yang terus dikaji. Kajian-kajian
ini sering kali membawa implikasi yang jauh melampau zamannya. Membawa dunia ke
arah perubahan. Sejarah mencatat seorang filosof politik, ahli siasat yang karyanya
tentang kekuasaan telah merubah paradigma para penguasa dunia dan mempengaruhi
kebijakan-kebijakannya. Bahkan terhadap hal yang sangat fundamental.
Pemikirannya membawa perubahan terhadap tata dunia. Banyak para penguasa mendengar nasehat-nasehatnya. Karena para penguasa-penguasa tersebut terdorong untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia adalah seorang filosof politik yang hidup pada masa renaissance di Barat, Niccolo Machiavelli yang dikenal dunia dengan masterpiece-nya Il Principe – Sang Penguasa. Sebuah mahakarya abad pertengahan yang berisi nasehat kepada para penguasa tentang seni untuk mempertahankan kekuasaan. Menarik untuk ditelaah, memang.
Pemikirannya membawa perubahan terhadap tata dunia. Banyak para penguasa mendengar nasehat-nasehatnya. Karena para penguasa-penguasa tersebut terdorong untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia adalah seorang filosof politik yang hidup pada masa renaissance di Barat, Niccolo Machiavelli yang dikenal dunia dengan masterpiece-nya Il Principe – Sang Penguasa. Sebuah mahakarya abad pertengahan yang berisi nasehat kepada para penguasa tentang seni untuk mempertahankan kekuasaan. Menarik untuk ditelaah, memang.
Biografi
Singkat Niccolo Machiavelli
Machiavelli hidup pada tahun 1469-1527 di Florence, sebuah
negara-kota di Italia yang sangat terkenal dengan kebudayaannya. Florence
tampak megah dengan banyaknya bangunan gereja, biara, dan katedral sebagai
lambang kebudayaan teosentris, ciri
khas kebudayaan abad pertengahan. Para penguasa tertinggi negara kota itu
berasal dari keluarga-keluarga aristokrat yang mengalami peningkatan status
sosial karena kecipratan hasil perniagaan negara-kota Florence yang maju. Namun
demikian, sejarah politik negara-kota Florence merupakan rentetan pengalaman
pasang surut perkembangan dan perubahan
hukum, undang-undang dan konstitusi negara yang berlangsung secara cepat dan
drastis. Sementara itu, eksistensi Florence selalu terancam dari luar oleh
serbuan pasukan militer Perancis dan Spanyol. Kota-kota di Italia selalu
menjadi sasaran empuk perampokan pasukan-pasukan militer tersebut. Sebuah
situasi yang tidak menyenangkan.
Kota kebudayaan Florence selalu dilanda situasi politik
yang tidak stabil. Carut marut. Para bangsawan berebut kekuasaan dengan
berbagai intrik politik yang melahirkan bentrokan-bentrokan politik di atas
panggung kekuasaan[1].
Machiavelli hidup pada masa tersebut dalam pasang surut dinamika politik yang penuh
intrik untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Machiavelli adalah seorang
politikus praktis. Apa yang ditulisnya dalam Il Principe adalah sekian banyak pengalaman dan pengamatannya
terhadap hiruk piruk dunia politik dalam upaya untuk mencapai satu cita-cita:
kekuasaan.
Machiavelli muda kemudian terlibat dalam hiruk piruk
dunia politik. Ia bersinggungan dengan upaya-upaya para penguasa dalam
membangun dan mempertahankan kekuasaannya. Ia berjaya, kemudian jatuh, berjaya
lagi dan jatuh kembali. Asam garam yang telah dirasakannya dalam kehidupan
politik mendorongnya menulis dan menghadiahkan sebuah karya kepada seorang raja
yang sedang berkuasa di Florence, Lorenzo De’ Medici. Karya yang kemudian
sangat dikenal dunia berjudul Il Principe.
Ia menghadiahkan karya tersebut kepada Lorenzo De’
Medici, seorang raja yang konon sangat berjasa dalam membangun kemakmuran di Florence.
Ia bertindak sebagai sponsor besar untuk pengembangan kesenian seperti sastra,
seni pahat, seni rupa, dan seni bangunan. Ia mengembangkan perdagangan sedemikian
rupa hingga Florence bertumbuh menjadi salah satu pusat perdagangan yang maju
dan diperhitungkan. Ia juga membuat situasi politik menjadi lebih stabil.
Machiavelli menghadiahkan Il Principe
kepada Lorenzo De’ Medici tentu bukan tanpa tujuan. Fenomena ini bisa jadi
merupakan sarana unjuk gigi Machiavelli kepada sang raja untuk membuktikan kualitas
dirinya sebagai ahli siasat politik yang adiluhung.
Ini wajar, mengingat saat Il Principe
ditulis, ia sedang tersingkir dari panggung politik dan kekuasaan negara-kota Florence.
Il Principe : Sebuah Mahakarya Machiavelli
Seperti apakah Il
Principe yang sangat terkenal itu? Buku fenomenal yang pertama kali terbit
di Italia pada tahun 1517 itu telah menggemparkan dunia. Beberapa menyebutnya
amoral, tapi sebagian yang lain justru mendapat ilham setelah membacanya. Pada
abad ke-20, teori-teori politik Machiavelli dalam Il Principe dipraktekan oleh hampir semua bangsa. Machiavellianisme
bahkan sangat menonjol dalam praktek hubungan internasional pada masa itu. Adolf
Hitler dan Benito Mussolini, dua tokoh fasisme terbesar abad 20 sangat
terpengaruh oleh pemikiran politik Machiavelli. Napoleon Bonaparte, sang
diktator Perancis, konon selalu menyelipkan Il
Principe di bawah bantal kepalanya saat tidur.
Ajaran-ajaran Machiavelli dalam Il Principe sangat berpengaruh terhadap tata kelola kekuasaan dan
negara di berbagai belahan dunia. Ajaran-ajarannya tentang sikap negara dalam
memilih kawan dan lawan dipraktekan bangsa-bangsa di dunia dalam perang dunia
kedua. Tidak hanya itu, rupanya para founding
father Republik Indonesia yang alam pikirannya dipenuhi cita-cita untuk membangun
negara kebangsaan (nation-state) juga
dipengaruhi oleh ide nation-state
yang berkembang di Eropa pada abad ke-19 saat Machiavelli dipulihkan nama
baiknya –setelah sebelumnya sempat diklaim amoral- dan diangkat sebagai Nabi Pembangunan Negara
Kebangsaan.
Pandangan
Machiavelli dalam Il Principe
Il
Principe berisi pembahasan beberapa
pandangan Machiavelli tentang politik dan kekuasaan. Pandangannya dalam Il Principe dapat dikelompokkan menjadi
empat, yaitu [1]realitas politik, [2]politik dan moralitas, [3]angkatan
bersenjata dan patriotisme, dan [4]sikap terhadap agama.
[1]Realitas Politik
Machiavelli memahami realitas politik bertolak dari
pengalamannya sebagai seorang negarawan. Dalam kedudukannya sebagai duta besar,
ia sering mengunjungi negara-negara lain dan aktif dalam hubungan internasional
yang ternyata hanya diwarnai oleh kepentingan masing-masing negara . Tidak
kurang tidak lebih. Menurutnya, hubungan internasional saling memanipulasi demi
kepentingan nasional masing-masing bangsa. Wajah realitas politik dapat
ditemukan terutama pada profil para pemimpin bangsa dan pola manajemen yang
digunakan untuk mengatur bangsanya.
Machiavelli melihat praktek politik nyata dari suatu
negara pada tingkah laku penguasa dalam merebut kekuasaan dari rezim lama, yang
kalau perlu menggunakan kekerasan dan kekuatan (militer) untuk mempertahankan
kekuasaan. Bila ada peluang dan kesempatan, maka perlu memperluas ruang
kekuasaannya ke segala bidang kehidupan bangsa dan negara untuk melanggengkan
dan melestarikan kekuasaan itu sebelum kekuasaan merosot dan hancur karena
muncul dan bangkitnya rezim baru yang datang kemudian.
Ia menghimbau bahwa sebaiknya para penguasa tidak
menenggelamkan diri dalam mewujudkan cita-cita moral dan religius, melainkan
penguasa harus secara lihai memanfaatkan situasi untuk mempertahankan
kekuasaan. Ia menyarankan tindakan nyata yang harus diambil oleh para penguasa
untuk mencapai –terutama- tujuan jangka pendek yang lebih urgent bagi seorang politikus ketimbang tujuan jangka panjang yang
lebih diminati golongan moralis. Jangan sampai tujuan jangka panjang yang
bersifat moralitas semata merusak kepentingan jangka pendek negara yang jauh
lebih mendesak.
Untuk mendapat dukungan rakyat, ia menyarankan para
penguasa untuk memanfaatkan kekuatan nyata seperti legalitas konstitusional
guna melancarkan aksi-aksi politik. Ia juga harus memanfaatkan bonafiditas
lembaga-lembaga agama untuk membangun opini publik bahwa ia adalah seorang penguasa
pendukung moralitas. Untuk mengalihkan perhatian rakyat dari politik, seorang
penguasa perlu menyediakan hiburan publik dan sarana olahraga. Selanjutnya, ia
menjelaskan bahwa sejatinya rakyat sangat mudah dibohongi dan dimanipulasi
dukungannya melalui penampilan seorang penguasa yang menarik dan persuasif,
karena rakyat hanya butuh ilusi yang kuat agar mudah diyakinkan. Dan itu
tidaklah sulit.
[2]Politik dan Moralitas
Machiavelli hidup saat kehidupan religius mengalami chaos dan terjadi disintegrasi moralitas
publik. Hal ini mempengaruhi pemikirannya dalam memandang kehidupan, terutama
kehidupan bernegara. Baginya, yang terpenting bukanlah moral sebagai legitimasi
kekuasaan, tapi bagaimana caranya agar politik dan kekuasaan bisa stabil dan
lestari.
Machavelli berpendapat bahwa penguasa bukanlah
personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Ia menganut semacam sinisme
moral. Baginya, politik dan moralitas adalah dua hal yang terpisah dan tidak
dapat disatukan. Tidak ada tempat bagi moralitas dalam politik. Yang terpenting
adalah bagaimana cara meraih dan kemudian melestarikan kekuasaan. Inilah tujuan
berpolitik bagi Machiavelli. Maka, segala cara untuk mencapai tujuan tersebut
dapat dibenarkan.
Menurutnya, seorang penguasa boleh saja melanggar
perjanjian dengan negara lain, bahkan dengan rakyatnya sendiri sejauh itu
menguntungkan baginya. Dalam situasi perang, negara tidak boleh bersikap
netral, melainkan harus memihak pada negara yang lebih kuat yang diperkirakan
akan memenangkan peperangan. Karena ini akan menguntungkan penguasa.
Sebaliknya, menurutnya tidak ada keuntungan yang didapat jika dalam situasi
perang negara bersikap netral.
Machiavelli juga menekankan pentingnya oposisi dalam
membangun negara yang kuat. Baginya, negara yang kuat membutuhkan oposisi yang
kuat untuk menyempurnakan pola manajemen kekuasaannya. Karena baginya, tujuan
akhir dari perjuangan seorang penguasa adalah kemuliaan dirinya sendiri.
[3]Angkatan Bersenjata dan Patriotisme
Pemerintahan yang baik harus dibangun di atas dasar yang
kuat agar stabil. Dasar tersebut adalah sistem hukum yang baik dan angkatan
bersenjata yang baik. Namun bagi Machiavelli, tidak ada sistem hukum yang baik
tanpa didahului pembangunan angkatan bersenjata yang baik. Karena baginya,
angkatan bersenjata yang baik akan menjamin sistem hukum yang baik pula. Negara
yang tangguh adalah negara yang memiliki militer tangguh dan berdisiplin
tinggi. Maka, dapat disimpulkan bahwa Machiavelli berpandangan bahwa tumpuan
perjuangan politik terletak pada senjata. Senjata adalah sesuatu yang suci
dalam perjuangan politik.
Untuk menjaga stabilitas keamanan negara, seorang
penguasa dapat memanfaatkan jasa tentara bayaran. Namun Machiavelli sangat
menekankan untuk menghindari penggunaan jasa tentara bayaran karena menurutnya
penggunaan jasa tentara bayaran sangat
berbahaya bagi eksistensi negara jika negara berada dalam keadaan darurat.
Bagaimanapun tentara bayaran bekerja demi uang. Mereka tidak akan rela menukar
nyawanya demi mengamankan kekuasaan seorang raja.
Machiavelli menyarankan para penguasa agar membentuk
organisasi militer secara baru, dan itu harus terdiri dari orang-orang pilihan
dari rakyatnya sendiri. Karena rakyat memiliki jiwa patriotisme. Semangat
patriotisme yang dimiliki rakyat tidak pernah dimiliki tentara bayaran. Dengan
patriotisme, kesatuan negara dapat dipelihara, dan kekuasaan dapat diamankan.
Agar organisasi militer yang terbentuk bisa sejalan dengan kehendak penguasa,
machiavelli menyarankan penguasa untuk membatasi panglima militer dengan
undang-undang. Undang-undang tersebut
mencegah menyimpangnya kebijakan yang dibuat panglima militer dari apa yang
dikehendaki penguasa.
Saran-saran Machiavelli bukan sembarang. Ia telah lama
membangun kompetensi sebagai penasihat
bidang pertahanan dan keamanan negara Florence. Maka ia memiliki banyak ilmu
dan pengalaman dalam hal kekuasaan. Untuk efektivitas terealisasinya tujuan
politik, Machiavelli menyarankan penguasa untuk mengembangkan doktrin militer
yang diselaraskan dengan tujuan politiknya. Ia berpendapat bahwa wajib militer
bisa menjadi sarana yang efektif untuk melindungi negara dan mempertahankan
kekuasaan dibanding tentara bayaran. Tentara yang berasal dari rakyat akan
bertempur mati-matian untuk membela negara, apalagi jika mereka bisa diyakinkan
dengan doktrin perjuangan bahwa pemenang perang akan menentukan nasib bangsa
dan negara di masa depan.
[4]Sikap Terhadap Agama
Italia pada masa Machiavelli hidup adalah bangsa yang
sedang mengalami kemerosotan moral. Kemerosotan moral berbahaya bagi masa depan
Italia. Faktor utama penyebab kemerosotan moral itu adalah skandal-skandal
moral yang dilakukan oleh pangeran-pangeran gereja pada masa itu yang
menyebabkan terjadinya disintegrasi moral publik. Skandal-skandal dalam
kehidupan gereja itu menimbulkan chaos
dalam kehidupan beragama. Faktor kedua adalah interpretasi dan penghayatan
kekristenan yang keliru. Selama ini Kristen ditafsirkan sebagai agama manusia
yang lembut, rendah hati dan cinta akan pengorbanan. Pendek kata, Machiavelli
memangdang bahwa interpretasi Kristen hanya menghasilkan orang-orang yang lemah.
Machiavelli ingin mengubah interpretasi tersebut. Ia ingin agar agama bisa
menunjang patriotisme. Membangkitkan kekuatan yang dapat mengeluarkan
masyarakat dari dekadensi moral.
Machiavelli banyak belajar tentang kehidupan keagamaan pada
masa silam, yaitu pada masa Romawi dimana agama mengendalikan masyarakat dan memberi
inspirasi bagi tentara. Ia tidak tertarik apakah agama itu benar atau tidak. Itu
tidak penting baginya. Yang menarik baginya adalah bahwa agama kuno tersebut
berpihak pada manusia yang penuh aksi. Membuat manusia berorientasi pada amal.
Menambah motivasi para tentara militer dalam membela negara.
Machiavelli bercita-cita akan lahirnya reformasi religius
dimana agama menjadi sarana untuk meningkatkan semangat patriotisme. Idelanya agama
harus bisa mendukung lembaga-lembaga publik. Lembaga-lembaga agama hanyalah
sarana atau alat yang bisa digunakan dan dimanfaatkan untuk menjaga tata tertib
yang berlaku.
Studi
Kritis Terhadap Il Principe
Machiavelli sering dipahami sebagai seorang pemikir yang
sinis, yang hanya berkepentingan untuk mengamankan kekuasaan para penguasa.
Tidak sedikit orang menganggapnya amoral. Sebenarnya, Machiavelli mengagumi
Republik Romawi Kuno yang keras dan tinggi dalam tuntutan etika politik. Ia
menderita melihat politik Italia yang terombang-ambing seperti buih di lautan,
dikuasai oleh negara-negara tentangganya seperti Jerman, Perancis dan Spanyol. Italia
bahkan terpecah belah dalam bentuk negara-kota (polis). Ia merindukan suatu negara yang bersatu, sehat, kuat dan
tidak korup. Ia mengharapkan semangat tak mau kalah dan menuntut kesigapan
militer para warga negara.
Ia bermimpi Italia dapat bersatu dan stabil. Namun agar
dapat mencapai tujuan tersebut, ia berpendapat bahwa sang pemimpin harus
terlebih dahulu mengamankan kekuasaannya. Maka ia memfokuskan pandangannya pada
teknik merebut dan mempertahankan kekuasaan oleh seorang raja. Baginya, cara
apapun bisa dibenarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Moralitas harus
ditanggalkan dari politik karena baginya menstandarkan perilaku politik pada
moralitas adalah tidak pada tempatnya, membuang-buang energi dan waktu. Menurutnya,
yang terpenting adalah kesuksesan, dimana kekuasaan bisa direbut dan
dipertahankan. Meskipun dengan jalan menghalalkan segala cara.
Inilah latar belakang dari nasehat-nasehat politik yang
diberikan Machiavelli dalam Il Principe.
Ia menyatakan bahwa tindakan jahat seorang raja pasti akan dimaafkan oleh
masyarakat asalkan sang raja bisa mencapai sukses. Ia menyatakan bahwa
kekejaman mutlak diperlukan asal digunakan dengan tepat dan bisa menjadi sarana
stabilisasi kekuasaan raja. Menurutnya, seorang
raja lebih baik ditakuti daripada dicintai, selama dengan itu ia dapat mencapai
tujuan-tujuannya. Ia menyarankan agar seorang raja tidak menepati janjinya
apabila janji tersebut dapat merugikan kepentingannya. Ia juga menyarankan
seorang raja agar menunjukkan diri sebagai orang yang tegas dan brutal agar
tidak ada yang dengan seenaknya berani melawannya[2].
Franz Magnis Suseno dalam Kuasa dan Moral mengkritisi pemikiran politik Machiavelli. Menurutnya
Machiavelli melupakan dua hal. Pertama, bahwa kekuasaan yang berdasarkan
kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya akan rapuh. Kekuatan yang hanya
berdasarkan faktor-faktor tersebut sepenuhnya hanya berasal dari kekuatan
pribadi raja, sementara faktor-faktor lain di luar raja selalu bersiap untuk
menyerangnya jika keadaan memungkinkan. Jika raja lengah sedikit saja, ia pasti
jatuh. Kekuasaan yang hanya berdasarkan intrik tidak akan pernah stabil. Kedua,
Machiavelli tidak melihat bahwa stabilitas kekuasaan tergantung dari apakah
kekuasaan dipandang sebagai sah atau tida koleh masyarakat. Ia memang menyadari
bahwa jika seorang raja ingin kekuasaannya lestari, maka sang raja harus
memenuhi harapan rakyat. Namun bukankah harapan rakyat akan selalu terus
bertambah dan bertambah?? Ini akan sangat menyulitkan raja. Raja tidak mungkin
dapat memenuhi semua harapan rakyat yang selalu bertambah itu. Raja akan lebih
selamat jika ia memadukan kekuasaannya dengan moralitas. Jika kekuasaan raja
memiliki legitimasi moral dan diakui sah oleh masyarakat secara suka rela, maka
kekuasaannya akan stabil[3].
Sejarah telah mencatat bagaimana perilaku seorang
penguasa dapat memuliakan atau menghinakan dirinya. Bagaimanapun, kejahatan
akan selalu kalah melawan kebenaran. Terkadang kejahatan memang terlihat kuat dan menonjol. Tidak
jarang mereka justru memenangkan pertarungan di berbagai bidang kehidupan.
Namun kemenangan tersebut toh sifatnya
hanya sementara, tidak permanen. Sejarah menjadi saksi bahwa siapa yang menanam
angin, dia menuai badai.
Kita dapat melihat bagaimana akhir riwayat kekuasaan para
tokoh besar dunia yang tanpa kritis memuja dan membebek pada nasehat Machiavelli
seperti Joseph Stalin (Uni Soviet), Kemal Pasha (Turki), Ne Win (Birma),
Radovan Karadzic (Bosnia), Ferdinand Marcos (Filipina), Yasuhiko Asaka
(Jepang), Ion Antonescu (Rumania), Idi Amin (Uganda), Francois Duvalier
(Haiti), Adolf Hitler (Jerman), Kim Il Sung (Korea Utara), Leopold II (Belgia), Slobodan Milosevic (Serbia), Ante Pavelic (Kroasia),
Benito Mussolini (Italia), Augusto Pinochet ugarte (Chili), Pol Pot (Kambodja),
dan sosok yang sangat tidak asing bagi rakyat Indonesia, Soeharto. Mereka adalah para penguasa yang
menjalankan kekuasaan dengan mengikuti nasehat politik Machiavelli yang
dituangkan dalam Il Principe.
Akhirnya, beberapa dari mereka dikudeta, sebagian mati terbunuh atau diasingkan
dari panggung politik. Sungguh merupakan akhir yang mengenaskan bagi seorang
penguasa.
Sebaliknya, para penguasa yang tetap berpegang teguh pada
moralitas seperti Umar bin Abdul Aziz (682-720), Salahuddin Al-Ayubi (1138-1193),
Mohammad Al-Fatih (1432-1481), Sultan Agung (1593-1645), Sultan Iskandar Muda (1593-1636), Sultan Hasanuddin (1631-1670) dll
ditulis dengan tinta emas sejarah. Rakyat mencintai mereka. Negara makmur. Cara
mereka memimpin negara membuktikan bahwa kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari
moralitas. Keduanya integral, tidak dapat dibagi-bagi. Shalahuddin Al-Ayubi
dikenal kemuliaan akhlaknya oleh kawan maupun lawan[4].
Mohammad Al- Fatih tetap mengedepankan akhlak meskipun berada dalam situasi
perang, apalagi dalam situasi damai. Sebagai hasilnya, Konstantinopel yang
sangat kokoh dapat ia taklukkan. Sebuah prestasi luar biasa dalam sejarah
peradaban manusia[5].
Machiavelli bahkan mengakui kebesaran militer Turki Utsmani. Ia mengagumi
tentara Turki Utsmani yang gagah perkasa.
Sayangnya, Machiavelli tidak dapat melihat secara
objektif kompetensi apa yang dikembangkan oleh penguasa Turki Utsmani dan
militernya, yang tidak lain adalah moral atau akhlak, yang selalu ia nafikan. Moral
integral dengan kodrat manusia. Maka moral adalah harga mati yang tidak bisa
ditawar dalam menjalani setiap sisi kehidupan, termasuk dalam kehidupan
politik, kekuasaan dan moral, sekali lagi, harus terintegrasi. Barang siapa
meninggalkannya, hidupnya tidak akan pernah mulia. Karena kemuliaan yang ia
dapat tidak lebih dari sebuah fatamorgana yang akan menghancurkan dirinya.
Senada dengan pepatah senjata makan tuan.
Thomas Aquinas, seorang filosof besar abad pertengahan di
Eropa secara radikal menuntut legitimasi moral dalam penggunaan kekuasaan. Dalam
pandangannya, kekuasaan tidak dapat membenarkan dirinya sendiri. Kekuasaan
terbuka terhadap kritik dan dituntut pertanggung jawaban. Menurutnya, Tuhan
menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah hukum kodrat.
Artinya, hidup sedemikian rupa hingga ia dapat berkembang, dapat membangun dan
menemukan identitas, dapat menjadi bahagia. Hukum kodrat menuntut agar manusia
hidup sesuai dengan martabatnya. Maka bagi Thomas Aquinas, hukum kodrat adalah
tolok ukur legitimasi segala tindakan kekuasaan. Sehingga kebijakan penguasa
dalam bentuk apapun, jika tidak sesuai dengan kodrat manusia, harus ditolak.
Menurutnya, kekuasaan hanyalah fungsional demi menciptakan
kesejahteraan bagi masing-masing orang.
Jadi, kekuasaan harus diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat umum. Untuk memanusiakan manusia.
Seorang penguasa harus bersikap adil. Jika seorang penguasa telah melenceng dan
tidak mengusahakan kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya tetapi justru
mencari keuntungan pribadi sebagaimana yang dinasehatkan Machiavelli dalam Il Principe, maka ia telah bertindak
tidak adil dan bertentangan dari hukum kodrat. Dengan demikian –menurutnya- ia tidak layak disebut raja, tidak layak untuk
diikuti[6].
Karakterisistik Machiavelis dalam politik praktis
kenegaraan digambarkan dengan apik oleh Ajip Rosidi Dalam bukunya Rikmadenda Mencari Tuhan. Dikisahkan
bahwa Pandita Dorna merebut Astinapura dari kekuasaan Prabu Suyudana (Kurawa)
yang dahulu juga direbutnya dari Pandawa. Dorna pernah menjadi guru dari para
pandawa dan kurawa. Ia terkenal licik dan suka mengadu domba Pandawa dan Kurawa
hingga jadilah mereka terlibat dalam perang saudara. Setelah berhasil merebut
Astinapura, ia menggelari dirinya sebagai Sang Baginda Sri Maha Prabu Catut
Bawana Kemput.
Begitu kekuasaan berada dalam genggaman tangannya, yang
pertama kali muncul dalam pikirannya adalah gagasan bagaimana mempertahankan
Astina tetap berada dalam kekuasaannya –sekalipun sebenarnya Astina adalah hak
Pandawa- dan bagaimana cara memperluas kekuasaan dengan mendirikan
koloni-koloni, menyatukan kerajaan-kerajaan lain di bawah kekuasaannya[7].
Persis nasehat Machiavelli dalam Il
Principe. Dorna nampaknya seorang murid yang baik. Ia dengan cerdas
menyerap dan mengaplikasikan ajaran Machiavelli.
Langkah-langkah strategis kemudian diambil Dorna untuk
mengokohkan kekuasaannya. Pertama, ia membangun militer yang kuat, yang dikenal
dengan sebutan Wadiabala Astina.
Pasukan militer ini sangat kuat karena terdiri dari para raksasa yang sakti
luar biasa. Yang ia lakukan senada dengan nasehat Machiavelli, yaitu agar
seorang penguasa membangun kekuatan militer yang tangguh . Karena menurutnya, angkatan
perang merupakan landasan seorang raja untuk mempertahankan negaranya
(kekuasaannya)[8]. Selanjutnya,
Dorna mengunjungi Yudhistira, Raja Amartapura, Pandawa yang tertua dan dikenal
sangat bijaksana. Yudhistira sangat hormat kepada Dorna yang telah menjadi
gurunya. Begitu juga keempat adiknya, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dorna
dengan baik memanfaatkan keadaan ini. Ia kemudian mulai berkhutbah di depan
para pandawa dan kakak sepupunya, Batara Kresna.
Bicaralah ia “Kaum Kurawa berbuat tak jujur serta jahat
kepada kaum Pandawa, maka kerajaannya kurebut. Suyudana tidak menurut
perkataanku, maka ia kujatuhi ganjaran setimpal dengan kelakuannya. Ia
kumasukkan ke dalam penjara[9]”.
Ketika Pandawa bertanya kepadanya, apakah Astina akan diserahkan kepada mereka
sebagai orang yang berhak atas Astina, Dorna menjawab “Tidak, Sena! Kalau
Astina kuserahkan pada Pandawa tentu Kurawa tidak senang. Mereka tentu marah
dan akan merebutnya kembali. Peperangan besar tidak dapat dihindarkan.
Pertengkaran dan dendam tidak akan ada habisnya, sedangkan aku hendak menghapus
kebencian dan dendam di antara umat manusia” tuturnya.
Ia melanjutkan “ Dan untuk menjaga supaya jangan ada
perang antar kaum, bangsa dan negara, maka kekuasaan mesti dipusatkan pada satu
tangan. Jangan ada banyak negara, karena akan menimbulkan persaingan dan
peperangan. Maka, aku sebagai Raja Astina, hendak kupersatukan
kerajaan-kerajaan dan negara-negara di bawah panji-panji kekuasaanku. Supaya
cita-citaku yang mulia hendak mempersatukan seluruh umat manusia di bawah satu
kekuasaan tercapai”. Ia hendak membangun kerajaan gabungan. Jenis kerajaan
gabungan juga menjadi bagian dari nasehat Machiavelli dalam Il Principe[10].
“Dan untuk mencapai itu, pertama-tama, hendak kuminta
Amartapura diserahkan kepadaku. Bagaimana Yudhistira? Mau kau serahkan
Amartapura kepadaku? Kau Bima, maukah kau serahkan Mandalagiri kepadaku? Dan kau
Nakula-Sadewa, maukah kalian serahkan Titis Kendi dan Bumi Retawu kepadaku??[11]”.
Pada saat yang sama, di alun-alun Amartapura, tentara Wadiabala Astina telah siap dalam satu barisan yang teratur, siap
menggempur kapan saja jika titah sang Raja Astina yang baru tidak di-iyakan
oleh Pandawa. Dan ketika Batara Kresna, sang moralis membangkang perintahnya
karena tidak mau menyerahkan Dwarawati, perangpun berkobar di Amartapura.
Tentara Dorna menggempur dengan kekuatan penuh tanpa ampun.
Namun kebenaran pasti menang melawan kejahatan. Meskipun wadiabala Astina begitu digdaya dan
cukup membuat pasukan Pandawa kewalahan menghadapinya, namun wadiabala Astina tetap dapat dipukul
mundur oleh Pandawa dan pasukannya. Raja Tiran itu akhirnya harus mengecap kekalahan.
Ia juga dihujat rakyatnya sendiri akibat lakunya yang sangat lalim. Kekuasaan
tanpa moralitas tidak akan pernah bertahan lama.
Pemikiran politik Machiavelli yang menafikan moral
dipengaruhi oleh keadaan Florence pada khususnya, dan Eropa pada umumnya yang
saat itu diliputi kegelapan. Dekadensi moral, perebutan kekuasaan, problem
religius dan berbagai masalah di tengah masyarakat Eropa sangat mempengaruhi
alur berpikir Machiavelli dalam melihat kehidupan politik, sebuah dunia yang ia
jalani. Wawasannya luas, ia bukan hanya seorang negarawan atau praktisi
politik, tetapi juga seorang intelektual. Horison pengetahuannya sangat jauh,
melampaui batas-batas sejarah peradaban manusia.
Tapi, berdasarkan apa yang ia tulis dalam Il Principe, agaknya ada yang luput dari
pengamatannya, yaitu kekuasaan yang dijalankan di tanah seberang, Turki
Utsmani. Turki Utsmani pada masa Machiavelli hidup adalah kerajaan yang sedang
mencapai kejayaan. Wilayahnya luas, masyarakatnya makmur dan kekuatan
militernya luar biasa tangguh. Ia lahir enam belas tahun setelah penaklukan
konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453. Machiavelli
memang menyadari kekuatan militer Turki Utsmani yang tangguh. Ia bahkan
menyinggungnya dalam Il Principe
sebagai salah satu militer yang paling tangguh di dunia. Tapi Machiavelli hanya
melihat sebatas itu, sebatas kulit luarnya saja. Bagaimana Turki Utsmani bisa
memperoleh kejayaan dan memiliki militer yang tak terkalahkan luput pada
pengamatan Machiavelli.
Ia tidak menyadari
bahwa agama menjadi nafas dari pencapaian Turki Utsmani yang gilang gemilang. Bahwa
akhlak (moral), diimplementasikan dalam
setiap sendi kehidupan termasuk dalam pelaksanaan politik atau pemerintahan,
militer, dan perdagangan. Turki Utsmani pada waktu itu adalah contoh kongkrit
bagaimana akhlak (moral) menunjang terciptanya peradaban yang unggul dengan
kehidupan yang baik di segala lininya. Dan seorang penguasa dalam implementasi
moral sebagaimana yang terjadi di Turki Utsmani pada masa kejayaannya, tidak perlu
merasa takut akan kehilangan kekuasaannya. Karena mereka melihat kekuasaan
sekedar sebagai fungsional bagi terciptanya kesejatheraan umat. Kekuasaan
adalah amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban. Dan rakyat mengakui
kekuasaannya sebagai kekuasaan yang sah karena memiliki legitimasi moral yang
kuat dan nyata. Maka tidak ada perlawanan dari rakyat terhadap penguasa. Rakyat
merasa puas karena hidupnya sejahtera. Sang penguasapun mendapat kemuliaan.
Jika Machiavelli sampai pada studi yang lebih mendalam
tentang kehidupan masyarakat Turki Utsmani pada waktu itu, mungkin ia akan
mengganti beberapa pokok pemikiran dalam tulisannya. Ia mungkin akan menulis
bahwa implementasi moral yang didasari semangat keagamaan yang benar adalah landasan
pokok bagi perilaku politik yang bermartabat dan manusiawi. Bahwa kekuasaan,
sekali-kali tidak terpisah dari moralitas. Jika Machiavelli mempelajarinya secara
objektif dan mau dengan legawa menirunya,
yang terjadi mungkin seperti apa yang terjadi tiga abad kemudian saat para restorator
Meiji dengan legawa berlayar ke Barat untuk belajar dan menemukan praktik-praktik
kehidupan terbaik Barat untuk kemudian menirunya[12].
Negara
dan Kekuasaan dalam Perspektif Islam
Seorang orientalis, HAR. Gibb pernah mengatakan :
“
Islam is much more than a religious system. It is a complete civilization”. Artinya,
Islam lebih dari sekedar sistem-sistem peribadatan. Ia adalah satu peradaban
yang lengkap dan sempurna[13].
Islam yang diturunkan sebagai din sejatinya telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban[14].
Semua bidang kehidupan telah diatur dengan jelas dalam Islam. kekuasaan,
politik dan negara termasuk di dalamnya. Allah berfirman dalam Alqur’an “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat :
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui[15]."
Allah telah
menciptakan manusia dengan dua tugas. Pertama sebagai khalifah-Nya untuk
memakmurkan bumi . Dan kedua untuk beribadah hanya kepada-Nya. “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Ku[16]”. Nabi Muhammad SAW bersabda “Setiap
dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung
jawaban dari apa yang dipimpinnya[17]”.
Kekuasaan dalam
perspektif Islam adalah amanah. Amanah yang sangat berat dan akan dimintai
pertanggung jawaban. Tidak ada kebaikan atau keburukan yang luput dari
timbangan Allah. Semuanya akan diberi balasan sesuai kadarnya masing-masing.
Kekuasaan dalam Islam adalah suatu fungsional dengan tujuan menciptakan kesejahteraan hidup di dunia,
dan kemenangan di akherat. Kekuasaan dalam Islam berdimensi rahmatan lil alamin.
Untuk mencapai
tingkat yang mulia itu, Tuhan memberi manusia beragam aturan. Aturan itu
bersifat vertikal dan horizontal. Mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan
manusia dengan manusia atau muamalah.
Dalam hubungannya dengan sesama manusia, Tuhan telah memberikan kaidah-kaidah
berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta
kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Inilah yang disebut dengan urusan kenegaraan[18].
Untuk menjaga agar
aturan dan kaidah-kaidah tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya, harus
ada kekuatan berupa kekuasaan dalam negara. Maka kekuasaan perlu demi
menegakkan aturan-aturan ilahiah tersebut. Dalam hal ini, Islam memang tidak
mengatur secara langsung bentuk negara atau pemerintahan seperti apa yang
paling ideal. Maka tidak masalah apakah negara tersebut berbentuk republik, kerajaan, atau yang lain. Yang terpenting adalah realisasi dari
nilai-nilai Islam itu sendiri. Dalam demokrasi misalnya, demokrasi dalam Islam,
menurut M. Natsir adalah memberikan hak kepada rakyat untuk menegur,
mengkritik, dan meluruskan pemerintahan
yang dzalim. Dan jika semua upaya itu tidak kunjung membawa perubahan terhadap
pemerintah, maka rakyat bisa menghilangkan kedzaliman pemerintahan itu dengan
kekuatan dan kekerasan jika dianggap perlu.
Risalah yang dibawa
Nabi Muhammad SAW berisi nilai-nilai yang bisa dijadikan tolok ukur dalam
mengatur negara sehingga negara dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat
menciptakan kesejahteraan baik dalam kehidupan individu maupun sosial[19]. Maka negara tidak terpisah dari agama. Tidak terpisah
dari moralitas yang bersumber dari agama tersebut. Negara, dalam Islam, bukan
merupakan tujuan, tetapi hanya alat
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu ridho-Nya. Jadi, urusan
kenegaraan pada hakekatnya adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
Islam[20]. Karena Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur
dengan sempurna seluruh sendi kehidupan termasuk urusan kenegaraan dan
kekuasaan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu. Dan telah ku
sempurnakan nikmat-ku atas dirimu. Dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama
bagimu”. Untuk menegakkan Islam juga diperlukan usaha untuk mengatur
kekuasaan dan negara dengan cara yang baik. Karena menegakkan Islam tidak dapat
dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan negara, dan menegakkan
kemerdekaan[21].
Membangun negara
dengan Islam bukanlah seperti pemerintahan Islam di Turki Utsmani pada
masa-masa akhir menjelang keruntuhannya. Dimana ada seorang khalifah, raja atau
sultan yang duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh harem-haremnya, menonton
tarian dayang-dayangnya.dimana seorang perdana menterinya adalah seorang sepuh
yang memakai sorban. Mereka membangun istana-istana yang megah, dll. Karena
sesungguhnya itu bukanlah Islam. Turki Utsmani sebelum keruntuhannya bukanlah
cermin pemerintahan Islam, karena mereka, di tengah dekadensi moralnya telah
meninggalkan nilai-nilai Islam. Jadi,
bukan negara seperti itu yang jadi contoh ideal dari negara Islam.
Dalam konsep Islam,
akhlak menempati peran yang sangat penting dalam menjalankan roda kekuasaan
atau pemerintahan dalam suatu negara. Menjalankan kekuasaan adalah ibadah. Dan
ibadah yang tidak diiringi akhlak sia-sia belaka. Saat Abu Bakar RA menjadi
khalifah, suatu ketika para panglima yang baru selesai dari medan perang
mengirimkan sebuah kotak. Saat dibuka, ternyata dalam kotak itu terdapat kepala
dan sepucuk surat. Dalam surat itu dijelaskan bahwa kepala itu milik seorang
musuh mereka.
Akan tetapi Abu
Bakar tidak dapat menerima cara semacam itu. Lalu kepada Abu Bakar mereka
berkata “Wahai khalifah Rasulullah, sesungguhnya mereka juga melakukan hal
semacam itu kepada komandan kami (mereka memotong dan mengirimkannya kepada
raja mereka). Lalu dengan nada penuh kemarahan, Abu Bakar menjawab “Apakah
engkau akan meniru cara tentara Persia dan Romawi? Demi Allah mulai hari ini
kalian tidak boleh melakukannya lagi. Sesungguhnya cukup bagi aku kalian
mengabari lewat surat.[22]”
Begitulah akhlak
yang ditunjukkan oleh Abu Bakar RA, meskipun ia seorang penguasa, tapi tidak
menyalah gunakan kekuasaan yang ada dimilikinya. Akhlak mulia semacam ini juga
dapat dijumpai pada pribadi para penguasa yang menjadikan Allah sebagai
satu-satunya tujuan dalam setiap tindakannya seperti Umar Bin Abdul Aziz, Harun
Al-Rasyid, Al-Hakam, Al-Mansur, Nurrudin Mahmud, Salahuddin Al-Ayubi, Baybars
Al-Mansuri dan Al-Asraf.
Mereka adalah
teladan bagaimana seorang penguasa yang tetap berpegang teguh pada akhlak. Yang
menjadikan kekuasaan yang dimilikinya semata-mata hanya sebagai sarana untuk
memperjuangkan agama-Nya. Yang terus beramal saleh. Kekuasaan bukanlah tujuan,
tapi hanya alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu ridho Allah.
Kekuasaan tidak dapat dipisah-pisahkan dari moralitas. Keduanya padu, integral.
Tujuan kekuasaan tidak lain hanya untuk memakmurkan bumi, untuk menjalankan tugas kemanusiaan yang telah diamanahkan oleh
Allah di pundaknya. Itulah kekuasaan
dalam perspektif Islam.
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS. Al-a’raf : 96)
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur : 55)
Penutup
Sang maha guru, Ahmad
Mujib El-Shirazy sering mengatakan “Berapa
banyak kebaikan yang hilang, jika hanya karena keburukannya lantas kita membuang
semuanya”. Ini tepat untuk menggambarkan Il Principe. Bagaimanapun, tidak semua nasehat Machiavelli dalam Il Principe harus dikritik. Ada pula nasehat-nasehatnya
yang harus diterima dengan rendah hati sejauh itu tidak bertentangan dengan ajaran
Islam yang mulia, seperti nasehatnya tentang membangun militer yang kuat dari rakyatnya
sendiri. Penulis hanya mengkritisi Machiavelli dalam masalah pemisahan moral dengan
kekuasaan dimana segala cara dihalalkan, tipu muslihat, pengingkaran janji, dan
kedzaliman dianggap sah-sah saja selagi
itu menguntungkan bagi penguasa. Dimana akhir dari segala yang dilakukan sang penguasa
adalah kemuliaan dirinya sendiri. Padahal, jika seorang penguasa benar-benar berniat
membangun negaranya demi seluas-luasnya kesejahteraan rakyat dan itu berhasil, maka
kemuliaan itu pasti akan dengan sendirinya melekat pada diri sang penguasa.
Demikian studi kritis
terhadap Il Principe. Tulisan ini akan
terus dikembangkan seiring dengan perkembangan pengetahuan penulis.
Wallahua’lam Bissawwab
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an
Machiavelli, Niccolo. 2002. Il Principe. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Magniz-Suseno, Franz. 2001. Kuasa & Moral. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Rosidi, Ajip. 1991. Rikmadenda
Mencari Tuhan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Natsir, Mohammad. Capita
Selecta. Jakarta : Yayasan Bulan Bintang Abadi.
Pasha, Kamran. Kilatan
Pedang Tuhan. Jakarta : Penerbit Zaman
Muhammad Ash-Sahalabi, Ali. 2011. Sultan Muhammad Al-Fatih Penakluk Konstantinopel. Solo : Pustaka
Arafah
Fahmi Zarkasyi, Hamid. 2010. Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang bermartabat. On Islamic
civilization. Semarang : Unissula Press.
Masihu Kamaluddin, Laode. Mujib El-Shirazy, Ahmad. 2011. The
Best Life. Jakarta : Ikhwah Publishing House.
Mahbubani, Kishore. 2011. The New Asian Hemisphere-The Irresistible Shift of Global Power to The
East. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Wikipedia. Org
[1] Pengantar Il Principe. Suatu Alternatif Kaidah Etika
Politik. M. Sastraprateja & Frans M. Parera.
Dalam novelnya, Memang tidak
sedikit Kamran Pasha memberikan pencitraan yang ngawur terhadap kehidupan
pribadi Shalahuddin Al-Ayubi. Namun ia menerangkan bahwa itu tidak lain
hanyalah “bumbu penyedap” agar novelnya menjadi lebih hidup. Maklum, ia tidak sedang
membela Islam dalam tulisan-tulisannya. Bisa dibilang sekedar Have fun. Budi baik Shalahuddin Al-Ayubi
bisa diketahui dari buku-buku biografinya. Kebaikan akhlaknya diakui baik kawan
maupun lawan. Ia disebut-sebut sebagai generasi Islam yang akhlaknya mendekati
Rasulullah SAW.
Wallahua’lam bissawwab
[9] Machiavelli menasehatkan kepada
para penguasa agar menghukum atau menumpas habis penguasa sebelumnya beserta seluruh
kroni-kroninya. Bila perlu sampai ke keturunan-keturunannya, yang masih bayi
sekalipun. Hal ini perlu –menurutnya- untuk mengamankan kekuasaan penguasa yang
baru dari kemungkinan munculnya pemberontakan dari penguasa yang lama atau
kroni-kroninya. Jika penguasa yang lama diberi hukuman, kekuasaannya akan lebih
aman.
Dorna mengatakan seperti itu
bukan semata-mata karena niat baik. Ia hanya bersilat lidah demi memuluskan
tujuannya menguasai kerajaan-kerajaan lain. Machiavelli dalam Il Principe
menasehati para penguasa bahwa inti dari tujuannya dalam memerintah adalah
mengamankan kekuasaan, bila perlu memperluasnya. Dan upaya apapun untuk
mencapainya dapat dibenarkan meskipun harus dengan tipu muslihat. Untuk tujuan
‘mulia’ tersebut, segala cara boleh dihalalkan. Menurutnya, Seorang raja demi
kekuasaannya boleh menghasut, menipu, mengumbar janji palsu, dan bahkan
membantai jika itu dapat menunjang kepentingan sang raja.
[12] The New Asian Hemisphere-The Irresistible Shift of Global
Power to The East. Kishore Mahbubani. Hal.62
[14] Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang
Bermartabat. On Islamic
Civilization. Hamid Fahmi Zakasyi. Hal 14
wew, kupasan yang menarik tentang sang legendaris machiavelli. ini karya tulis ya?
BalasHapusHehehe sebenernya emang niat mas, tapi karena ada tugas kritik buku ya sekalian dibuat tugas.. hehe thanks for comment ya mas..:)
Hapusbagus..
BalasHapusk2gdplsa.
nafas panjang.....nice note.....
BalasHapusSuwun Brader...
BalasHapusnote ini kupersembahkan untukmu...
thanks buat bukunya "Il Principe"dan "Rikmadenda Mencari Tuhan" :)