Jumat, 17 Februari 2012

Masyarakat Madani : Samakah dengan Civil Society?

Suatu hari dalam diskusi dengan seorang kawan, muncul sedikit perbedaan pandangan tentang konsep masyarakat madani dan civil society. Ia berpandangan bahwa masyarakat madani sama saja dengan civil society sedangkan saya berpandangan sebaliknya, bahwa konsep tentang masyarakat madani berbeda dengan konsep civil society. Perbedaan pandangan ini tentu wajar saja. Konsep tentang masyarakat madani dan civil society memang telah lama menjadi bahan perbincangan yang menarik untuk didiskusikan baik di kalangan akademisi, agamawan, bahkan negarawan. Tulisan ini saya buat untuk memaparkan pandangan - sejauh pemahaman saya - tentang kedua konsep tersebut. Juga sebagai wujud apresiasi terhadap diskusi – diskusi dan pembelajaran yang sangat berharga dengannya. Karena lawan dalam diskusi adalah teman dalam berpikir. :)


Untuk memahami hakekat sebuah konsep perlu lebih dahulu mengetahui akar dan sejarah lahirnya konsep tersebut. Ini penting agar kita tidak terjebak, mengadopsi suatu konsep secara penuh tanpa filter atau bahkan mencelanya secara membabi buta tanpa dasar. Mengetahui akar dan sejarah lahirnya suatu konsep dapat membantu kita untuk menentukan sikap yang proporsional, sehingga kita bisa mengadopsi dan mengadapsinya sesuai dengan pandangan hidup kita tanpa harus kehilangan jati diri. Mengambil yang sesuai dan membuang yang tidak sesuai.

Adalah hal yang lumrah ketika suatu peradaban belajar dan meminjam konsep dari peradaban lain yang lebih maju. Ketika peradaban Islam maju misalnya, bangsa – bangsa di Eropa meminjam konsep dari Islam dengan melakukan proses adapsi. Islampun melakukan hal yang sama terhadap Yunani.  Begitu juga saat ini dimana peradaban Barat menjadi peradaban yang maju, tidak salah jika kita belajar dan meminjam konsep dari mereka. Karena tidak ada peradaban yang berkembang di dunia ini tanpa adanya proses interaksi dengan peradaban lain. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah, bahwa suatu peradaban tidak harus meminjam secara penuh ( bulat – bulat tanpa proses adapsi ) konsep - konsep dari peradaban lain. Karena setiap peradaban memiliki identitas, nilai, konsep,  ideologi dan pandangan hidupnya masing – masing. Adopsi secara buta tanpa mengindahkan dan mengetahui akar sebuah konsep dapat membuat suatu peradaban kehilangan identitasnya sendiri. Hal ini  juga berlaku dalam upaya memahami konsep masyarakat madani dan civil society.

Civil society yang dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai masyarakat sipil diambil dari bahasa latin Civilas Societas. Ide tentang civil society lahir pada masa kebangkitan Eropa - renaissance - dimana mereka berusaha melepaskan diri dari dominasi gereja dan para penguasa yang melegitimasi kedzoliman dan kesewenang - wenangan atas nama agama. Konsepnya berkembang  bersamaan dengan lahirnya liberalisme agama dan politik pada abad ke – 17.

Pada era renaissance terjadi banyak pergolakan pemikiran, antara lain  munculnya gagasan tentang kebebasan memilih ideologi dimana sebelumnya mereka hidup di bawah hegemoni gereja yang absolut. Gereja yang terlampau absolut dan sewenang – wenang membuat masyarakat di Barat saat itu menjadi traumatis serta antipati terhadap otoritas agama apalagi menyangkut kehidupan sosial masyarakat. Mereka berpandangan bahwa agama sebaiknya menjadi urusan pribadi masing – masing orang saja dan harus dipisahkan dari wilayah publik. Pada tahap selanjutnya, antipati terhadap agama justru semakin menjadi setelah munculnya paham nihilisme, relativisme, anti otoritas, anti worldview, feminisme / gender, dan pluralisme yang mulai ngetrend dewasa ini.

Trauma sejarah ini dapat dipahami mengingat pada saat gereja berkuasa, segala bentuk ideologi yang berbeda dengan gereja dianggap kafir dan diancam dengan hukuman yang sangat berat. Orang yang berani melawan ideologi gereja harus mengalami siksaan yang sangat menyakitkan hingga mati. Kekejaman lembaga – lembaga inkuisisi gereja dalam menghukum orang – orang yang disebut kafir sudah begitu terkenal. Sebuah kekejaman yang tidak dapat dinalar dengan akal waras. Kehidupan yang begitu gelap saat itu membuat masyarakat memberontak terhadap gereja dan para penguasa. Upaya mereka untuk membebaskan diri dari belenggu gereja berhasil. Civil society lahir bersamaan dengan lepasnya dominasi gereja ( agama ) dari masyarakat . Inilah awal dari sekularisasi.  Dengan demikian, civil society sebagai sebuah konsep tidak dapat dilepaskan dari sejarah pemikiran barat sekuler.

Jika dirunut ke belakang, kata Kholili Hasib - seorang peneliti di Centre for Islamic and Occidental Studies, Gontor - akar perkembangan civil society bisa dilacak  mulai dari Cicero, bahkan menurut Manfred Ridel, bisa dirunut lebih ke belakang sampai Aristoteles. Dalam tradisi Eropa, lanjutnya, hingga abad ke-18 pengertian civil society masih dipahami sebagai negara ( the state ), barulah kemudian pada pertengahan abad ke-18 pengertiannya mulai bergeser. Pada waktu itu negara dan civil society mulai dipahami sebagai dua entitas yang berbeda. Para pemikir yang mempelopori perbedaan ini, terangnya, adalah para filosof pencerahan Skotlandia yang dimotori oleh Adam Ferguson dan beberapa pemikir Eropa, seperti Johann Forster, Tom Hodgkins, Emmanuel Sieyes, dan Tom Paine. Pada waktu itu Adam Ferguson menggagas konsep Civil society yang menjadi impian masyarakat Barat. Gagasan ini sempat berhadapan dengan konsep masyarakat model Marxisme. Ide Ferguson kemudian dikembangkan oleh John Lock dan J.J Rosseau.

Salah satu peristiwa penting yang tidak lepas dari awal lahirnya civil society adalah revolusi Perancis pada tahun 1789 yang menumbangkan sistem monarki absolut dan menggantikannya dengan sistem demokrasi, kapitalisme, liberalisme, pluralisme dan toleransi. Dari sini dapat diketahui bahwa  liberalisme dan sekulerisme muncul sebagai paham yang mengiringi kebangkitan Eropa.

Civil society sebagai sebuah konsep, menekankan adanya ruang publik yang bebas dimana individu dalam kelompok masyarakat dapat saling berinteraksi dengan penuh toleransi tanpa adanya dominasi agama atau bahkan negara sekalipun. Konsep ini juga mengedepankan pemenuhan hak – hak individu secara bebas. Dari sini dapat diketahui bahwa civil society adalah bagian yang tidak terpisahkan dari konsep  liberalisme, sekulerisme, pluralisme, individualisme dan kapitalisme yang berkembang di Eropa ( baca : Barat ).

Wacana tentang persamaan konsep civil society dan masyarakat madani memang sudah lama berkembang. Di Indonesia, salah satu tokoh yang menyamakan kedua konsep tersebut adalah Nurcholis Madjid. Menurut beliau, masyarakat madani yang beradab memiliki beberapa ciri, antara lain egalitasianisme, menghargai prestasi,  keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi, musyawarah dan pluralisme. Berkaitan dengan pluralisme, eksklusivisme dalam beragama ( truth claim ) harus dienyahkan karena menghalangi tegaknya toleransi antar agama. Jika memang demikian yang dikehendaki, maka agama tidak lagi memiliki orotitas, sebaliknya, nilai – nilai religius disesuaikan dengan kesepakatan sosial masyarakat atas nama toleransi. Beliau memahami masyarakat madani dengan unsur - unsur civil society.

Sebagaimana peradaban Barat yang memiliki konsep civil society, Islampun memiliki konsep masyarakat ideal yang dikenal dengan masyarakat madani. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam sebuah jurnal berjudul “Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang Bermartabat”  menulis sebagai berikut :

Islam yang diturunkan sebagai dien sejatinya telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban. Sebab istilah dain itu sendiri telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari perintah yang adil. Artinya dalam istilah dien telah tersembunyi suatu sistem kehidupan. Dan ketika dien ( agama ) Allah itu  telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Dari akar kata dien dan madinah ini kemudian terbentuk akar kata baru madana yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan dan memartabatkan. Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban ( civilization ) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan ( city based culture ) atau kebudayaan kota ( culture of the city ).
On Islamic Civilization hal 14 – 15

Jika dirunut ke belakang, konsep tentang masyarakat madani lahir pada abad ke – 7 di kota Madinah. Masyarakat madani adalah konsep masyarakat sebagaimana yang dibangun Rasulullah – Muhammad saw – dengan landasan Al – qur’an dan sunnah. Sebuah konsep masyarakat beradab yang dikembangkan dengan prinsip – prinsip agama. Masyarakat yang dibangun di atas landasan ilmu pengetahuan yang berimplikasi pada seluruh sektor kehidupannya. Mereka adalah masyarakat beradab yang taat dan tunduk pada aturan Allah dalam menjalankan aktivitas hidupnya. Masyarakat madani bukanlah masyrakat yang sekuler dan menafikan agama sebagaimana civil society.

Masyarakat madani menurut Syed Naquib Al – Attas dalam buku Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam adalah masyarakat yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan yang haq. Yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya ( tanpa harus menjadi pluralis ). Yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dirinya untuk menuju kesempurnaan.

Pemaparan di atas menjelaskan perbedaan yang fundamental antara konsep civil society dan masyarakat madani. Jika civil society dibangun dengan melepaskan agama, maka masyarakat madani dibangun dengan merealisasikan agama. Jika civil society membangun toleransi dengan pluralisme, Islam membangun toleransi dalam masyarakat madani dengan perintah Al –qur’an untuk berlaku adil dan menunaikan hak orang lain baik seagama ataupun tidak. Jika civil society dibangun dengan menanggalkan otoritas agama, masyarakat madani dibangun dengan menegakkan otoritas agama sebagai parameter bagi pelaksaan berbagai sistem kehidupan. Civil society dan masyarakat madani, keduanya tampak sangat berbeda.

Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, adanya tumpang tindih pengertian berbagai konsep merupakan akibat dari kekacauan berpikir. Hal ini terjadi karena adanya krisis worldview (pandangan hidup) di kalangan masyarakat Islam itu sendiri yang bermuara pada munculnya kebingungan intelektual (intellectual confusion). Tidak heran jika kemudian syura disamakan dengan demokrasi, dien disamakan dengan religi, insan kamil disamakan dengan warga negara yang baik, tajdid disamakan dengan modernisasi / rasionalisasi dan masyarakat madani disamakan dengan civil society.

                                                                                   ******

Pandangan hidup Islam sangat penting bagi seorang muslim karena pandangan hidup inilah yang menjadi framework, menentukan cara berpikir dan bertindak seseorang. Seorang muslim perlu memahami konsep – konsep kehidupan dalam Islam dan juga konsep–konsep di luar Islam agar dapat secara proporsional menyikapi berbagai wacana yang berkembang. Tidak kagum secara berlebihan dan mengadopsinya tanpa filter ataupun mengkritiknya secara membabi buta tanpa dasar yang kuat.

Menurut Amir Syakieb Arsalan dalam bukunya  Limadza Ta’akhoro al – muslimun wa Taqoddama Ghoiruhu suatu peradaban yang maju adalah peradaban yang sangat teguh memegang prinsip–prinsip dan pandangan hidupnya. Jepang maju dengan keteguhannya. Mereka belajar dari Barat tapi tidak terbaratkan. Dan kini mereka memiliki peradaban yang maju dengan tetap berpegang teguh pada prinsip–prinsip dan kearifan lokalnya. Peradaban Baratpun berkembang pesat ketika mereka belajar dari peradaban Islam yang saat itu sedang berjaya dan menguasai dunia dengan tetap memegang prinsip–prinsipnya. Mereka meminjam konsep – konsep Islam tetapi mengadapsinya sesuai dengan pandangan hidup mereka.

Saat ini, hikmah adalah khazanah umat Islam yang hilang. Ia berserakan di tengah peradaban lain dengan wujud yang lain pula. Banyak asumsi menyatakan bahwa konsep–konsep Barat saat ini adalah hikmah yang hilang dari Islam. maka, untuk mengambilnya kembali, kita harus paham betul bagaimana wujud hikmah itu yang sebenarnya, tanpa mengenalinya kita tidak mungkin dapat menemukannya. Untuk kembali menjadi peradaban yang maju, umat Islam harus menempa dirinya dengan keimanan dan ilmu pengetahuan. Umat Islam harus teguh pada prinsip – prinsipnya. Karena peradaban yang unggul tidak akan pernah didapatkan oleh umat yang minder dengan identitasnya sendiri. Selamanya mereka akan menjadi objek dari hegemoni peradaban lain.


Wallahua’lam Bissawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar