Suatu hari dalam diskusi dengan seorang kawan, muncul sedikit perbedaan
pandangan tentang konsep masyarakat madani dan civil society. Ia
berpandangan bahwa masyarakat madani sama saja dengan civil society
sedangkan saya berpandangan sebaliknya, bahwa konsep tentang masyarakat
madani berbeda dengan konsep civil society. Perbedaan pandangan ini
tentu wajar saja. Konsep tentang masyarakat madani dan civil society
memang telah lama menjadi bahan perbincangan yang menarik untuk
didiskusikan baik di kalangan akademisi, agamawan, bahkan negarawan.
Tulisan ini saya buat untuk memaparkan pandangan - sejauh pemahaman saya
- tentang kedua konsep tersebut. Juga sebagai wujud apresiasi terhadap
diskusi – diskusi dan pembelajaran yang sangat berharga dengannya.
Karena lawan dalam diskusi adalah teman dalam berpikir. :)
Untuk
memahami hakekat sebuah konsep perlu lebih dahulu mengetahui akar dan
sejarah lahirnya konsep tersebut. Ini penting agar kita tidak terjebak,
mengadopsi suatu konsep secara penuh tanpa filter atau bahkan mencelanya
secara membabi buta tanpa dasar. Mengetahui akar dan sejarah lahirnya
suatu konsep dapat membantu kita untuk menentukan sikap yang
proporsional, sehingga kita bisa mengadopsi dan mengadapsinya sesuai
dengan pandangan hidup kita tanpa harus kehilangan jati diri. Mengambil
yang sesuai dan membuang yang tidak sesuai.
Adalah hal
yang lumrah ketika suatu peradaban belajar dan meminjam konsep dari
peradaban lain yang lebih maju. Ketika peradaban Islam maju misalnya,
bangsa – bangsa di Eropa meminjam konsep dari Islam dengan melakukan
proses adapsi. Islampun melakukan hal yang sama terhadap Yunani. Begitu
juga saat ini dimana peradaban Barat menjadi peradaban yang maju, tidak
salah jika kita belajar dan meminjam konsep dari mereka. Karena tidak
ada peradaban yang berkembang di dunia ini tanpa adanya proses interaksi
dengan peradaban lain. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah,
bahwa suatu peradaban tidak harus meminjam secara penuh ( bulat – bulat
tanpa proses adapsi ) konsep - konsep dari peradaban lain. Karena setiap
peradaban memiliki identitas, nilai, konsep, ideologi dan pandangan
hidupnya masing – masing. Adopsi secara buta tanpa mengindahkan dan
mengetahui akar sebuah konsep dapat membuat suatu peradaban kehilangan
identitasnya sendiri. Hal ini juga berlaku dalam upaya memahami konsep
masyarakat madani dan civil society.
Civil society yang dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai masyarakat sipil diambil dari bahasa latin Civilas Societas. Ide tentang civil society lahir pada masa kebangkitan Eropa - renaissance -
dimana mereka berusaha melepaskan diri dari dominasi gereja dan para
penguasa yang melegitimasi kedzoliman dan kesewenang - wenangan atas
nama agama. Konsepnya berkembang bersamaan dengan lahirnya liberalisme
agama dan politik pada abad ke – 17.
Pada era renaissance
terjadi banyak pergolakan pemikiran, antara lain munculnya gagasan
tentang kebebasan memilih ideologi dimana sebelumnya mereka hidup di
bawah hegemoni gereja yang absolut. Gereja yang terlampau absolut dan
sewenang – wenang membuat masyarakat di Barat saat itu menjadi traumatis
serta antipati terhadap otoritas agama apalagi menyangkut kehidupan
sosial masyarakat. Mereka berpandangan bahwa agama sebaiknya menjadi
urusan pribadi masing – masing orang saja dan harus dipisahkan dari
wilayah publik. Pada tahap selanjutnya, antipati terhadap agama justru
semakin menjadi setelah munculnya paham nihilisme, relativisme, anti
otoritas, anti worldview, feminisme / gender, dan pluralisme yang mulai ngetrend dewasa ini.
Trauma
sejarah ini dapat dipahami mengingat pada saat gereja berkuasa, segala
bentuk ideologi yang berbeda dengan gereja dianggap kafir dan diancam
dengan hukuman yang sangat berat. Orang yang berani melawan ideologi
gereja harus mengalami siksaan yang sangat menyakitkan hingga mati.
Kekejaman lembaga – lembaga inkuisisi gereja dalam menghukum orang –
orang yang disebut kafir sudah begitu terkenal. Sebuah kekejaman yang
tidak dapat dinalar dengan akal waras. Kehidupan yang begitu gelap saat
itu membuat masyarakat memberontak terhadap gereja dan para penguasa.
Upaya mereka untuk membebaskan diri dari belenggu gereja berhasil. Civil
society lahir bersamaan dengan lepasnya dominasi gereja ( agama ) dari
masyarakat . Inilah awal dari sekularisasi. Dengan demikian, civil
society sebagai sebuah konsep tidak dapat dilepaskan dari sejarah
pemikiran barat sekuler.
Jika dirunut ke belakang, kata
Kholili Hasib - seorang peneliti di Centre for Islamic and Occidental
Studies, Gontor - akar perkembangan civil society bisa dilacak mulai
dari Cicero, bahkan menurut Manfred Ridel, bisa dirunut lebih ke
belakang sampai Aristoteles. Dalam tradisi Eropa, lanjutnya, hingga abad
ke-18 pengertian civil society masih dipahami sebagai negara ( the
state ), barulah kemudian pada pertengahan abad ke-18 pengertiannya
mulai bergeser. Pada waktu itu negara dan civil society mulai dipahami
sebagai dua entitas yang berbeda. Para pemikir yang mempelopori
perbedaan ini, terangnya, adalah para filosof pencerahan Skotlandia yang
dimotori oleh Adam Ferguson dan beberapa pemikir Eropa, seperti Johann
Forster, Tom Hodgkins, Emmanuel Sieyes, dan Tom Paine. Pada waktu itu
Adam Ferguson menggagas konsep Civil society yang menjadi impian
masyarakat Barat. Gagasan ini sempat berhadapan dengan konsep masyarakat
model Marxisme. Ide Ferguson kemudian dikembangkan oleh John Lock dan
J.J Rosseau.
Salah satu peristiwa penting yang tidak lepas
dari awal lahirnya civil society adalah revolusi Perancis pada tahun
1789 yang menumbangkan sistem monarki absolut dan menggantikannya dengan
sistem demokrasi, kapitalisme, liberalisme, pluralisme dan toleransi.
Dari sini dapat diketahui bahwa liberalisme dan sekulerisme muncul
sebagai paham yang mengiringi kebangkitan Eropa.
Civil
society sebagai sebuah konsep, menekankan adanya ruang publik yang bebas
dimana individu dalam kelompok masyarakat dapat saling berinteraksi
dengan penuh toleransi tanpa adanya dominasi agama atau bahkan negara
sekalipun. Konsep ini juga mengedepankan pemenuhan hak – hak individu
secara bebas. Dari sini dapat diketahui bahwa civil society adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari konsep liberalisme, sekulerisme,
pluralisme, individualisme dan kapitalisme yang berkembang di Eropa (
baca : Barat ).
Wacana tentang persamaan konsep civil
society dan masyarakat madani memang sudah lama berkembang. Di
Indonesia, salah satu tokoh yang menyamakan kedua konsep tersebut adalah
Nurcholis Madjid. Menurut beliau, masyarakat madani yang beradab
memiliki beberapa ciri, antara lain egalitasianisme, menghargai
prestasi, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi,
musyawarah dan pluralisme. Berkaitan dengan pluralisme, eksklusivisme
dalam beragama ( truth claim ) harus dienyahkan karena menghalangi
tegaknya toleransi antar agama. Jika memang demikian yang dikehendaki,
maka agama tidak lagi memiliki orotitas, sebaliknya, nilai – nilai
religius disesuaikan dengan kesepakatan sosial masyarakat atas nama
toleransi. Beliau memahami masyarakat madani dengan unsur - unsur civil
society.
Sebagaimana peradaban Barat yang memiliki konsep
civil society, Islampun memiliki konsep masyarakat ideal yang dikenal
dengan masyarakat madani. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam sebuah jurnal
berjudul “Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang Bermartabat” menulis sebagai berikut :
Islam
yang diturunkan sebagai dien sejatinya telah memiliki konsep seminalnya
sebagai peradaban. Sebab istilah dain itu sendiri telah membawa makna
keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan
manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari
perintah yang adil. Artinya dalam istilah dien telah tersembunyi suatu
sistem kehidupan. Dan ketika dien ( agama ) Allah itu telah
disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi
nama Madinah. Dari akar kata dien dan madinah ini kemudian terbentuk
akar kata baru madana yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan
dan memartabatkan. Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang
secara literal berarti peradaban ( civilization ) yang berarti juga
kota berlandaskan kebudayaan ( city based culture ) atau kebudayaan kota
( culture of the city ).
On Islamic Civilization hal 14 – 15
On Islamic Civilization hal 14 – 15
Jika
dirunut ke belakang, konsep tentang masyarakat madani lahir pada abad
ke – 7 di kota Madinah. Masyarakat madani adalah konsep masyarakat
sebagaimana yang dibangun Rasulullah – Muhammad saw – dengan landasan Al
– qur’an dan sunnah. Sebuah konsep masyarakat beradab yang dikembangkan
dengan prinsip – prinsip agama. Masyarakat yang dibangun di atas
landasan ilmu pengetahuan yang berimplikasi pada seluruh sektor
kehidupannya. Mereka adalah masyarakat beradab yang taat dan tunduk pada
aturan Allah dalam menjalankan aktivitas hidupnya. Masyarakat madani
bukanlah masyrakat yang sekuler dan menafikan agama sebagaimana civil
society.
Masyarakat madani menurut Syed Naquib Al – Attas dalam buku Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam adalah
masyarakat yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada
Tuhan yang haq. Yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri
sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya ( tanpa harus menjadi
pluralis ). Yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dirinya untuk
menuju kesempurnaan.
Pemaparan di atas menjelaskan
perbedaan yang fundamental antara konsep civil society dan masyarakat
madani. Jika civil society dibangun dengan melepaskan agama, maka
masyarakat madani dibangun dengan merealisasikan agama. Jika civil
society membangun toleransi dengan pluralisme, Islam membangun toleransi
dalam masyarakat madani dengan perintah Al –qur’an untuk berlaku adil
dan menunaikan hak orang lain baik seagama ataupun tidak. Jika civil
society dibangun dengan menanggalkan otoritas agama, masyarakat madani
dibangun dengan menegakkan otoritas agama sebagai parameter bagi
pelaksaan berbagai sistem kehidupan. Civil society dan masyarakat
madani, keduanya tampak sangat berbeda.
Menurut Hamid
Fahmi Zarkasyi, adanya tumpang tindih pengertian berbagai konsep
merupakan akibat dari kekacauan berpikir. Hal ini terjadi karena adanya
krisis worldview (pandangan hidup) di kalangan masyarakat Islam itu
sendiri yang bermuara pada munculnya kebingungan intelektual (intellectual confusion). Tidak heran jika kemudian syura disamakan
dengan demokrasi, dien disamakan dengan religi, insan kamil disamakan
dengan warga negara yang baik, tajdid disamakan dengan modernisasi /
rasionalisasi dan masyarakat madani disamakan dengan civil society.
******
Pandangan
hidup Islam sangat penting bagi seorang muslim karena pandangan hidup
inilah yang menjadi framework, menentukan cara berpikir dan bertindak
seseorang. Seorang muslim perlu memahami konsep – konsep kehidupan dalam
Islam dan juga konsep–konsep di luar Islam agar dapat secara
proporsional menyikapi berbagai wacana yang berkembang. Tidak kagum
secara berlebihan dan mengadopsinya tanpa filter ataupun mengkritiknya
secara membabi buta tanpa dasar yang kuat.
Menurut Amir Syakieb Arsalan dalam bukunya Limadza Ta’akhoro al – muslimun wa Taqoddama Ghoiruhu suatu
peradaban yang maju adalah peradaban yang sangat teguh memegang prinsip–prinsip dan pandangan hidupnya. Jepang maju dengan keteguhannya.
Mereka belajar dari Barat tapi tidak terbaratkan. Dan kini mereka
memiliki peradaban yang maju dengan tetap berpegang teguh pada prinsip–prinsip dan kearifan lokalnya. Peradaban Baratpun berkembang pesat
ketika mereka belajar dari peradaban Islam yang saat itu sedang berjaya
dan menguasai dunia dengan tetap memegang prinsip–prinsipnya. Mereka
meminjam konsep – konsep Islam tetapi mengadapsinya sesuai dengan
pandangan hidup mereka.
Saat ini, hikmah adalah khazanah
umat Islam yang hilang. Ia berserakan di tengah peradaban lain dengan
wujud yang lain pula. Banyak asumsi menyatakan bahwa konsep–konsep
Barat saat ini adalah hikmah yang hilang dari Islam. maka, untuk
mengambilnya kembali, kita harus paham betul bagaimana wujud hikmah itu
yang sebenarnya, tanpa mengenalinya kita tidak mungkin dapat
menemukannya. Untuk kembali menjadi peradaban yang maju, umat Islam
harus menempa dirinya dengan keimanan dan ilmu pengetahuan. Umat Islam
harus teguh pada prinsip – prinsipnya. Karena peradaban yang unggul
tidak akan pernah didapatkan oleh umat yang minder dengan identitasnya
sendiri. Selamanya mereka akan menjadi objek dari hegemoni peradaban
lain.
Wallahua’lam Bissawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar