Selasa, 21 Februari 2012

Intelektualisme Universitas 'Jalan Raya Pos'

Konon di atas tanah bekas reruntuhan kerajaan Mataram Islam berdirilah sebuah Universitas[1] yang dikenal dengan nama Universitas Jalan Raya Pos[2]. Letak universitas ini sangat strategis karena berada tepat di sisi jalan raya pos, jalur utama yang menghubungkan propinsi-propinsi di pulau Jawa. Jalan raya yang juga dikenal dengan nama jalan Daendels itu dibangun sepanjang 1000 KM dari Anyer sampai Panarukan. Ia dibangun dengan tetesan keringat, darah dan air mata rakyat Indonesia. Namun demikian, walaupun posisinya  dinilai sangat strategis, Universitas Jalan Raya Pos masih memiliki satu masalah klasik yang tak kunjung selesai. Masalah klasik itu adalah banjir. Jika hujan deras mengguyur Semarang, universitas ini akan menjelma seperti rawa. Penuh genangan air.

Universitas Jalan Raya Pos konon merupakan sebuah lembaga pendidikan tinggi dengan visi yang sangat besar. Cita-citanya adalah menjadi pusat peradaban dunia dengan menyalakan kembali lentera peradaban Islam yang sempat padam. Universitas ini ingin mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu seperti pada masa dinasti Bani Umayah di Andalusia dan dinasti Abbasiyah di Baghdad. Sungguh cita-cita yang mulia. 


Namun Universitas Jalan Raya Pos memiliki paradoks dalam tubuhnya sendiri. Visinya yang luar biasa digdaya itu tidak integral dengan perkembangan tradisi keilmuan di kalangan mahasiswanya yang merupakan basis bagi upaya merealisasikan visi besar tersebut. Jika mengacu pada pentingnya tradisi keilmuan dan kemampuan berpikir sebagai asas peradaban versi Ibnu Khaldun[3], maka Universitas ini masih jauh dari cita-cita yang diharapkannya.


Kebanyakan mahasiswanya yang katanya agent of change justru mengalami masa kegelapan. Iklim inteletualitas mandul. Mereka hanya belajar untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen dengan harapan mendapat nilai yang cukup baik, dapat lulus tepat waktu dan mendapat pekerjaan yang aman dan menjamin dengan menjadi pegawai pemerintah atau karyawan di perusahaan besar. Tidak ada bacaan lebih. Bahkan para aktivisnya yang diharapkan akan menjadi para pemimpin bangsa di masa depan, tingkat inteletualitasnya tidak begitu menggembirakan. Tradisi keilmuan dengan visi yang jelas belum benar-benar terbentuk di universitas Jalan Raya Pos.


Begitulah kebanyakan mahasiswa Indonesia pada umumnya, dan mahasiswa Universitas Jalan Raya Pos pada khususnya. Mentalitas dan cara berpikir mereka yang ‘sederhana’ –untuk tidak menyebutnya dangkal- tercermin dalam sebuah konferensi internernasional. Konon berkumpullah tiga mahasiswa yang berasal dari China, India dan Indonesia. Saat mahasiswa yang berasal dari China ditanya tentang impiannya, ia dengan penuh semangat menjawab “impianku adalah menjadikan China sebagai pusat industri manufaktur dunia”. Saat mahasiswa India ditanya hal yang sama, ia dengan antusias menjawab “Aku ingin menjadikan India sebagai pusat pengembangan Teknologi informasi dunia” dan saat mahasiswa Indonesia ditanya, ia menjawab “Impianku sederhana saja dan tidak muluk-muluk, aku ingin cepat lulus, punya pekerjaan yang mapan, punya satu rumah, satu mobil, dan satu istri yang cantik”[4].


Begitulah wajah mahasiswa Indonesia pada umumnya. Jika mahasiswa di negara-negara lain bermimpi untuk membangun negaranya, kebanyakan mahasiswa Indonesia hanya bermimpi untuk membangun keluarganya. Jika ada yang punya impian besar untuk sekedar membangun negara yang sejatinya merupakan tugas setiap warga negara, ia akan segera mendapati dirinya sebagai golongan marginal di antara teman-temannya. “Koq mikirke negoro, mikir awake dewek wae jek repot” begitu kurang lebih slogan mereka. Kepedulian terhadap nasib dan masa depan bangsa dianggap “muluk-muluk”. Kejamnya lagi, tak jarang mereka dianggap arogan karena memikirkan hal yang begitu besar “kemaki” tidak tahu diri, bayar uang kos saja susah. Begitulah. Kebanyakan agent of change negeri ini mengidap penyakit “kekerdilan mental” yang cukup parah. Pantas Indonesia tak kunjung maju.


Kembali ke Universitas Jalan Raya Pos. Jika diteliti, niat baik para pemangku kepentingan universitas dengan cita-citanya yang visioner memang luar biasa. Mereka tulus ingin membangun peradaban. Tapi sepertinya mereka tidak menyadari krisis inteletualitas di kalangan mahasiswanya. Mungkin mereka merasa bahwa program yang mereka canangkan telah berjalan dengan baik tanpa mau melihat realitas sesungguhnya di lapangan. The Dark Age yang meliputi Universitas Jalan Raya Pos ini tidak boleh terus berlangsung. Harus ada perubahan.


Hingga kemudian datanglah tiga pendekar sakti yang kiprahnya mulai mengubah iklim inteletualitas di Universitas Jalan Raya Pos. Mereka adalah tiga generasi berbeda tapi dengan kecintaan yang sama-sama besar terhadap tradisi keilmuan. Bagi mereka ilmu adalah elemen utama pembangunan umat manusia. Keyakinan mereka seperti sabda Nabi Muhammad “Man aroda dunya fa alaihi bi al – ilmi wa man aroda al akhirat fa alaihi bi al ilmi. Wa man arodahuma fa alaihi bi al ilmi". Artinya kurang lebih, apapun yang engkau inginkan, cara mencapainya adalah dengan ilmu, ilmu dan ilmu. Mereka mengingatkan pada Three Musketeers, tiga pendekar dalam novel terkenal karya Alexandre Dumas, tapi tentu saja dengan versi cerita yang sangat berbeda. Jika Three Musketeers hendak melindungi masa depan Eropa, tiga pendekat sakti Universitas Jalan Raya Pos hendak membangun kembali kejayaan Peradaban Islam. Luar biasa.


Tiga pendekar sakti Universitas Jalan Raya Pos itu adalah Pendekar 1, Pendekar 2 dan Pendekar 3. Mereka membawa angin pencerahan bagi terbentuknya tradisi keilmuan dengan visi yang jelas. Pendekar 1 memiliki bakat kepemimpinan yang telah teruji. Setiap kata dan perbuatannya adalah inspirasi bagi para mahasiswa yang mengenalnya. Bukankah jika pemikiran, perkataan, sikap, dan tindakan seseorang menginspirasi orang lain untuk bermimpi lebih baik, berharap lebih baik dan berbuat lebih baik maka dia adalah pemimpin?? Beliau adalah pemimpin formal maupun non formal. Kepribadian dan pembawaannya membuat dirinya layak diikuti. Seperti Jenghis Khan, Sang pemimpin besar Mongol yang mendapat loyalitas begitu banyak orang. Ternyata dimana-mana karakteristik seorang pemimpin sama saja, kecuali Stalin dan Hitler. Dalam urusan kasih sayang, mereka berdua adalah robot.


Pendekar 2 tak kalah luar biasa. Ketulusannya terhadap ilmu tak perlu dipertanyakan lagi. Usia muda tidak menghalangi dirinya untuk menguasai berbagai macam disiplin ilmu. Kajian filsafat Barat, Islam, Jawa,dll dikuasainya. Bukan hanya itu, beliau juga menguasai kajian politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan cabang-cabang ilmu lainnya. Ditambah dengan bakatnya memotivasi orang lain, Pendekar 2 sangat mirip Mario Teguh, seorang motivator nasional yang sedang naik daun. “Sesuatu ya”, begitu kira-kira yang akan diucapkan Syahrini jika ikut kajian keilmuan bersama pendekar 2.


Adalah Wati, Tukul, Komeng dan Paijo, beberapa mahasiswa udik yang sangat bersyukur karena dipertemukan Tuhan Yang Maha Esa dengan pendekar 2. Di tengah gersangnya tradisi keilmuan Universitas Jalan Raya Pos, pendekar 2 hadir seperti oase yang mengobati kehausan para mahasiswa udik itu akan ilmu pengetahuan. Di tengah-tengah kesibukannya, pendekar 2 mau menyempatkan diri untuk “jagong” membimbing mereka dan beberapa orang teman dalam diskusi rutin yang diadakan dua kali dalam seminggu.


Pendekar 2 memberi mereka arahan yang jelas untuk membangun intelektualitas melalui kurikulum pembelajaran yang sangat visioner. Apa yang Pendekar 2 rancang adalah sebuah solusi untuk menjawab tantangan zaman. Untuk segera memperbaiki keadaan umat Islam yang selama ini berada dalam kemunduran. Untuk menyalakan kembali lentera peradaban Islam yang sempat padam. Di balik diskusi-diskusi mereka yang hanya lesehan sederhana tersimpan sebuah visi besar. Empat mahasiswa udik itu benar-benar beruntung, mereka seperti mutiara yang menemukan tuannya. Mereka hanya perlu menjalankan filsafat “follow the guidelines” untuk sampai ke tujuan mereka masing-masing. Mereka menemukan pendekar 2 yang dengan senang hati mau membimbingnya. Sungguh itu lebih mahal dari apapun.


Pendekar 2 menyadari bahwa kemunduran Islam hari ini sangat berkaitan erat dengan lemahnya mentalitas umat Islam terutama di kalangan generasi muda. Amir Syakib Arsalan dalam bukunya “Limadza Ta’akhoro Al-muslimun wa Taqoddama Ghoiruhu” mengatakan bahwa kemunduran umat Islam lebih disebabkan oleh lemahnya umat Islam itu sendiri, bukan semata-mata karena kebangkitan peradaban lain.


Mentalitas generasi muda yang lembek sangat berbahaya bagi eksistensi suatu peradaban. Dalam hal ini, pendekar 2 menyadari bahwa kebangkitan generasi muda menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Membangun tradisi keilmuan sebagai pondasi peradaban adalah kebutuhan primer yang tidak dapat ditawar lagi. Maka mulailah Pendekar 2 mengawali sebuah gerakan untuk membangun tradisi keilmuan melalui Komunitas yang diharapkan bisa aktif mengembangkan keilmuan. Komunitas itu kemudian dikenal dengan nama Komunitas Penikmat Buku. Lahirnya komunitas ini menandai babak baru pengulangan sejarah, yaitu bergeliatnya komunitas-komunitas yang mengembangkan tradisi keilmuan pada masa kejayaan peradaban Islam. Pendekar 2 menyalurkan visi besarnya melalui komunitas ini, dan tentu saja melalui beberapa komunitas di luar sana.


Pendekar 2 kemudian memperkenalkan para mahasiswa udik itu pada kajian yang lebih serius, yaitu membedah pemikiran para intelektual muslim melalui karya-karyanya. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyambung kembali ikatan yang terputus antara generasi para mahasiswa udik itu dengan para pendahulunya yang hebat luar biasa. Inilah inti dari dibangunnya komunitas Penikmat Buku. Pendekar 2 sepenuh hati menyadari bahwa umat Islam hari ini lemah karena lepas dengan para generasi terdahulu. Ia sering mengatakan “Ada yang terputus antara generasi umat Islam hari ini dengan generasi terdahulu”. Ikatan yang terputus itu harus segera disambung kembali.


Umat Islam hari ini seperti anak ayam yang kehilangan induk. Mereka banyak melupakan sejarahnya, tidak memahami mentalitas dan kepribadian para generasi terdahulu hingga mereka mampu membangun peradaban yang memimpin di dunia. Parahnya lagi, mereka tidak mengenal apalagi memahami pemikiran para intelektual (ulama) muslim yang ternyata tidak kalah hebatnya dibanding para pemikir Barat yang saat ini digandrungi para generasi muda Islam.


Pendekar 2 merasakan betul adanya porsi konsumsi bacaan yang tidak seimbang di kalangan generasi muda Islam. Kenyataannya, mereka begitu mudah mengakses buku-buku buah pemikiran dan filsafat Barat tapi tidak sedikitpun melahap buku-buku karya intelektual muslim. Akibatnya mereka mengalami ketimpangan pemikiran. Perspektif mereka kabur. Mereka melihat Barat begitu “wah” dan semakin minder dengan identitas keislamannya sendiri. Islam menjadi tidak keren di mata mereka. Islam identik dengan kemunduran. Ketinggalan zaman. Sangat tidak modern!


Keadaan-keadaan semacam itu acap kali membawa para generasi muda Islam menuju gerbang ateisme / pengingkaran terhadap agama. Padahal para intelektual muslim telah dengan cerdas menjawab pemikiran dan filsafat Barat yang menciderai agama melalui karya-karya mereka. Pendekar 2 mengerti keadaan ini. Mengerti pula obat penawarnya. Solusi terbaik untuk menjawab permasalahan ini adalah dengan “mengenalkan generasi muda Islam pada karya-karya para intelektual muslim”. Jika mereka memahami karya-karya intelektual muslim dengan baik, karya-karya pemikir Barat itu akan tampak biasa saja, tidak lagi menjadi sesuatu yang “wah”. “Para ulama kita tidak kalah dengan mereka, biasa sajalah melihat Barat, ternyata mereka ga hebat-hebat amat...” tutur pendekar 2 dengan santai.


Akhirnya, jadilah para mahasiswa udik itu berkenalan dengan para pemikir Islam seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyyah, Jalaluddin Rumi, Murtadha Mutahari, Ali Syari’ati, Al Maudhudi, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Bana, Naquib Al-Attas, M. Natsir, dan Fethullah Gullen. Mereka membedah satu persatu karya para tokoh besar itu setelah sebelumnya ditempa dengan kajian motivasional selama tiga bulan dengan membedah buku-buku motivasi terbaik untuk membangun kekuatan mental para mahasiswa udik dan teman-temannya agar siap tempur berjuang membangun umat.


Pendekar 3 usianya jauh lebih muda dari pendekar 2. Semangat belajarnya luar biasa. Ia benar-benar seorang intelektual sejati. Kedudukannya sebagai seorang pendekar tidak menghalanginya untuk bergaul dengan para mahasiswa. Mahasiswanya sangat menyayanginya. Ia telah menuai apa yang ia tabur. Sifat rendah hatinya untuk berbagi ilmu, mau belajar dari siapa saja, dan mudah bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan kedudukan berhasil menumbuhkan kecintaan di hati para mahasiswa terhadap dirinya.


Jurus pendekar 3 memang belum sesempurna pendekar 2. Jika pendekar 2 sangat mahir dengan jurus “Dewa Mabok”, pendekar 3 masih bermain di jurus “Dewa Setengah Mabok” dalam setiap pertempuran. Namun ia pasti akan menjadi seorang pendekar yang sangat hebat. Karakternya membuat semua itu menjadi mungkin. Itu hanya soal waktu. Tradisi kajiannya memang berbeda, tapi itu tak menghalanginya untuk datang dan belajar bersama. Para mahasiswa udik itu adalah garansi kebaikannya. Ternyata pendekar 3 tidak hanya baik pada manusia, ia pun sangat mencintai binatang. Tiga kucing liar di belakang masjid Universitas Jalan Raya Pos dipungutnya sebagai anak angkat menggantikan kucingnya bernama Julia Kristeva[5] yang hilang entah kemana. Jadilah tiga kucing liar itu mendapat kehormatan menyandang nama tiga filosof besar Yunani : Socrates, Plato dan Aristoteles. Setiap hari pendekar 3 pergi ke kantin asrama kampus untuk memberi mereka makan. Tiga kucing liar itu semakin gemuk, mirip tuannya.


***


Ini tentang empat mahasiswa udik di universitas Jalan Raya Pos. Wati, Tukul, Komeng dan Paijo....


Mereka sangat menikmati kajian dan diskusi bersama pendekar 2 dan pendekar 3 yang rutin diadakan dua kali dalam seminggu. Dunia menjadi lebih berwarna. Langit terlihat lebih cerah. Mereka mendapat semangat baru di kampus Universitas Jalan Raya Pos. Bunga-bunga bermekaran warna-warni, seperti ikut merayakan kebahagiaan di hati mereka.


Wati, Tukul, Komeng dan Paijo terlanjur teracuni oleh semangat yang digelorakan oleh pendekar 2. Kondisi mereka hari ini tak ubahnya gambaran Hasan Al-Bana tentang generasi muda “"Therefore, since the past until now the youth are the pillars of the resurrection. In every revival, youth is the secret of its strength. In each fikrah, youth is raisers banners”. Sungguh powerful..!!


Saking tingginya semangat yang bergelora di hati mereka, menunggu waktu diskusi yang diadakan dua minggu sekali rupanya terasa begitu lama. Untuk mengobati dahaga mereka akan ilmu pengetahuan merekapun memutuskan untuk diskusi kapan saja jika ada waktu. Diawali dengan jagong yang sebetulnya tanpa arah di ruang perpustakaan, mereka berempat akhirnya memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Paijo mengeluarkan amunisinya.


Mulailah Paijo membedah salah satu seri dari buku Risalah An-Nur karya Bediuzzaman Said Nursi. Buku itu fokus membahas Al-qur’an. Demi melihat semangat Paijo yang menggelora seolah-olah Bediuzzaman Said Nursi telah masuk ke tubuhnya, Tukul dan Komeng yang konon sedang galaupun kembali bersemangat menapaki hidup. Diskusi memang sering menjadi obat mujarab ketika hati sedang “galau”. Wati sebagai satu-satunya kaum hawa disitu, memesan kopi untuk berempat.


Meskipun banyak orang menyebut Wati sebagai perempuan modern abad 21, namun ia selalu menolak dan protes berat ketika seseorang melabelinya dengan sebutan “feminis”. Baginya menjadi perempuan berprestasi tidak harus menjadi seorang feminis. Ia selalu bersungut-sungut ketika seseorang dengan kejam melabelinya “feminis” hanya karena ia terlihat sedang memegang posisi penting di suatu kepanitiaan. Ia benci disebut “tidak perempuan” hanya karena kegemarannya membaca buku. Menurutnya seorang perempuan harus terdidik agar kelak dapat mendidik anak-anaknya dengan baik, agar dapat menjadi partner yang baik bagi suaminya, bukan untuk menyama-ratakan diri dengan kaum lelaki apalagi melampauinya. Buku adalah jendela ilmu dan ilmu adalah jawaban agar perempuan menjadi lebih terdidik. Maka perempuan harus membaca!. Selesai. Tak ada kaitannya dengan feminisme.


Tukul dan Komeng meskipun berasal dari daerah yang berjauhan nampak seperti anak kembar. Apakah mereka anak kembar yang terpisah saat bayi? Entahlah. Butuh penelurusan lebih lanjut untuk kasus ini. Yang jelas keduanya sama-sama mencintai ilmu pengetahuan. Tukul di usianya yang sangat muda telah menjelma menjadi Resi yang bijak bestari. Komeng mungkin akan segera menyusul. Dalam diskusi-diskusi mereka terlihat menonjol, tapi dalam urusan soal perempuan, prestasi mereka terjun bebas. Maka jelas mereka masih single, atau setidaknya nampak single.


Dalam urusan perempuan Paijo jauh lebih meyakinkan. Itulah mengapa ia tampak makmur lahir batin. Ia mendapat cukup gizi. Berbeda dengan kedua rekannya, Tukul dan Komeng. Dua jam membedah Said Nursi, semangat Paijo tak kunjung padam. Diskusi semakin hangat dengan adanya secangkir kopi. Dari presentasi Paijo itu tahulah Wati, Tukul dan Komeng bahwa Said Nursi mengalami “kegalauan” karena pada masa ia hidup ateisme merajalela terutama di kalangan generasi muda. Generasi muda Islam di Turki khususnya dan dibelahan dunia lain pada umumnya begitu terpengaruh oleh filsafat materialisme dan nihilisme yang sedang populer. Mbah Kumis Tebal Friedrich Nietzsche yang mengaku telah membunuh Tuhan dan Jean Paul Satre menjadi idola baru para generasi muda Islam di berbagai belahan dunia.


Said Nursi tak bisa berdiam diri melihat keadaan zamannya. Beliau kemudian menulis Risalah An-nur untuk mencegah dan mengobati gelombang ateisme yang melibas keimanan banyak generasi muda Islam. Beliau mengatakan bahwa zaman telah berubah. Kerusakan kini tidak disebabkan oleh orang-orang bodoh yang tidak dapat membaca, atau tidak mau belajar. Kerusakan dewasa ini – tuturnya- justru disebabkan oleh para cerdik cendekia yang fasih berbicara filsafat. Mereka mengotak atik agama sedemikian rupa hanya berdasarkan hawa nafsu seolah agama hanyalah sampah. Femonena yang berbeda ini harus disikapi dengan cara yang berbeda pula[6]. Begitu kurang lebih pemahaman Wati, Tukul dan Komeng dari apa yang dipresentasikan oleh rekannya, Paijo.


Tidak terasa dua jam berlalu, adzan magribpun berkumandang. Wati, Tukul, Komeng dan Paijo berpisah untuk melaksanakan shalat magrib. Sebelum berpisah mereka membuat kesepakatan untuk diskusi berikutnya, “Senin sore yuk.. bedah apa lagi??” tanya Wati, “Ok ayo, bedah apa enaknya..??” jawab Tukul, Komeng dan Paijo. Kemudian Wati memberi ide “Ana Karenina-nya Leo Tolstoy gimana??”, “Ok”. Diskusipun berahir. Masing-masing menuju masjid.


­­***


Sabtu libur. Hari seakan menjadi lebih panjang dan nafas terasa lebih lega. Sekitar pukul 14.30, Wati menemui Tukul dan Komeng. Acara kali ini adalah nonton bareng. Mereka bertiga sepakat untuk nonton “The Last Station”, sebuah film biografi tentang kehidupan Leo Tolstoy (1828-1910), Seorang Filosof moral kenamaan Rusia dengan gagasannya yang terkenal yaitu Perlawanan tanpa kekerasan atau Pasifisme[7]. Ia juga seorang sastrawan adiluhung dengan Ana Karenina dan War and Peace sebagai dua masterpiece-nya yang sangat terkenal. Ana Karenina bahkan sering disebut-sebut sebagai novel terbaik sepanjang masa. Pemikiran Tolstoy mempengaruhi tokoh-tokoh abad 20 seperti Mahatma Gandhi (India) dan Martin Luther King (Amerika Serikat). Pergerakan mereka adalah pergerakan damai tanpa kekerasan.


The Last Station menyajikan paradoks kehidupan pribadi seorang Tolstoy yang visi besarnya untuk perubahan sosial tak kunjung dipahami oleh sang istri. Tidak adanya pemahaman itu membuat mereka sering terlibat dalam keributan selama bertahun-tahun. Sang istri, Countess tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya yang menganggap bahwa “Kepemilikan tanah pribadi adalah akar dari segala masalah”. Ia hendak “mewakafkan” kekayaannya untuk masyarakat karena ia anti akan kepemilikan pribadi. Tolstoy merasa bahwa para petani miskin akan dapat hidup sejahtera jika kepemilikan pribadi yang didominasi orang-orang kaya dihapuskan.


Bagi Countess, kemiskinan yang diderita para petani miskin adalah buah dari kemalasan mereka sendiri. Ia yakin bahwa tidak lama setelah mendapat sumbangan dari orang-orang kaya tersebut, para petani miskin itu akan segera pergi untuk berjudi dan melacur. Countess khawatir akan nasib anak-anaknya jika Tolstoy “mewakafkan” harta dan hak cipta karya-karyanya kepada masyarakat. Anak-anaknya tidak akan mendapat warisan apapun. Mereka akan jatuh miskin dan itu sangat mengerikan bagi Countess. Tentu saja, kekhawatiran Countess adalah kekhawatiran perempuan pada umumnya.


Untung bagi Tolstoy, di tengah konfrontasi pemikirannya dengan sang istri, Tolstoy mendapat dukungan besar dari sahabatnya Vladimir Chertkov. Mereka bersama-sama membentuk gerakan “Tolstoyan” untuk menyebarkan pemikiran Tolstoy kepada sebanyak mungkin orang. Tolstoyan pada umumnya adalah para intelektual muda yang mengagumi pemikiran Tolstoy. Hal itu cukup menghibur dirinya di tengah usianya yang semakin renta.


Tolstoy mungkin hanya tidak seberuntung Umar Bin Abdul Aziz, sang pemimpin Dinasti  Umayah yang dicatat dengan tinta emas sejarah karena ia berhasil menciptakan kemakmuran hidup bagi rakyatnya selama masa pemerintahannya. Tindakan apa yang diambil Sang Khalifah untuk mensejahterakan rakyat?? pertama-tama ia meminta sang istri agar rela mewakafkan seluruh hartanya ke Baitul Mal. Ia bertekad tidak akan menikmati kesejahteraan hidup jika masih ada satu saja dari rakyatnya yang hidup menderita dan kekurangan. Sang Istripun mewakafkan seluruh hartanya tanpa protes. Dan ketika seluruh rakyat telah sejahtera, Umar Bin Abdul Aziz bermaksud hendak mengembalikan harta yang dulu diminta dari istrinya untuk diwakafkan. Ternyata sang istri menolak pengembalian tersebut. Ia telah ikhlas mewakafkan hartanya kepada Allah dan tidak bermaksud memintanya kembali. [8]


Wati, Tukul dan Komeng menarik sebuah pelajaran moral yang sangat berharga, bahwa siapapun orang yang memiliki visi besar untuk kehidupan umat, ia harus memilih seorang istri yang tepat. Karena istri yang tidak tepat tidak akan dapat mengerti visinya. Ia cenderung akan meributi dan mengganggu fokus seseorang dalam membangun umat. Istri yang tidak tepat akan menyibukan seorang lelaki dengan hal remeh temeh. Jika saja Tolstoy memiliki istri yang bisa memahami visi besarnya, setidaknya ia bisa lebih terbebas dari tekanan batin di usia tuanya.


Namun selalu ada hikmah yang bisa dipetik. Setidaknya Tolstoy masih beruntung karena sang istri menyadari kesalahannya selama ini, meskipun itu terjadi saat Tolstoy berada di ambang kematian, saat ia sekarat di sebuah stasiun kereta api. Simpelnya, The Last Station menyarankan “Pilihlah pasangan yang memiliki kesamaan pandangan”. Mirip kata-kata Oprah Winfrey.


***


Tidak puas dengan The Last Station, Wati, Tukul dan Komeng menonton Kingdom of Heaven. Sebenarnya mereka telah beberapa kali menontonnya, tapi entahlah, mungkin hanya ingin beromantisme dengan sejarah perang salib di tanah suci Yerussalem. Wati, Tukul dan Komeng mendiskusikan dialog-dialog dalam film yang nampak sangat filosofis. Mereka mempertanyakan mengapa para sutradara Indonesia tidak pernah membuat dialog “seberat” itu. Akhirnya Tukul berpendapat, penyebab dialog filosofis jarang sekali muncul dalam dialog film-film Indonesia adalah, karena para sutradara Indonesia kurang bacaan. Sedikitnya jumlah buku yang mereka baca membuat kualitas dialog dalam film yang mereka buat menjadi sangat terbatas. Wati dan Komeng akhirnya sepakat dengan pendapat Tukul.




Hikmah film Kingdom of Heaven begitu mengena di hati Wati, bahwa tidak semua lelaki ganteng itu jahat. Ternyata di dunia ini masih ada sosok lelaki yang ganteng, pintar, moralis dan kesatria seperti Baron Ibelin. “Alhamdulillah masih ada harapan” hati Wati bergumam, nakal sekali.


Perang salib adalah peristiwa sejarah yang seharusnya bisa memberi pelajaran bagi tiga pemeluk agama –Islam, Kristen, Yahudi- tentang indahnya hidup berdampingan dalam kedamaian dan toleransi. Tentang indahnya kerajaan surga. Perang salib seharusnya tidak pernah ada lagi setelah kerajaan surga benar-benar direalisasikan oleh Salahuddin Al-Ayubi. Tapi ternyata..??


***


Selesai dengan Kingdom of Heaven, mereka menonton film yang tak kalah spektakuler dari dua film sebelumnya. “Mongol” film ini berkisah tentang seorang anak biasa –Jenghis Khan- yang kemudian menaklukan dan menguasai separuh bumi[9]. Mongol menekankan sisi kepribadian seorang Jenghis Khan sebagai faktor kunci dari pencapaian-pencapaiannya yang gilang gemilang. Jenghis Khan digambarkan sebagai sosok yang sangat adil terhadap prajurit, itulah alasan mengapa begitu banyak orang setia kepadanya. Sikapnya ini mengingatkan Wati pada nasehat Pendekar 1, “Jangan harap orang akan setia kepadamu, sementara perutnya lapar. Jika kau mengharap loyalitas orang lain, pastikan kau memberinya kesejahteraan hidup”.


Jenghis Khan membagikan harta rampasan perang secara adil. Hal ini berpengaruh besar terhadap peningkatan kesejahteraan hidup para pengikutnya. Ia adalah sosok yang sangat tahu balas budi. Ia mengingat semua orang yang selama ini bersikap baik kepadanya dan memberi balasan dengan kebaikan berlipat ganda. Di luar hal-hal tersebut, ia adalah sosok dengan kepribadian pemimpin yang tangguh : bertekad kuat, bercita-cita tinggi, tabah, tegas, berani, penuh penghargaan, penuh integritas dan penyayang terhadap sesama, terutama terhadap istrinya. ;)[10]


Yang tidak kalah pentingnya, film ini mengaminkan kata-kata yang luar biasa indah, bahwa “Dibalik setiap lelaki besar terdapat perempuan yang besar”. Mongol dengan jelas menunjukkan kiprah dan pengorbanan istri Jenghis Khan dalam setiap pencapaiannya. Ia mengingatkan Jenghis Khan untuk kembali dan memimpin bangsanya hingga jadilah Mongolia salah satu peradaban besar dalam sejarah panjang umat manusia. Ia menjadi sandaran Jenghis khan ketika bingung dalam memutuskan suatu perkara. Ia adalah lautan kasih sayang tak terhingga bagi seorang Jenghis Khan.


Ketegaran istri Jenghis Khan saat melepas sang suami pergi mengingatkan para mahasiswa udik itu pada Siti Hajar yang ditinggal Nabi Ibrahim AS hanya bersama Isma’il yang masih bayi di tengah padang pasir yang sangat tandus demi menunaikan titah Tuhannya.


Film ini lagi-lagi membuka mata mereka tentang kepribadian sosok pemimpin yang sesungguhnya. Bisa jadi setelah menonton film ini mereka akan berusaha untuk lebih menjaga integritas terhadap sesama. Hikmah yang terpenting adalah, ternyata orang sebesar Jenghis Khan-pun tak lebih dari seorang bayi kecil di hadapan istrinya. Hal ini membuat hati Wati berbunga-bunga. Benar bukan?? Sehebat apapun seorang lelaki akan selalu membutuhkan seorang perempuan di sisinya[11].


Wallahua’lam bissawwab :)


Bersambung.....


[1] Klaim / mitos mahasiswa lokal yang belum dapat dibuktikan secara ilmiah :D


[2] Karena letaknya tepat berada di sisi Jalan Raya Pos yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda pada masa Daendels. Jalan Raya Pos Jalan Daendels. Pramoedya Ananta Toer


[3] On Islamic Civilization Hal 24.


[4] Cerita Prof. Laode M. Kamaluddin yang membuat kami bertekad untuk tidak menjadi seperti si mahasiswa Indonesia itu. Dia hanya sedang beruntung dapat mengikuti sebuah event internasional. Cerita ini nyata, hasil survei di tiga negara yang melibatkan pemuda usia 20tahun-an.


[5] Nama seorang filosof perempuan


[6] Risalah An-Nur. Bediuzzaman Said Nursi.


[7] Kerajaan Allah Ada dalam Dirimu. Leo Tolstoy.


[8] Biografi Umar Bin Abdul Aziz


[9] Biografi Jenghis Khan


[10] Klaim sepihak dari pembuat note ;D


[11] Kesimpulan akhir dari seluruh isi tulisan. Hidup perempuan!! Gak nyambuuuungg.... ;p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar