Minggu, 01 April 2012

"Rasionalkah Islam??" : Jeffrey Lang Menjawab

Biografi Singkat & Pemikiran
Dr. Jeffrey Lang adalah seorang guru besar Matematika di Universitas Kansas, Lawrence, Amerika Serikat. Ia seorang muallaf kelahiran Amerika yang masuk Islam pada tahun 1982. Pada awalnya ia menganut agama Katolik kemudian menjadi ateis. Ia menemukan Islam setelah melewati pergolakan intelektual yang panjang melalui interaksi dengan Al qur’an.
Setelah menjadi seorang muslim, ia aktif menulis untuk menjawab berbagai problematika yang muncul di kalangan umat Islam di Amerika terutama yang dialami umat Islam  generasi kedua dan para mualaf. Mereka mengalami pergolakan dan kegelisahan akibat adanya perbedaan budaya yang sangat menonjol antara kehidupan mereka dengan komunitas masjid di Amerika yang sangat konservatif. 
Budaya masjid menurut Lang bukanlah tradisi Islam yang sesungguhnya, melainkan hanyalah pencampur adukan budaya dari daerah asal para imigran yang belum tentu sesuai dengan Islam. Kultur komunitas masjid yang sangat konservatif itu membentangkan jurang yang semakin dalam antara generasi pertama yang menguasai masjid dengan generasi kedua dan para mualaf. Mereka menolak untuk mempertanyakan agama secara rasional sedangkan kultur Amerika membiasakan seseorang untuk bertanya, mengkaji, menganalisis, dan bahkan menyanggah. 
                           Permasalahan yang muncul kemudian adalah muncul kekecewaan di kalangan generasi kedua dan para mualaf yang membuat mereka meninggalkan masjid. Mereka dilarang mempertanyakan kegelisahan dan pergolakan dalam pikirannya. Ketika mereka bertanya, alih–alih menjawab, komunitas masjid justru mengatakan “begitulah yang diatur dalam Al – Qur’an", “memang seperti itulah adanya” dll yang sangat tidak memuaskan kegelisahan para generasi kedua dan mualaf.  Lebih parah  lagi,  mereka akan dianggap kafir jika bertanya lebih jauh. Pada akhirnya,  upaya mereka untuk meneguhkan iman justru semakin terhambat dengan berbagai doktrin masjid yang tidak rasional di mata mereka.
Kekecewaan ini menyebabkan 70% umat Islam terutama para mualaf dan generasi kedua lari dari masjid dan menjauh dari komunitas muslim. Mereka merasa bahwa kehadirannya cenderung lebih diterima di komunitas non-muslim dari pada di komunitas muslim itu sendiri. Lang yang masuk Islam karena ketertarikannnya pada Al–qur’an yang dinilainya sangat rasional melihat fenomena ini sebagai paradoks. Ia berpikir bahwa masalah ini harus segera dicari solusinya demi menyelamatkan iman para mualaf dan generasi kedua Islam di Amerika. Ia kemudian menulis karya–karya yang menjawab berbagai kegelisahan dan pertanyaan–pertannyaan fundamental sekitar pengetahuan keagamaan dengan pendekatan logis dan analitis.
Latar belakangnya sebagai orang Amerika asli sekaligus pakar Matematika membantunya dalam mengurai berbagai permasalahan rumit yang sering mengoyak iman. Ia memaparkan dengan cara yang logis hingga dapat mengobati berbagai kegelisahan para mualaf dan generasi kedua seputar Islam. IA menjelaskan dengan komprehensif pertanyaan-pertannyaan mereka seperti perihal autentisitas Al–qur’an, sifat–sifat Allah, derita manusia dan keadilan Allah, kenabian Muhammad saw dan pernikahan beliau, pemindahan kiblat, autentisitas hadist, peran perempuan dalam Islam, peran akal dalam Islam dan berbagai permasalahan kontemporer yang justru diharamkan pihak masjid di Amerika untuk dipertanyakan.
Karya–karyanya antara lain Strugling to Surender, Even Angels Ask, dan Losing My Religion : A Call for Help yang dalam versi Indonesianya diterbitkan dalam dua buku berjudul Aku Beriman Maka Aku Bertanya dan Aku Menggugat Maka Aku Kian Beriman. Lang mempercayai bahwa mempertanyakan secara rasional tradisi Islam yang telah mapan tak akan merongrong iman tapi justru menguatkannya.  Justru –menurutnya– untuk menggapai iman sejati kita harus membebaskan diri dari tradisi dan memeriksa keyakinan–keyakinan kita secara rasional.
Ia meyakini bahwa kultur masjid yang mengajarkan agar tidak mempertanyakan tradisi keagamaan dan sikapnya yang membatasi peran perempuan dengan begitu ekstrem adalah faktor utama yang menyebabkan umat Islam generasi kedua dan para mualaf sebagian besar berontak dan mangkir dari masjid. Mereka akhirnya memilih larut dalam musik, teknologi, film, mode, hiburan, dan berita yang memberi mereka keluasan kesempatan untuk meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu.
 Lang menawarkan bagaimana berislam –terutama di negara sekuler seperti Amerika– tanpa meninggalkan modernitas, beriman tanpa mengenyahkan sikap kritis, dan berakhlak tanpa kehilangan jati diri dan budaya sendiri. Lang segera berada di garda depan dalam menjawab gugatan–gugatan umat Islam dan non-muslim terhadap sifat–sifat Allah, autentisitas Al–qur’an, kenabian Muhammad dan berbagai persoalan yang terus dijadikan kontroversi dalam agama Islam. Ia menganggap bahwa peran umat Islam generasi kedua dan para muallaf asli Amerika sangat penting untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi Islam di Amerika pada masa mendatang. Peran mereka mutlak diperlukan demi terjaganya umat Islam Amerika dari kemurtadan karena benturan doktrin konservatif dengan rasionalitas budaya Amerika yang tak dapat dijembatani. Padahal sejatinya Islam tak bertentangan dengan akal. LA dinan liman la aqlan lahu.

Losing My Religion : A Calling for Help ( 2004 )

Lang mengupas persoalan-persoalan fundamental yang dilarang untuk dipertanyakan oleh komunitas masjid di Amerika. Persoalan itu meliputi pertanyaan tentang Al–qur’an, konsep iman dan akal dalam Islam, makna penderitaan, amal saleh dan spiritualitas, pertanyaan-pertanyaan teologis, nabi dan pernikahannya, pemindahan kiblat, peran perempuan, otentisitas hadist nabi dan berbagai macam persoalan kontemporer.
Tulisan Lang seyogyanya menyadarkan umat Islam tentang pentingnya mengkaji ilmu dan konsep–konsep keislaman secara rasional. Tidak hanya dengan memaksakan doktrin keagamaan semata apalagi melarang untuk mempertanyakannya. ini mengingat umat Islam  -mau tidak mau- akan berhadapan dengan budaya yang berbeda dalam kehidupan. Kajian secara rasional sama sekali tidak akan menggerogoti Islam tapi justru menguatkan fakta bahwa Islam benar–benar berasal dari Tuhan Semesta Alam.
 Allah memerintahkan manusia untuk terus berpikir, memahami dan menggunakan akalnya dalam melihat berbagai fenomena kehidupan. Karena hanya orang berpikir dan menggunakan akalnya saja yang akan dapat melihat tanda–tanda kekuasaan Allah dan menemukan hidayah. Menggunakan akal tidak bertentangan dengan Islam karena itu menjadi bagian dari perintah Allah untuk memahami agama.

Al – qur’an

Setelah sekian lama menjadi atheis, Lang memulai pencarian kembali akan Tuhan.  Ia menelaah kembali berbagai macam agama, ia juga membaca Al–qur’an. Ia takjub  saat membacanya, ia mengalami apa yang disebut "Pengalaman religius". Ternyata Al qur’an menjawab segala pertanyaannya seputar konsep Tuhan, manusia dan kehidupan. Pertanyaan yang selama ini tak kunjung terjawab hingga ia prustasi dan menjadi atheis. Awalnya Lang yakin telah memiliki argumen yang mapan sebagai landasan ateisme-nya. Namun kemudian argumennya seakan runtuh satu persatu ketika ia membaca Al–qur’an. Semakin ia berusaha menolaknya, Al qur’an seakan-akan semakin mengajaknya bicara lebih jauh. Meruntuhkan satu persatu bangunan argumen dalam kepalanya.
Al-qur’an tak sekadar membicarakan tujuan hidup dan berbagai hal yang saling berhubungan tanpa kontradiksi, tetapi juga berisi cerita, perumpamaan, peringatan dan kabar gembira. Ia mengandung gambaran yang dramatis seputar neraka, surga, hari pengadilan dan kerja alam semesta. Ia memuat perintah dan bantahan bagi para pencelanya serta bukti pewahyuannya. Ia membawa pandangan yang rasional, penuh perasaan dan spiritual.

Iman dan Akal dalam Islam

Akal berperan penting dalam keimanan seseorang. Manusia dipilih Allah sebagai khalifah di bumi karena kelebihannya berupa kemampuannya untuk berpikir dan menggunakan akal. Allah memerintahkan manusia supaya menggunakan akalnya untuk memahami tanda-tanda kebesaran-Nya. Allah bahkan mengatakan bahwa orang–orang yang mengingkari dan mendustakan ayat–ayat-Nya sebagai orang yang tidak menggunakan akal. Dalam Al–qur’an sering kita dapati kalimat “mereka tidak mengerti”, “tidakkah kamu berpikir?”, “agar kamu memahami”,dll yang mengacu pada pentingnya menggunakan akal untuk menunjang keimanan. Dalam Islam , akal tidak bertentangan dengan iman.

Makna penderitaan, amal shaleh dan spiritualitas

Jika Tuhan maha pengasih mengapa Dia membuat kehidupan ini begitu rumit? Mengapa begitu banyak penderitaan yang menimpa umat manusia? Kelaparan, pertumpahan darah, kekerasan,dll. Mengapa banyak orang baik tapi hidup menderita dan orang jahat hidup sejahtera? Dimana kasih Tuhan sesungguhnya? Bukankah Tuhan yang maha kuasa bisa membuat dunia ini aman dan tentram tanpa kita harus menderita di dalamnya? Lantas kenapa seakan–akan Tuhan menghukum kita dengan penderitaan hidup yang tidak ada habisnya?  Begitu pertanyaan rasional yang biasa muncul. Pertanyaan yang jika tidak dijawab dengan tepat dapat menimbulkan kegoncangan iman. Pertanyaan seperti ini sering menyebabkan seseorang menjadi atheis karena tak menemukan jawabannya.
Penderitaan manusia selalu menimbulkan dilema yang besar dalam wacana agama. Berbagai pertanyaan dan protes seakan–akan mengindikasikan bahwa penderitaan pasti merusak dan tak diinginkan. Hal ini karena manusia cendrung melihat dirinya sebagai korban. Al-qur’an memiliki cara pandang yang berbeda dalam konsep ini. Al qur’an meyatakan bahwa penderitaan adalah bagian penting yang diperlukan dalam proses perkembangan manusia yang akan dialami siapa saja, orang baik maupun jahat. Al-qur’an menegaskan bahwa manusia dapat memperoleh banyak keuntungan jika dapat menyikapi penderitaan itu dengan tepat dengan mengabarkan “ Dan berikanlah kabar gembira kepada orang – orang yang sabar”. Sikap dalam menghadapi penderitaan niscaya akan berkaitan erat dengan kehidupan kita baik dunia maupun di akherat.
Berkaitan dengan amal shaleh, Al-qur’an sering membicarakan tentang cinta Allah. Bahwa Allah mencintai orang–orang yang berbuat baik. Membicarakan cinta Allah berarti membicarakan tentang hubungan timbal balik antara Allah dan hamba-Nya yang diwujudkan dengan amal saleh.
Kedekatan spiritualitas dengan Allah dapat dianalogikan dengan upaya kita untuk mendekati sesama. Kita pasti akan mendekati mereka dengan sesuatu yang sama–sama kita miliki dan mereka miliki baik secara intelektual agar saling memahami ataupun secara emosional dengan mencari sentimen–sentimen yang sama. Lantaran Allah adalah sumber transenden dari segala kebaikan, maka kita mendekati-Nya dengan kebaikan pula dan dengan memahami nama–nama terbaik-Nya.

Pertanyaan – Pertanyaan Teologis

Pertanyaan – pertanyaan teologis sering menjadi pertanyaan yang sulit dijawab bahkan dihindari oleh banyak golongan Islam konservatif dalam komunitas masjid di Amerika. Mempertanyakannya dianggap memicu kekafiran. Namun tak dapat dipungkiri puas tidaknya seseorang atas jawaban–jawaban tersebut akan sangat berpengaruh pada keimanannya. Pertanyaan–pertanyaan ini biasanya berkisar seputar keberadaan Tuhan , konsep takdir (predestinasi dan predeterminasi), keadilan Tuhan , penciptaan,dll

Nabi dan Pernikahannya

Jawaban yang rasional berkaitan dengan berbagai hujatan yang muncul tentang nabi dan pernikahannya sangat diperlukan. Banyak umat Islam mempertanyakan mengapa Nabi Muhammad saw menikahi Aisyah di usianya yang sangat dini. Hal ini sedikit banyak menimbulkan keraguan tentang integritas moral Nabi di kalangan umat Islam dewasa ini terutama yang hidup dalam budaya bebas seperti Amerika.
Lang menjawab pertanyaan ini dengan pendekatan logis. Lang menjelaskan bahwa Aisyah mulai tinggal serumah dengan Nabi saat menginjak akil baligh. Disamping itu pernikahan pada usia ‘dini’ pada masa itu adalah wajar mengingat usia harapan hidup pada waktu itu relatif pendek. Fenomena ini bukan hal yang mengherankan mengingat pada zaman sekarang banyak anak–anak yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia sangat dini saat mereka masih berada di bangku SD atau SMP tanpa ikatan pernikahan. Maka, menurut Lang, menghujat pernikahan Nabi dan Aisyah menjadi tidak relevan mengingat saat ini budaya seks bebaspun menimpa generasi muda di barat pada usia dini. Menikahi gadis seusia Aisyah pada zaman Nabi jelas merupakan hal yang wajar dan bukan tindakan amoral.
Pertanyaan lain muncul berkenaan dengan kenyataan bahwa Nabi menikahi lebih dari 4 wanita sedangkan lelaki muslim hanya boleh menikahi maksimal 4 wanita saja. Ini menjadi persoalan yang sulit diterima oleh logika banyak orang. Lang menjawab bahwa sangat tidak rasional mengatakan bahwa Nabi menikahi banyak wanita karena kecendrungannya yang hyper-seksual. Sebab dalam budaya Arab yang begitu bebas (Konon lebih bebas dari Amerika Serikat dewasa ini, sebuah negara yang diklaim paling bebas di dunia), Nabi tetap membujang hingga umur 25 tahun, dan kemudian menikahi Khadijah yang 15 tahun lebih tua darinya dan menjadikannya sebagai istri tunggal. Setelah Khadijah meninggal Nabi menikahi Saudah yang juga seorang janda, dan Aisyah yang belum tinggal serumah dengannya.
Selanjutnya, setelah peperangan meletus, Nabi menikahi Hafsah (Putri Umar bin Khattab,RA) yang suaminya meninggal di medan perang. Setahun kemudian Nabi menikahi Zaynab Binti Khuzaimah yang suaminya meninggal dalam perang Uhud ( sampai disini total istri Nabi berjumlah 4 orang ). Setelah Zaynab meninggal (dimana istri Nabi tinggal 3 orang), barulah Nabi kemudian menikahi Ummu Salamah yang suaminya meninggal dalam perang yang sama. Apa yang dilakukan Nabi ini tidak menyalahi surat An-nisa ayat 4 yang membatasi seorang lelaki menikahi 4 wanita.
Nabi mulai menikahi lebih dari 4 wanita setelah turun surat Al-ahzab ayat 50 yang memberi pengecualian pada Nabi untuk menikahi lebih dari 4 wanita. Kemudian Nabi menikahi Zaynab binti Jahsy, Ummu Habibah, Juwairiyah, maimunah dan Shofiyah yang tentu saja bukan karena motivasi seksual semata karena mereka telah melewati masa mudanya dan kesemuanya adalah janda. Lalu turunlah surat Al -ahzab ayat 52 sekitar 2 tahun kemudian yang melarang Nabi menikahi wanita lagi sekaligus juga melarang Nabi untuk menceraikan istri–istrinya. (Buku 1, hal 233 – 234). Maka Istri Nabi menjadi sembilan orang. Nabi sama sekali tidak menyalahi Al-qur’an seperti yang difitnahkan para orientalis di Barat.

Pemindahan Kiblat 

Pemindahan kiblat dari Yerussalem ke Mekkah menjadi hal fundamental yang juga ditanyakan banyak umat Islam. Sebuah hipotesis menyatakan  bahwa tujuan dijadikannya Yerussalem sebagai kiblat adalah untuk menarik simpati umat Yahudi agar lebih mudah masuk Islam. Namun, ketika mereka tak kunjung tertarik dengan Islam, Allah dan Nabi Muhammad marah dan kemudian memindahkan kiblat  ke Makkah. Hal ini tentu penting untuk dijawab.
Pendapat bahwa Nabi mengubah kiblat ke Mekkah karena umat Yahudi tidak tertarik pada Islam sejatinya bukan pendapat para mufasir berdasarkan Al-qur’an , tetapi merupakan pendapat para orientalis di Barat. Pertanyaan mengapa Allah tidak menetapkan Makkah sebagai kiblat tentu mustahil dijawab kecuali hanya spekulasi yang terbatas, karena itu di luar pengetahuan manusia.
 Hal yang menarik dari pengubahan arah kiblat ke Makkah adalah bahwa pada saat itu Makkah adalah pusat kekafiran yang penduduknya sangat membenci Islam. jika Al-qur’an adalah buatan Muhammad niscaya ia tidak akan mengarahkan kiblat ke Mekkah dimana waktu itu jumlah umat Islam masih sedikit sedangkan orang–orang kafir Mekkah pasti akan mempertahankan kekuasaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pemindahan kiblat benar–benar perintah Allah dan Al-qur’an adalah wahyu Allah. Penelitian ilmiah selanjutnya menemukan fakta bahwa ternyata Ka’bah adalah pusat bumi.  

Kedudukan Perempuan dalam Islam

Yang paling banyak dikeluhkan oleh muslimah Amerika dalam komunitas Islam adalah praktik pemisahan dan diskriminasi perempuan dalam komunitas masjid Amerika.  Di masjid, mereka ditempatkan terpisah di ruang tersendiri yang sempit, tidak diperbolehkan ikut andil memberikan suara dalam rapat dan musyawarah, tidak boleh mengakses perpustakaan masjid karena dianggap perpustakaan itu hanya untuk kaum lelaki dan berbagai diskriminasi lainnya. Ini sangat ironis dan tak dapat diterima oleh para wanita Amerika yang berasal dari budaya yang sangat menghormati kebebasan individu. Bahkan pemandangan seperti ini tidak dijumpai di masjid–masjid Madinah dan Makkah, dua kota suci umat Islam.
Kultur masjid yang diskriminatif membuat banyak para muslimah terutama generasi kedua dan mualaf jengkel. Kekecewaan mereka kemudian membawa mereka meninggalkan masjid. Hal ini terjadi karena mereka merasa tidak dihormati dan tidak dihargai haknya. Hal ini menimbulkan persoalan serius. Banyak yang kemudian menjadi murtad karena praktik keagamaan yang sebenarnya, menurut Lang, bukan berasal dari ajaran Islam tetapi berasal dari kultur di daerah para imigran yang menguasai masjid dan kemudian menganggapnya sebagai ajaran Islam. Lang menilai bahwa pemurnian kembali Islam dari unsur–unsur budaya yang belum tentu sejalan dengan Islam di masjid–masjid Amerika sangat diperlukan untuk menjaga agar umat Islam Amerika tidak meninggalkan agamanya dan mau kembali ke masjid .

Otentisitas Hadist

Pembahasan Lang mengenai otentisitas hadist cukup mendalam. Pasalnya keragu–raguan umat Islam pada hadist menyebar cukup akut di berbagai penjuru. Keragu-raguan pada otentisitas sanad dan matan menyeruak dan kritik para orientalis tak henti–hentinya dilakukan. Mereka menyajikan data ilmiah yang sangat mudah diakses oleh umat Islam yang mengalami keraguan pada hadist, dan sebaliknya tulisan-tulisan para pakar hadist Islam sangat sulit diakses. Akhirnya penolakan umat Islam sendiri terhadap hadist semakin meluas –sebuah hal yang tidak disadari umat Islam pada umumnya.
Lang sering ditanya oleh para mualaf di Amerika “ Apa pendapatmu tentang hadist? “ sebuah pertanyaan yang mengindikasikan sikap skeptis terhadap perkataan Nabi Muhammad saw. Pertanyaan semacam ini semakin sering muncul bahkan di forum–forum terbuka. Lang mengatakan bahwa jarang sekali sikap skeptis mereka muncul akibat studi yang mendalam tentang hadist, tapi lebih dipicu oleh perjumpaan mereka dengan hadist yang dianggap tidak sesuai dengan pesan Al-qur’an. Mereka kemudian meragukan otentisitas hadist. Ironisnya, para penanya yang kebanyakan adalah para pemuda dan sarjana muslim lebih mudah mengakses hasil penelitian para peneliti hadist dari Barat. Oleh karena keduanya adalah produk budaya dan sistem pendidikan yang sama, para pemuda muslim umumnya lebih mudah menerima pandangan, wacana, dan metodologi para peneliti Barat dalam memahami hadist.
Al-qur’an memerintahkan umat Islam untuk taat pada Nabi, yang artinya berarti pada hadist Nabi. Namun ilmu untuk mengetahui tingkat keabsahan suatu hadist mutlak diperlukan karena ada begitu banyak hadist palsu yang dibuat oleh orang–orang pada awal perkembangan Islam hanya untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Lang sendiri hanya meyakini hadist yang sesuai dengan pandangan Al-qur’an.

Wallahua’lam bissawwab.....

*Tulisan tempoe doeloe... ;)





2 komentar:

  1. menggugah dan membangunkan kesadaran ori islam yg sejak lahir dan karena islam keturunan.

    BalasHapus