Dr.
Jeffrey Lang adalah seorang guru besar Matematika di Universitas Kansas,
Lawrence, Amerika Serikat. Ia seorang muallaf kelahiran Amerika yang
masuk Islam pada tahun 1982. Pada awalnya ia menganut agama Katolik
kemudian menjadi ateis. Ia menemukan Islam setelah melewati pergolakan
intelektual yang panjang melalui interaksi dengan Al qur’an.
Setelah
menjadi seorang muslim, ia aktif menulis untuk menjawab berbagai problematika
yang muncul di kalangan umat Islam di Amerika terutama yang dialami umat Islam generasi kedua dan para mualaf. Mereka
mengalami pergolakan dan kegelisahan akibat adanya perbedaan budaya yang sangat
menonjol antara kehidupan mereka dengan komunitas masjid di Amerika yang sangat konservatif.
Budaya
masjid menurut Lang bukanlah tradisi Islam yang sesungguhnya, melainkan
hanyalah pencampur adukan budaya dari daerah asal para imigran yang belum tentu
sesuai dengan Islam. Kultur komunitas masjid yang sangat konservatif itu
membentangkan jurang yang semakin dalam antara generasi pertama yang menguasai
masjid dengan generasi kedua dan para mualaf. Mereka menolak untuk
mempertanyakan agama secara rasional sedangkan kultur Amerika membiasakan
seseorang untuk bertanya, mengkaji, menganalisis, dan bahkan menyanggah.
Permasalahan
yang muncul kemudian adalah muncul kekecewaan di kalangan generasi kedua dan
para mualaf yang membuat mereka meninggalkan masjid. Mereka dilarang
mempertanyakan kegelisahan dan pergolakan dalam pikirannya. Ketika mereka bertanya,
alih–alih menjawab, komunitas masjid justru mengatakan “begitulah yang diatur dalam
Al – Qur’an", “memang seperti itulah adanya” dll yang sangat tidak memuaskan
kegelisahan para generasi kedua dan mualaf. Lebih parah lagi, mereka akan dianggap kafir jika bertanya lebih
jauh. Pada akhirnya, upaya mereka untuk
meneguhkan iman justru semakin terhambat dengan berbagai doktrin masjid yang
tidak rasional di mata mereka.
Kekecewaan
ini menyebabkan 70% umat Islam terutama para mualaf dan generasi kedua lari
dari masjid dan menjauh dari komunitas muslim. Mereka merasa bahwa kehadirannya
cenderung lebih diterima di komunitas non-muslim dari pada di komunitas muslim
itu sendiri. Lang yang masuk Islam karena ketertarikannnya pada Al–qur’an yang
dinilainya sangat rasional melihat fenomena ini sebagai paradoks. Ia berpikir bahwa masalah ini harus segera dicari
solusinya demi menyelamatkan iman para mualaf dan generasi kedua Islam di
Amerika. Ia kemudian menulis karya–karya yang menjawab berbagai kegelisahan
dan pertanyaan–pertannyaan fundamental sekitar pengetahuan keagamaan dengan
pendekatan logis dan analitis.
Latar
belakangnya sebagai orang Amerika asli sekaligus pakar Matematika membantunya dalam mengurai berbagai permasalahan rumit yang sering mengoyak iman. Ia memaparkan dengan
cara yang logis hingga dapat mengobati berbagai kegelisahan para mualaf dan generasi kedua seputar Islam. IA menjelaskan dengan komprehensif pertanyaan-pertannyaan mereka seperti perihal autentisitas Al–qur’an,
sifat–sifat Allah, derita manusia dan keadilan Allah, kenabian Muhammad saw
dan pernikahan beliau, pemindahan kiblat, autentisitas hadist, peran perempuan
dalam Islam, peran akal dalam Islam dan berbagai permasalahan kontemporer yang
justru diharamkan pihak masjid di Amerika untuk dipertanyakan.
Karya–karyanya antara lain Strugling to
Surender, Even Angels Ask, dan Losing My Religion : A Call for Help
yang dalam versi Indonesianya diterbitkan dalam dua buku berjudul Aku Beriman Maka Aku Bertanya dan Aku Menggugat Maka Aku Kian Beriman.
Lang mempercayai bahwa mempertanyakan secara rasional tradisi Islam yang telah
mapan tak akan merongrong iman tapi justru menguatkannya. Justru –menurutnya– untuk menggapai iman
sejati kita harus membebaskan diri dari tradisi dan memeriksa keyakinan–keyakinan kita secara rasional.
Ia
meyakini bahwa kultur masjid yang mengajarkan agar tidak mempertanyakan tradisi
keagamaan dan sikapnya yang membatasi peran perempuan dengan begitu
ekstrem adalah faktor utama yang menyebabkan umat Islam generasi kedua dan para
mualaf sebagian besar berontak dan mangkir dari masjid. Mereka akhirnya memilih
larut dalam musik, teknologi, film, mode, hiburan, dan berita yang memberi
mereka keluasan kesempatan untuk meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu.
Lang menawarkan bagaimana berislam –terutama
di negara sekuler seperti Amerika– tanpa meninggalkan modernitas, beriman
tanpa mengenyahkan sikap kritis, dan berakhlak tanpa kehilangan jati diri dan
budaya sendiri. Lang segera berada di garda depan dalam menjawab gugatan–gugatan
umat Islam dan non-muslim terhadap sifat–sifat Allah, autentisitas Al–qur’an, kenabian Muhammad dan berbagai persoalan yang terus dijadikan
kontroversi dalam agama Islam. Ia menganggap bahwa peran umat Islam generasi
kedua dan para muallaf asli Amerika sangat penting untuk menjawab berbagai
tantangan yang dihadapi Islam di Amerika pada masa mendatang. Peran mereka
mutlak diperlukan demi terjaganya umat Islam Amerika dari kemurtadan karena benturan
doktrin konservatif dengan rasionalitas budaya Amerika yang tak dapat
dijembatani. Padahal sejatinya Islam tak bertentangan dengan akal. LA dinan liman la aqlan lahu.
Losing My Religion : A Calling for
Help ( 2004 )
Lang
mengupas persoalan-persoalan fundamental yang dilarang untuk dipertanyakan oleh komunitas masjid di Amerika. Persoalan itu meliputi pertanyaan tentang Al–qur’an, konsep
iman dan akal dalam Islam, makna penderitaan, amal saleh dan spiritualitas,
pertanyaan-pertanyaan teologis, nabi dan pernikahannya, pemindahan kiblat,
peran perempuan, otentisitas hadist nabi dan berbagai macam persoalan
kontemporer.
Tulisan
Lang seyogyanya menyadarkan umat Islam tentang pentingnya mengkaji ilmu dan
konsep–konsep keislaman secara rasional. Tidak hanya dengan memaksakan
doktrin keagamaan semata apalagi melarang untuk mempertanyakannya. ini
mengingat umat Islam -mau tidak mau- akan berhadapan dengan budaya yang berbeda dalam kehidupan. Kajian secara rasional
sama sekali tidak akan menggerogoti Islam tapi justru menguatkan fakta bahwa
Islam benar–benar berasal dari Tuhan Semesta Alam.
Allah memerintahkan manusia untuk terus
berpikir, memahami dan menggunakan akalnya dalam melihat berbagai fenomena
kehidupan. Karena hanya orang berpikir dan menggunakan akalnya saja yang akan
dapat melihat tanda–tanda kekuasaan Allah dan menemukan hidayah. Menggunakan
akal tidak bertentangan dengan Islam karena itu menjadi bagian dari perintah
Allah untuk memahami agama.
Al – qur’an
Setelah sekian lama menjadi atheis, Lang
memulai pencarian kembali akan Tuhan. Ia menelaah kembali berbagai macam agama, ia juga membaca Al–qur’an.
Ia takjub saat membacanya, ia mengalami apa yang disebut "Pengalaman religius". Ternyata Al qur’an menjawab segala pertanyaannya seputar konsep
Tuhan, manusia dan kehidupan. Pertanyaan yang selama ini tak kunjung terjawab hingga ia prustasi dan menjadi atheis. Awalnya Lang yakin telah memiliki argumen yang
mapan sebagai landasan ateisme-nya. Namun kemudian argumennya seakan runtuh satu
persatu ketika ia membaca Al–qur’an. Semakin ia berusaha menolaknya, Al qur’an
seakan-akan semakin mengajaknya bicara lebih jauh. Meruntuhkan satu persatu bangunan argumen dalam kepalanya.
Al-qur’an tak sekadar membicarakan tujuan hidup dan berbagai hal yang saling
berhubungan tanpa kontradiksi, tetapi juga berisi cerita, perumpamaan,
peringatan dan kabar gembira. Ia mengandung gambaran yang dramatis seputar
neraka, surga, hari pengadilan dan kerja alam semesta. Ia memuat perintah dan
bantahan bagi para pencelanya serta bukti pewahyuannya. Ia membawa pandangan
yang rasional, penuh perasaan dan spiritual.
Iman dan Akal dalam
Islam
Akal
berperan penting dalam keimanan seseorang. Manusia dipilih Allah sebagai
khalifah di bumi karena kelebihannya berupa kemampuannya untuk berpikir dan
menggunakan akal. Allah memerintahkan manusia supaya menggunakan akalnya untuk
memahami tanda-tanda kebesaran-Nya.
Allah bahkan mengatakan bahwa orang–orang yang mengingkari dan mendustakan
ayat–ayat-Nya sebagai orang yang tidak menggunakan akal. Dalam Al–qur’an
sering kita dapati kalimat “mereka tidak
mengerti”, “tidakkah kamu berpikir?”, “agar kamu memahami”,dll yang mengacu
pada pentingnya menggunakan akal untuk menunjang keimanan. Dalam Islam , akal
tidak bertentangan dengan iman.
Makna penderitaan, amal
shaleh dan spiritualitas
Jika
Tuhan maha pengasih mengapa Dia membuat kehidupan ini begitu rumit? Mengapa
begitu banyak penderitaan yang menimpa umat manusia? Kelaparan, pertumpahan
darah, kekerasan,dll. Mengapa banyak orang baik tapi hidup menderita dan orang
jahat hidup sejahtera? Dimana kasih Tuhan sesungguhnya? Bukankah Tuhan yang
maha kuasa bisa membuat dunia ini aman dan tentram tanpa kita harus menderita
di dalamnya? Lantas kenapa seakan–akan Tuhan menghukum kita dengan
penderitaan hidup yang tidak ada habisnya?
Begitu pertanyaan rasional yang biasa muncul. Pertanyaan yang jika tidak
dijawab dengan tepat dapat menimbulkan kegoncangan iman. Pertanyaan seperti ini
sering menyebabkan seseorang menjadi atheis karena tak menemukan jawabannya.
Penderitaan
manusia selalu menimbulkan dilema yang besar dalam wacana agama. Berbagai
pertanyaan dan protes seakan–akan mengindikasikan bahwa penderitaan pasti
merusak dan tak diinginkan. Hal ini karena manusia cendrung melihat dirinya
sebagai korban. Al-qur’an memiliki cara pandang yang berbeda dalam konsep ini.
Al qur’an meyatakan bahwa penderitaan adalah bagian penting yang diperlukan
dalam proses perkembangan manusia yang akan dialami siapa saja, orang baik
maupun jahat. Al-qur’an menegaskan bahwa manusia dapat memperoleh banyak
keuntungan jika dapat menyikapi penderitaan itu dengan tepat dengan mengabarkan
“ Dan berikanlah kabar gembira kepada
orang – orang yang sabar”. Sikap dalam menghadapi penderitaan niscaya akan
berkaitan erat dengan kehidupan kita baik dunia maupun di akherat.
Berkaitan
dengan amal shaleh, Al-qur’an sering membicarakan tentang cinta Allah. Bahwa
Allah mencintai orang–orang yang berbuat baik. Membicarakan cinta Allah
berarti membicarakan tentang hubungan timbal balik antara Allah dan hamba-Nya
yang diwujudkan dengan amal saleh.
Kedekatan
spiritualitas dengan Allah dapat dianalogikan dengan upaya kita untuk mendekati
sesama. Kita pasti akan mendekati mereka dengan sesuatu yang sama–sama kita
miliki dan mereka miliki baik secara intelektual agar saling memahami ataupun
secara emosional dengan mencari sentimen–sentimen yang sama. Lantaran Allah
adalah sumber transenden dari segala kebaikan, maka kita mendekati-Nya dengan
kebaikan pula dan dengan memahami nama–nama terbaik-Nya.
Pertanyaan – Pertanyaan
Teologis
Pertanyaan
– pertanyaan teologis sering menjadi pertanyaan yang sulit dijawab bahkan
dihindari oleh banyak golongan Islam konservatif dalam komunitas masjid di
Amerika. Mempertanyakannya dianggap memicu kekafiran. Namun tak dapat
dipungkiri puas tidaknya seseorang atas jawaban–jawaban tersebut akan sangat
berpengaruh pada keimanannya. Pertanyaan–pertanyaan ini biasanya berkisar
seputar keberadaan Tuhan , konsep takdir (predestinasi dan predeterminasi),
keadilan Tuhan , penciptaan,dll
Nabi dan Pernikahannya
Jawaban
yang rasional berkaitan dengan berbagai hujatan yang muncul tentang nabi dan pernikahannya
sangat diperlukan. Banyak umat Islam mempertanyakan mengapa Nabi Muhammad saw
menikahi Aisyah di usianya yang sangat dini. Hal ini sedikit banyak menimbulkan
keraguan tentang integritas moral Nabi di kalangan umat Islam dewasa ini
terutama yang hidup dalam budaya bebas seperti Amerika.
Lang
menjawab pertanyaan ini dengan pendekatan logis. Lang menjelaskan bahwa Aisyah
mulai tinggal serumah dengan Nabi saat menginjak akil baligh. Disamping itu
pernikahan pada usia ‘dini’ pada masa itu adalah wajar mengingat usia harapan
hidup pada waktu itu relatif pendek. Fenomena ini bukan hal yang mengherankan
mengingat pada zaman sekarang banyak anak–anak yang mulai melakukan hubungan
seksual pada usia sangat dini saat mereka masih berada di bangku SD atau SMP tanpa
ikatan pernikahan. Maka, menurut Lang, menghujat pernikahan Nabi dan Aisyah
menjadi tidak relevan mengingat saat ini budaya seks bebaspun menimpa generasi
muda di barat pada usia dini. Menikahi gadis seusia Aisyah pada zaman Nabi
jelas merupakan hal yang wajar dan bukan tindakan amoral.
Pertanyaan
lain muncul berkenaan dengan kenyataan bahwa Nabi menikahi lebih dari 4 wanita
sedangkan lelaki muslim hanya boleh menikahi maksimal 4 wanita saja. Ini
menjadi persoalan yang sulit diterima oleh logika banyak orang. Lang menjawab
bahwa sangat tidak rasional mengatakan bahwa Nabi menikahi banyak wanita karena
kecendrungannya yang hyper-seksual. Sebab dalam budaya Arab yang begitu bebas (Konon lebih bebas dari Amerika Serikat dewasa ini, sebuah negara yang diklaim paling bebas di dunia),
Nabi tetap membujang hingga umur 25 tahun, dan kemudian menikahi Khadijah yang
15 tahun lebih tua darinya dan menjadikannya sebagai istri tunggal. Setelah Khadijah
meninggal Nabi menikahi Saudah yang juga seorang janda, dan Aisyah yang belum
tinggal serumah dengannya.
Selanjutnya,
setelah peperangan meletus, Nabi menikahi Hafsah (Putri Umar bin Khattab,RA)
yang suaminya meninggal di medan perang. Setahun kemudian Nabi menikahi
Zaynab Binti Khuzaimah yang suaminya meninggal dalam perang Uhud ( sampai
disini total istri Nabi berjumlah 4 orang ). Setelah Zaynab meninggal (dimana
istri Nabi tinggal 3 orang), barulah Nabi kemudian menikahi Ummu Salamah yang
suaminya meninggal dalam perang yang sama. Apa yang dilakukan Nabi ini tidak
menyalahi surat An-nisa ayat 4 yang membatasi seorang lelaki menikahi 4
wanita.
Nabi
mulai menikahi lebih dari 4 wanita setelah turun surat Al-ahzab ayat 50 yang
memberi pengecualian pada Nabi untuk menikahi lebih dari 4 wanita. Kemudian
Nabi menikahi Zaynab binti Jahsy, Ummu Habibah, Juwairiyah, maimunah dan Shofiyah yang tentu saja bukan karena motivasi seksual semata karena mereka telah
melewati masa mudanya dan kesemuanya adalah janda. Lalu turunlah surat Al -ahzab
ayat 52 sekitar 2 tahun kemudian yang melarang Nabi menikahi wanita lagi
sekaligus juga melarang Nabi untuk menceraikan istri–istrinya. (Buku 1, hal
233 – 234). Maka Istri Nabi menjadi sembilan orang. Nabi sama sekali tidak
menyalahi Al-qur’an seperti yang difitnahkan para orientalis di Barat.
Pemindahan Kiblat
Pemindahan
kiblat dari Yerussalem ke Mekkah menjadi hal fundamental yang juga ditanyakan
banyak umat Islam. Sebuah hipotesis menyatakan
bahwa tujuan dijadikannya Yerussalem sebagai kiblat adalah untuk menarik
simpati umat Yahudi agar lebih mudah masuk Islam. Namun, ketika mereka tak
kunjung tertarik dengan Islam, Allah dan Nabi Muhammad marah dan kemudian
memindahkan kiblat ke Makkah. Hal ini
tentu penting untuk dijawab.
Pendapat
bahwa Nabi mengubah kiblat ke Mekkah karena umat Yahudi tidak tertarik pada
Islam sejatinya bukan pendapat para mufasir berdasarkan Al-qur’an , tetapi merupakan
pendapat para orientalis di Barat. Pertanyaan mengapa Allah tidak menetapkan
Makkah sebagai kiblat tentu mustahil dijawab kecuali hanya spekulasi yang
terbatas, karena itu di luar pengetahuan manusia.
Hal yang menarik dari pengubahan arah kiblat
ke Makkah adalah bahwa pada saat itu Makkah adalah pusat kekafiran yang
penduduknya sangat membenci Islam. jika Al-qur’an adalah buatan Muhammad
niscaya ia tidak akan mengarahkan kiblat ke Mekkah dimana waktu itu jumlah umat
Islam masih sedikit sedangkan orang–orang kafir Mekkah pasti akan
mempertahankan kekuasaannya. Hal ini menunjukkan bahwa pemindahan kiblat benar–benar perintah Allah dan Al-qur’an adalah wahyu Allah. Penelitian ilmiah
selanjutnya menemukan fakta bahwa ternyata Ka’bah adalah pusat bumi.
Kedudukan Perempuan
dalam Islam
Yang
paling banyak dikeluhkan oleh muslimah Amerika dalam komunitas Islam adalah
praktik pemisahan dan diskriminasi perempuan dalam komunitas masjid
Amerika. Di masjid, mereka ditempatkan
terpisah di ruang tersendiri yang sempit, tidak diperbolehkan ikut andil
memberikan suara dalam rapat dan musyawarah, tidak boleh mengakses perpustakaan
masjid karena dianggap perpustakaan itu hanya untuk kaum lelaki dan berbagai
diskriminasi lainnya. Ini sangat ironis dan tak dapat diterima oleh para wanita
Amerika yang berasal dari budaya yang sangat menghormati kebebasan individu. Bahkan
pemandangan seperti ini tidak dijumpai di masjid–masjid Madinah dan Makkah,
dua kota suci umat Islam.
Kultur
masjid yang diskriminatif membuat banyak para muslimah terutama generasi kedua
dan mualaf jengkel. Kekecewaan mereka kemudian membawa mereka meninggalkan
masjid. Hal ini terjadi karena mereka merasa tidak dihormati dan tidak dihargai
haknya. Hal ini menimbulkan persoalan serius. Banyak yang kemudian menjadi
murtad karena praktik keagamaan yang sebenarnya, menurut Lang, bukan berasal
dari ajaran Islam tetapi berasal dari kultur di daerah para imigran yang
menguasai masjid dan kemudian menganggapnya sebagai ajaran Islam. Lang menilai
bahwa pemurnian kembali Islam dari unsur–unsur budaya yang belum tentu
sejalan dengan Islam di masjid–masjid Amerika sangat diperlukan untuk menjaga
agar umat Islam Amerika tidak meninggalkan agamanya dan mau kembali ke masjid .
Otentisitas Hadist
Pembahasan
Lang mengenai otentisitas hadist cukup mendalam. Pasalnya keragu–raguan umat
Islam pada hadist menyebar cukup akut di berbagai penjuru. Keragu-raguan pada
otentisitas sanad dan matan menyeruak dan kritik para orientalis tak henti–hentinya
dilakukan. Mereka menyajikan data ilmiah yang sangat mudah diakses oleh umat Islam
yang mengalami keraguan pada hadist, dan sebaliknya tulisan-tulisan para
pakar hadist Islam sangat sulit diakses. Akhirnya penolakan umat Islam sendiri
terhadap hadist semakin meluas –sebuah hal yang tidak disadari umat Islam pada
umumnya.
Lang
sering ditanya oleh para mualaf di Amerika “ Apa pendapatmu tentang hadist? “ sebuah pertanyaan yang mengindikasikan sikap
skeptis terhadap perkataan Nabi Muhammad saw. Pertanyaan semacam ini semakin
sering muncul bahkan di forum–forum terbuka. Lang mengatakan bahwa jarang
sekali sikap skeptis mereka muncul akibat studi yang mendalam tentang hadist,
tapi lebih dipicu oleh perjumpaan mereka dengan hadist yang dianggap tidak
sesuai dengan pesan Al-qur’an. Mereka kemudian meragukan otentisitas hadist.
Ironisnya, para penanya yang kebanyakan adalah para pemuda dan sarjana muslim
lebih mudah mengakses hasil penelitian para peneliti hadist dari Barat. Oleh
karena keduanya adalah produk budaya dan sistem pendidikan yang sama, para
pemuda muslim umumnya lebih mudah menerima pandangan, wacana, dan metodologi
para peneliti Barat dalam memahami hadist.
Al-qur’an
memerintahkan umat Islam untuk taat pada Nabi, yang artinya berarti pada hadist
Nabi. Namun ilmu untuk mengetahui tingkat keabsahan suatu hadist mutlak
diperlukan karena ada begitu banyak hadist palsu yang dibuat oleh orang–orang
pada awal perkembangan Islam hanya untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
Lang sendiri hanya meyakini hadist yang sesuai dengan pandangan Al-qur’an.
Wallahua’lam
bissawwab.....
*Tulisan tempoe doeloe... ;)
menggugah dan membangunkan kesadaran ori islam yg sejak lahir dan karena islam keturunan.
BalasHapusMasyA Allah...tulisanya bagus baget...
BalasHapus