Selasa, 03 April 2012

Dialog Hati dan Pikiran Sepanjang Jalan Asrama-FTI

DIALOG HATI DAN PIKIRAN SEPANJANG JALAN ASRAMA-FTI

Akibat tadi malam begadang terlalu larut, pagi ini aku harus bangun dengan susah payah, terseok-seok ke tempat wudhu untuk menunaikan shalat subuh. Tertidur lagi, terseok-seok lagi dan bergegas pergi ke kampus. Biasanya, vespa perang Winston Churcill pada masa perang dunia kedua -begitu Taufan Al-giffari memberi nama motor Vario Matic-ku- menemaniku sepanjang perjalanan dari asrama menuju Fakultas Teknologi Industri, tapi tidak kali ini. Kali ini aku berjalan kaki ke fakultas sambil menikmati semilir angin dan cicit burung yang bernyanyi bersahu-sahutan di pepohonan sepanjang jalan asrama-FTI. Aku mulai asik dengan pikiranku sendiri. Autis
Dialogpun dimulai. “Heii, kenapa mesti repot-repot belajar filsafat??” hatiku mulai bertanya. Entah sungguh-sungguh bertanya atau hanya menguji saja. Pikiranku mulai mengorek-orek serpihan-serpihan ingatan yang dulu ia dapat entah dari buku mana. Aha, dia ingat dan kemudian menjawab “Apakah kau pernah mendengar kawan?? Konon seorang filosof Yunani pernah ditanya oleh seorang awam dengan pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaanmu “Mengapa seseorang belajar filsafat??” sang filosofpun menjawab “Agar tidak ada batu yang duduk di atas batu lainnya”, begitu katanya”. “Maksudnya??” hatiku bertanya lebih jauh. “Awalnya aku juga tidak begitu mengerti maksud pernyataan filosof Yunani itu. Tapi setelah aku pelajari lebih dalam, barulah aku mengerti. Usut punya usut, ternyata dalam tradisi masyarakat Yunani Kuno, mereka terbiasa duduk di atas batu saat menonton pertandingan atau pagelaran seni. Agar tidak ada batu yang duduk di atas batu lainnya bermakna : agar manusia sebagai manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dari sekedar batu yang hanya bisa diam dan membisu, tak dapat berpikir. Itulah alasan mengapa kita belajar filsafat” terang pikiranku kepada hatiku.
Mendengar dialog mereka aku hanya bisa termenung. Aku mulai menyadari, mungkin itulah alasan mengapa aku hanya tertarik pada seorang lelaki yang melek filsafat, baik filsafat sebagai ilmu bahkan berfilsafat itu sendiri. Karena aku tak ingin mencintai sebongkah batu!. Dan konsekwensinya, aku menjadi orang yang tidak mudah jatuh cinta.  
“Heiii kasar sekali kau!” protes hatiku kepadaku. Entah aku yang mana. Pikiranku tak terima “Apa salahnya jika dia mencintai seorang pria yang melek filsafat dan bukan sebaliknya?” protesnya tak mau kalah. “Heii sudahlah, untuk apa bertikai?? Kita adalah satu tubuh! Lebih baik kita nikmati indahnya alam sepanjang jalan asrama-FTI ini. Bukankah pagi di Kaligawe seperti oase di padang pasir nan tandus?? Tidak lama dari sekarang kita akan segera disengat matahari choeyy!!” Hatiku mendamaikan. “Ah tidak, bukan hanya suasana pagi, Unissula adalah oase itu sendiri. Pepohonannya yang rindang menghijau menjadi pemandangan nan menyejukkan setiap mata, hati dan pikiran di tengah padang Kaligawe Semarang yang membakar kulit. Kadang kala malah membakar emosi” sergah pikiranku ngeyel tak mau kalah.  
Hati dan pikiranku kembali berdialog. “Apa salahnya aku menyukai pria cerdas??” Ucap pikiranku membelaku. “Ingatkah kau?? dulu kita pernah membaca masterpiece Voltaire –Candide-. Kau pasti tidak lupa bagaimana Conegonde, sang gadis cantik yang sangat intelek berujar “Aku sendiri tidak menyangkal, bahwa dia adalah seorang yang gagah dengan kulit yang halus dan putih. Sisanya, dia adalah orang yang membosankan, dengan sedikit pengetahuan mengenai filsafat –tidak seperti semua murid DR. Pangloss” artinya, isi batok kepala seorang lelaki sering kali menjadi hal yang paling menarik –atau paling membosankan- bagi seorang perempuan yang cerdas” tutur pikiranku membela diri.
“Ahaa!!” hatiku menimpali “apa itu berarti kau merasa cerdas heiii...??!”. Pikiranku tersentak “Apa?? Ehmm.. tidak sama sekali!! Justru semakin hari aku semakin menyadari betapa bodohnya aku, ilmu itu, semakin kukejar rasanya semakin jauh. Dan sama sekali tak ada ruang bagiku untuk sedikit saja menyombongkan diri. Itu hanya berarti bahwa aku tertarik pada filsafat dan menginginkan teman bicara yang bisa memahamiku. Kalo perlu ia bisa memberiku pelajara-pelajaran baru yang belum aku ketahui” Jawab pikiranku dengan tersenyum simpul.
“Heiii tapi tidak adil kau menyebut mereka yang tidak mengerti filsafat dengan nama “sebongkag batu”...!!! Kau pikir hanya kau saja yang bisa berpikir dan mencapai tingkat kebijaksaan?? Bagaimana dengan mereka para tukang becak, sopir angkot, petani atau siapapun yang tidak berkesempatan belajar filsafat sepertimu??” Hatiku kembali protes. Agaknya ia mulai mengobarkan perdebatan, mungkin ia menganggap bahwa pikiranku mulai jauh dari bijaksana.
Pikiranku tersentak, kaget. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Prof.H. Laode Masihu Kamaluddin,Ph.D sosok idolanya, juga idola kawannya, si hatiku itu. Bagiku, beliau adalah seorang Raushanfekr yang cukup langka. Ckikikikiki. Mudah-mudahan muncul Laode-Laode muda di masa depan di bumi Indonesia ini. Tak perlu banyak, 10 cukup J. Pikiranku ingat betul apa yang dikatakan Prof saat mendapati orang-orang yang begitu sok merasa dirinya paling tahu segala ilmu, dan kemudian menyalahkan ini itu, menghakimi mereka yang awam. Menyesatkan si A si B tanpa perasaan. Komentarnya simpel tapi mendalam “Memangnya Cuma mereka yang mau masuk surga?? Petani itu, pedagang asongan, sopir, tukang becak, dan orang-orang awam semuanya?? Mau kemana mereka?? Apa mereka tidak boleh masuk surga hanya karena mereka awam yang tidak mengerti bermacam-macam ilmu ini dan itu??”. Pikiranku kembali termenung.
Melihat pikiranku yang sedang ndoweh –meminjam istilah ustadz Kurdi Amin- hatiku segera memanfaatkan situasi. “Agama choeyy!!!” begitu hatiku bersabda sambil terkekeh melihat pikiranku yang terlalu naif, ndoweh pula!!. “Bukan fardhu ain untuk belajar segala teori-teori filsafat, pada hakekatnya semua manusia sudah berfilsafat. Sadar atau tidak!” kali ini hatiku bicara dengan roman mengayomi, tidak lagi terkekeh-kekeh seperti tadi. “Agama membuat siapapun boleh bermimpi dan layak untuk masuk surga tidak peduli apakah dia seorang tukang becak, sopir, pemulung atau awam macam apapun yang tidak mengerti diskursus ini itu. Dengan catatan, mereka sungguh-sungguh mempelajari dan dengan ikhlas mengamalkan ajaran agamanya. Tak harus tahu mendakik-dakik seperti kau dan kawan-kawanmu!!wkwk”. “Kau tahu kenapa??” lanjutnya “Karena kasih Allah meliputi seluruh umat manusia, tak peduli apakah dia seorang filosof, intelektual atau hanya seorang awam belaka”. “Ia memberi surganya kepada siapapun yang menjalankan tugasnya dengan baik! Sesuai batas maksimal kemampuannya. Itulah mengapa Dia memberi kita pedoman hidup, ya agama itu sendiri.”
”Terus??” pikiranku bertanya. Kali ini tidak dengan maksud mendebat lagi. Ia cukup insyaf dan legawa mendengarkan penuturan hatiku, teman terbaiknya. Yang selalu mengingatkannya setiap kali ia hendak berbuat sesuka hati dan melampaui batas. Bukankah “khairu al-ashab man yadulluka ‘ala khairin” sebaik-baik teman adalah yang menunjukkanmu pada kebaikan.
Hatiku tersenyum bijaksana “Jadi, ya pelajarilah apa saja, sesukamu, sekeras-kerasnya. Sampai batas akhir kemampuanmu. Sampai titik dimana kau menyadari betapa lemah dirimu. Pelajarilah filsafat, monggo kerso, silahkan! Tapi kau harus ingat, filsafat ibarat samudera tak berdasar. Maksudku, dasarnya begitu dalam. Dalam, sangaaaatttttt dalaaaam...! Selalu ingatlah tujuan kau belajar filsafat. Apa tujuanmu belajar filsafat??” hatiku bertanya, mengagetkan pikiranku. ”Emmm, mungkin aku hendak mencari Tuhan, mencari kebenaran dan menemukan kebijaksanaan” jawab pikiranku.
“Baguslah jika kau tahu tujuanmu” jawab hatiku sok dewasa. Pokoknya kau jangan pernah lupa. Samudera filsafat itu begitu dalam. Apa yang kau cari sesungguhnya ada di dasarnya yang paling dalam. Saat kau memutuskan untuk mengarunginya, setiap saat kau bisa saja diterjang ombak, dihempas badai. Kau bisa saja mati kelaparan dipermukaannya, atau mati kehabisan oksigen beberapa meter di bawah permukaannya. Dan ketika kau sampai di dasar sekalipun, belum tentu kau benar-benar bisa menemukan mutiara kebijaksanaan yang kau cari itu. Taukah kau...??” lanjutnya “Jutaan orang mencoba mengarunginya, para filosof dari jaman baheula terus mencari dan mencari. Hasilnya?? Banyak yang gagal, prustasi, dan hanya sedikit yang berhasil menemukannya”. “Anyway.. siapa saja filosof yang kau kenal??” hatiku bertanya. “hehe Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Nietzsche, dan... ehmm banyak!” jawab pikiranku sedikit congkak. “Nah, Al-Farabi dan Ibnu Rusyd itulah contoh mereka yang berhasil menemukan mutiara itu, kau tahu...?? dan siapa tadi yang terakhir...?? Ahh, Nietzsche, dia itu salah satu yang prustasi”. Pikiranku manggut-manggut, kadang berkernyit. Menyimak.
“Heiii, mau tidak kau aku kasih bocoran??” hatiku bertanya nakal. “Apa??” jawab pikiranku penasaran. “Kau tahu apa itu mutiara kebijaksanaan di dasar samudera yang selama ini dicari orang-orang dengan susah payah??” hatiku yang baik menawarkan diri untuk memberi tahu. Pikiranku mulai penasaran, tapi sedikit ego “Oia, apa?? Eh, tapi biar aku membuktikannya sendiri ahh...!! eeh, tapi aku penasaran. Apa??”. “wkwkwk” hatiku terkekeh melihat inkonsistensi pikiranku. “Okayy, aku beritahu kau. Mutiara kebijaksanaan itu adalah kebenaran Allah!! Ckikikiki, dan mutiara itu sudah digenggam orang-orang awam dalam panduan agama yang diridhoi-Nya”. Ungkap hatiku bangga karena sudah berhasil membuat pikiranku berputar-putar.
Pikiranku mengejar “Jadi maksudmu filsafat dan agama itu akan menuju satu titik?? Tuhan?? Dan tidak bertentangan satu sama lain?? Begitu??”. “Tepat sekali!!!” jawab hatiku. “Manusia selama ini begitu sibuk, sampai-sampai tidak bisa melihat kebenaran. Padahal ternyata kebenaran itu dekat saja. Maka dari itu aku bilang padamu. Semua orang berhak dan boleh bermimpi masuk surga. Tidak hanya orang-orang macam tuanmu dan teman-temannya, yang kadang kala sombong dan menegasikan kebijaksanaan yang ada pada orang-orang biasa. Padahal belum tentu juga tuanmu itu layak masuk surga. Apa gunanya kau begitu cemerlang tapi tersesat, malah menuhankan dirimu sendiri. Padahal Dia sangat pencemburu lho, tidak mau disekutukan dengan apapun, apalagi dengan dirimu. Kau pikir kau siapa heh?? Lebih baik orang-orang awam itu yang menunduk takzim di hadapan kebesaran-Nya”. “Jadi aku harus bagaimana??” tanya pikiraku mulai galau. “Ya berpikir saja, silahkan, sekeras-kerasnya kau bisa. Kan kata Nabi La dinan liman la aqlan lahu. Kalau pikiranmu waras, kau pasti akan menemukan kebenaran itu, ya agama Allah itu”.
Akhirnya, hati dan pikiranku sama-sama terdiam. Mereka menunduk takdzim menghayati suasana pagi yang cerah sepanjang jalan asrama-fakultas. Pikiranku kemudian bergumam “Indah sekali alam ini. Sebuah keteraturan dengan presisi tak terbayangkan. Ini pasti ada yang menciptakan..! dan pencipta itu pastilah berbeda dengan kita semua. Dia pasti satu. Bukan dua, tiga, atau banyak. Karena Dia yang menciptakan semua ini, pastilah Dia tak terjangkau. Karena jika Dia bisa aku jangkau, berarti dia adalah bagian dari semua ini. Jika begitu, Dia tidak layak disebut dzat di atas segala dzat. Ia tak layak disebut Tuhan”. “Benar sekali perkataanmu kawan! Dia lah Allah, tidak ada Tuhan selain dia. Pencipta seluruh alam. Dia maha perkasa. Ia tidak terjangkau”.
Hatiku terus bicara “Tahukah kau?? Analogi alam semesta ini di hadapan Allah ibarat satu tubuh manusia di hadapan seluruh luas alam semesta. Jutaan bintang, ribuan galaksi. Ahhh.. sungguh alam semesta ini luasnya tidak terbayangkan. Kau akan bertasbih bila belajar sains dan teknologi!! Ckikikikiki. dan tahukan kau, analogi diri kita di hadapan alam semesta ini ibarat kuman di sela-sela gigi manusia. Alam semesta itulah seperti tubuh manusia dimana sang kuman tinggal. Apa mungkin kau bisa melihat tubuh manusia seluruhnya sedangkan engkau tak lebih hanyalah seekor kuman di sela-sela gigi?? Bahkan untuk melihat keseluruhan gigi saja pandanganmu sungguh terbatas (manusia), apa lagi mau melihat seluruh tubuh manusianya (alam semesta). Dan Allah dibanding alam semesta, ibarat keluasan alam semesta di hadapan manusia. Kau mau melihat alam semesta (Allah)?? Padahal melihat manusia (alam semesta) saja kau tak sanggup, melihat gigi (lingkungan sekitar) seluruhnyapun tak becus. Jadilah kuman yang tahu diri..!! kenalilah kelebihan dan kekuranganmu dengan segenap kerendahan hati dan pikiran. Karena siapa yang mengenal dirinya, dia mengenal Tuhan-Nya
“Kondratmu memang selalu ingin bertanya. Bertanyalah. Tapi kenalilah dirimu!. Ternyata simpel bukan. Betapa maha baiknya Allah yang berkenan menyampaikan kebenaran-Nya kepada manusia dengan pedoman yang sangat terang, dan bisa dipahami siapapun : Agama. Mari kita mendoakan Muhammad SAW, yang melalui dirinyalah risalah Allah bisa sampai kepada kita. Sehingga kita bisa mengenal diri dan kebenaran-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah baginya, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh pengikut ajarannya hingga akhir zaman” Hatiku berkhutbah, pikiranku meng-amin-kan. “Amin Ya Allah”.
“Eit, tunggu dulu. Kalo begitu aku menyukai seorang pria yang baik agamanya sekaligus melek filsafat. Pas to...?? ckikikiki” pikiranku terkekeh-kekeh nakal sekali. Hatiku hanya bisa geleng-geleng bersamaan dengan tersibaknya kesadaranku. Aku sudah sampai di Fakultas Teknologi Industri.
Wallahua’lam bissawwab
“Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar dan beri kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah yang batil itu batil dan beri kami kekuatan untuk menjauhinya”
-Doa Muhammad SAW-
*Jika ada kebenaran dalam tulisan ini, kebenaran itu dari Allah. Jika ada kekeliruan, kekeliruaan itu asalnya dari diri saya sendiri. Semoga Allah mengampuni segala kesalahan. Amin.

        


3 komentar:

  1. sebuah renungan yang luar biasa...:) lanjutkan!

    BalasHapus
  2. Kenapa belajar filsafat? ”Emmm, mungkin aku hendak mencari Tuhan, mencari kebenaran dan menemukan kebijaksanaan” jawab pikiranmu."

    Mencari Tuhan dengan jalan filsafat, kayaknya itu bukan hal yang tepat. Hampir seluruh filosof Barat non muslim yang saya baca, tidak ada yang berhasil menemukan tuhan yang dicari. karena filsafat bukan jalan untuk mencari Tuhan.

    Filsafat adalah alat untuk membuktikan kebenaran Tuhan.
    Seperti yang dilakukan oleh filososf muslim. Mereka tidak mencari Tuhan. Karena dari awal mereka sedah menemukan Tuhannya.

    BalasHapus
  3. jarak asrama-FTI panjang banget yah...ckckckck....

    BalasHapus