DIALOG HATI
DAN PIKIRAN SEPANJANG JALAN ASRAMA-FTI
Akibat tadi malam begadang terlalu larut, pagi ini aku
harus bangun dengan susah payah, terseok-seok ke tempat wudhu untuk menunaikan shalat subuh. Tertidur lagi, terseok-seok
lagi dan bergegas pergi ke kampus. Biasanya, vespa perang Winston Churcill pada
masa perang dunia kedua -begitu Taufan Al-giffari memberi nama motor Vario Matic-ku- menemaniku sepanjang
perjalanan dari asrama menuju Fakultas Teknologi Industri, tapi tidak kali ini.
Kali ini aku berjalan kaki ke fakultas sambil menikmati semilir angin dan cicit
burung yang bernyanyi bersahu-sahutan di pepohonan sepanjang jalan asrama-FTI.
Aku mulai asik dengan pikiranku sendiri. Autis.
Dialogpun dimulai. “Heii, kenapa mesti repot-repot
belajar filsafat??” hatiku mulai bertanya. Entah sungguh-sungguh bertanya atau
hanya menguji saja. Pikiranku mulai mengorek-orek serpihan-serpihan ingatan
yang dulu ia dapat entah dari buku mana. Aha, dia ingat dan kemudian menjawab
“Apakah kau pernah mendengar kawan?? Konon seorang filosof Yunani pernah
ditanya oleh seorang awam dengan pertanyaan yang hampir sama dengan
pertanyaanmu “Mengapa seseorang belajar
filsafat??” sang filosofpun menjawab “Agar
tidak ada batu yang duduk di atas batu lainnya”, begitu katanya”.
“Maksudnya??” hatiku bertanya lebih jauh. “Awalnya aku juga tidak begitu
mengerti maksud pernyataan filosof Yunani itu. Tapi setelah aku pelajari lebih
dalam, barulah aku mengerti. Usut punya usut, ternyata dalam tradisi masyarakat
Yunani Kuno, mereka terbiasa duduk di atas batu saat menonton pertandingan atau
pagelaran seni. Agar tidak ada batu yang
duduk di atas batu lainnya bermakna : agar manusia sebagai manusia memiliki
derajat yang lebih tinggi dari sekedar batu yang hanya bisa diam dan membisu,
tak dapat berpikir. Itulah alasan mengapa kita belajar filsafat” terang
pikiranku kepada hatiku.
Mendengar dialog mereka aku hanya bisa termenung. Aku
mulai menyadari, mungkin itulah alasan mengapa aku hanya tertarik pada seorang
lelaki yang melek filsafat, baik filsafat sebagai ilmu bahkan berfilsafat itu
sendiri. Karena aku tak ingin mencintai sebongkah batu!. Dan konsekwensinya,
aku menjadi orang yang tidak mudah jatuh cinta.
“Heiii kasar sekali kau!” protes hatiku kepadaku. Entah
aku yang mana. Pikiranku tak terima “Apa salahnya jika dia mencintai seorang
pria yang melek filsafat dan bukan sebaliknya?” protesnya tak mau kalah. “Heii
sudahlah, untuk apa bertikai?? Kita adalah satu tubuh! Lebih baik kita nikmati
indahnya alam sepanjang jalan asrama-FTI ini. Bukankah pagi di Kaligawe seperti
oase di padang pasir nan tandus??
Tidak lama dari sekarang kita akan segera disengat matahari choeyy!!” Hatiku mendamaikan. “Ah tidak,
bukan hanya suasana pagi, Unissula adalah oase
itu sendiri. Pepohonannya yang rindang menghijau menjadi pemandangan nan
menyejukkan setiap mata, hati dan pikiran di tengah padang Kaligawe Semarang
yang membakar kulit. Kadang kala malah membakar emosi” sergah pikiranku ngeyel tak mau kalah.
Hati dan pikiranku kembali berdialog. “Apa salahnya aku
menyukai pria cerdas??” Ucap pikiranku membelaku. “Ingatkah kau?? dulu kita
pernah membaca masterpiece Voltaire –Candide-. Kau pasti tidak lupa bagaimana
Conegonde, sang gadis cantik yang sangat intelek berujar “Aku sendiri tidak menyangkal, bahwa dia adalah seorang yang gagah
dengan kulit yang halus dan putih. Sisanya, dia adalah orang yang membosankan,
dengan sedikit pengetahuan mengenai filsafat –tidak seperti semua murid DR.
Pangloss” artinya, isi batok kepala seorang lelaki sering kali menjadi hal
yang paling menarik –atau paling membosankan- bagi seorang perempuan yang
cerdas” tutur pikiranku membela diri.
“Ahaa!!” hatiku menimpali “apa itu berarti kau merasa
cerdas heiii...??!”. Pikiranku tersentak “Apa?? Ehmm.. tidak sama sekali!!
Justru semakin hari aku semakin menyadari betapa bodohnya aku, ilmu itu,
semakin kukejar rasanya semakin jauh. Dan sama sekali tak ada ruang bagiku
untuk sedikit saja menyombongkan diri. Itu hanya berarti bahwa aku tertarik
pada filsafat dan menginginkan teman bicara yang bisa memahamiku. Kalo perlu ia
bisa memberiku pelajara-pelajaran baru yang belum aku ketahui” Jawab pikiranku
dengan tersenyum simpul.
“Heiii tapi tidak adil kau menyebut mereka yang tidak
mengerti filsafat dengan nama “sebongkag batu”...!!! Kau pikir hanya kau saja
yang bisa berpikir dan mencapai tingkat kebijaksaan?? Bagaimana dengan mereka
para tukang becak, sopir angkot, petani atau siapapun yang tidak berkesempatan
belajar filsafat sepertimu??” Hatiku kembali protes. Agaknya ia mulai
mengobarkan perdebatan, mungkin ia menganggap bahwa pikiranku mulai jauh dari
bijaksana.
Pikiranku tersentak, kaget. Tiba-tiba ia teringat
kata-kata Prof.H. Laode Masihu Kamaluddin,Ph.D sosok idolanya, juga idola
kawannya, si hatiku itu. Bagiku, beliau adalah seorang Raushanfekr yang cukup langka. Ckikikikiki. Mudah-mudahan muncul
Laode-Laode muda di masa depan di bumi Indonesia ini. Tak perlu banyak, 10
cukup J. Pikiranku ingat
betul apa yang dikatakan Prof saat mendapati orang-orang yang begitu sok merasa dirinya paling tahu segala
ilmu, dan kemudian menyalahkan ini itu, menghakimi mereka yang awam. Menyesatkan
si A si B tanpa perasaan. Komentarnya simpel tapi mendalam “Memangnya Cuma mereka yang mau masuk surga?? Petani itu, pedagang
asongan, sopir, tukang becak, dan orang-orang awam semuanya?? Mau kemana
mereka?? Apa mereka tidak boleh masuk surga hanya karena mereka awam yang tidak
mengerti bermacam-macam ilmu ini dan itu??”. Pikiranku kembali termenung.
Melihat pikiranku yang sedang ndoweh –meminjam istilah ustadz Kurdi Amin- hatiku segera
memanfaatkan situasi. “Agama choeyy!!!” begitu hatiku bersabda sambil terkekeh
melihat pikiranku yang terlalu naif, ndoweh
pula!!. “Bukan fardhu ain untuk belajar segala teori-teori filsafat, pada
hakekatnya semua manusia sudah berfilsafat. Sadar atau tidak!” kali ini hatiku
bicara dengan roman mengayomi, tidak lagi terkekeh-kekeh seperti tadi. “Agama
membuat siapapun boleh bermimpi dan layak untuk masuk surga tidak peduli apakah
dia seorang tukang becak, sopir, pemulung atau awam macam apapun yang tidak
mengerti diskursus ini itu. Dengan catatan, mereka sungguh-sungguh mempelajari
dan dengan ikhlas mengamalkan ajaran agamanya. Tak harus tahu mendakik-dakik
seperti kau dan kawan-kawanmu!!wkwk”. “Kau tahu kenapa??” lanjutnya “Karena
kasih Allah meliputi seluruh umat manusia, tak peduli apakah dia seorang
filosof, intelektual atau hanya seorang awam belaka”. “Ia memberi surganya
kepada siapapun yang menjalankan tugasnya dengan baik! Sesuai batas maksimal
kemampuannya. Itulah mengapa Dia memberi kita pedoman hidup, ya agama itu
sendiri.”
”Terus??” pikiranku bertanya. Kali ini tidak dengan
maksud mendebat lagi. Ia cukup insyaf dan legawa
mendengarkan penuturan hatiku, teman terbaiknya. Yang selalu mengingatkannya
setiap kali ia hendak berbuat sesuka hati dan melampaui batas. Bukankah “khairu al-ashab man yadulluka ‘ala khairin”
sebaik-baik teman adalah yang menunjukkanmu pada kebaikan.
Hatiku tersenyum bijaksana “Jadi, ya pelajarilah apa
saja, sesukamu, sekeras-kerasnya. Sampai batas akhir kemampuanmu. Sampai titik
dimana kau menyadari betapa lemah dirimu. Pelajarilah filsafat, monggo kerso, silahkan! Tapi kau harus
ingat, filsafat ibarat samudera tak berdasar. Maksudku, dasarnya begitu dalam.
Dalam, sangaaaatttttt dalaaaam...! Selalu ingatlah tujuan kau belajar filsafat.
Apa tujuanmu belajar filsafat??” hatiku bertanya, mengagetkan pikiranku. ”Emmm,
mungkin aku hendak mencari Tuhan, mencari kebenaran dan menemukan
kebijaksanaan” jawab pikiranku.
“Baguslah jika kau tahu tujuanmu” jawab hatiku sok dewasa.
Pokoknya kau jangan pernah lupa. Samudera filsafat itu begitu dalam. Apa yang
kau cari sesungguhnya ada di dasarnya yang paling dalam. Saat kau memutuskan
untuk mengarunginya, setiap saat kau bisa saja diterjang ombak, dihempas badai.
Kau bisa saja mati kelaparan dipermukaannya, atau mati kehabisan oksigen
beberapa meter di bawah permukaannya. Dan ketika kau sampai di dasar sekalipun,
belum tentu kau benar-benar bisa menemukan mutiara kebijaksanaan yang kau cari
itu. Taukah kau...??” lanjutnya “Jutaan orang mencoba mengarunginya, para
filosof dari jaman baheula terus
mencari dan mencari. Hasilnya?? Banyak yang gagal, prustasi, dan hanya sedikit
yang berhasil menemukannya”. “Anyway..
siapa saja filosof yang kau kenal??” hatiku bertanya. “hehe Al-Farabi, Ibnu Rusyd,
Nietzsche, dan... ehmm banyak!” jawab pikiranku sedikit congkak. “Nah,
Al-Farabi dan Ibnu Rusyd itulah contoh mereka yang berhasil menemukan mutiara
itu, kau tahu...?? dan siapa tadi yang terakhir...?? Ahh, Nietzsche, dia itu
salah satu yang prustasi”. Pikiranku manggut-manggut, kadang berkernyit. Menyimak.
“Heiii, mau tidak kau aku kasih bocoran??” hatiku
bertanya nakal. “Apa??” jawab pikiranku penasaran. “Kau tahu apa itu mutiara kebijaksanaan
di dasar samudera yang selama ini dicari orang-orang dengan susah payah??”
hatiku yang baik menawarkan diri untuk memberi tahu. Pikiranku mulai penasaran,
tapi sedikit ego “Oia, apa?? Eh, tapi biar aku membuktikannya sendiri ahh...!!
eeh, tapi aku penasaran. Apa??”. “wkwkwk” hatiku terkekeh melihat inkonsistensi
pikiranku. “Okayy, aku beritahu kau.
Mutiara kebijaksanaan itu adalah kebenaran Allah!! Ckikikiki, dan mutiara itu
sudah digenggam orang-orang awam dalam panduan agama yang diridhoi-Nya”. Ungkap
hatiku bangga karena sudah berhasil membuat pikiranku berputar-putar.
Pikiranku mengejar “Jadi maksudmu filsafat dan agama itu
akan menuju satu titik?? Tuhan?? Dan tidak bertentangan satu sama lain??
Begitu??”. “Tepat sekali!!!” jawab hatiku. “Manusia selama ini begitu sibuk,
sampai-sampai tidak bisa melihat kebenaran. Padahal ternyata kebenaran itu
dekat saja. Maka dari itu aku bilang padamu. Semua orang berhak dan boleh
bermimpi masuk surga. Tidak hanya orang-orang macam tuanmu dan teman-temannya,
yang kadang kala sombong dan menegasikan kebijaksanaan yang ada pada
orang-orang biasa. Padahal belum tentu juga tuanmu itu layak masuk surga. Apa
gunanya kau begitu cemerlang tapi tersesat, malah menuhankan dirimu sendiri. Padahal
Dia sangat pencemburu lho, tidak mau disekutukan dengan apapun, apalagi dengan
dirimu. Kau pikir kau siapa heh?? Lebih baik orang-orang awam itu yang menunduk
takzim di hadapan kebesaran-Nya”. “Jadi aku harus bagaimana??” tanya pikiraku
mulai galau. “Ya berpikir saja, silahkan, sekeras-kerasnya kau bisa. Kan kata
Nabi La dinan liman la aqlan lahu.
Kalau pikiranmu waras, kau pasti akan menemukan kebenaran itu, ya agama Allah
itu”.
Akhirnya, hati dan pikiranku sama-sama terdiam. Mereka
menunduk takdzim menghayati suasana pagi yang cerah sepanjang jalan
asrama-fakultas. Pikiranku kemudian bergumam “Indah sekali alam ini. Sebuah
keteraturan dengan presisi tak
terbayangkan. Ini pasti ada yang menciptakan..! dan pencipta itu pastilah berbeda
dengan kita semua. Dia pasti satu. Bukan dua, tiga, atau banyak. Karena Dia
yang menciptakan semua ini, pastilah Dia tak terjangkau. Karena jika Dia bisa
aku jangkau, berarti dia adalah bagian dari semua ini. Jika begitu, Dia tidak
layak disebut dzat di atas segala dzat. Ia tak layak disebut Tuhan”. “Benar
sekali perkataanmu kawan! Dia lah Allah, tidak ada Tuhan selain dia. Pencipta
seluruh alam. Dia maha perkasa. Ia tidak terjangkau”.
Hatiku terus bicara “Tahukah kau?? Analogi alam semesta
ini di hadapan Allah ibarat satu tubuh manusia di hadapan seluruh luas alam
semesta. Jutaan bintang, ribuan galaksi. Ahhh.. sungguh alam semesta ini
luasnya tidak terbayangkan. Kau akan bertasbih bila belajar sains dan
teknologi!! Ckikikikiki. dan tahukan kau, analogi diri kita di hadapan alam
semesta ini ibarat kuman di sela-sela gigi manusia. Alam semesta itulah seperti
tubuh manusia dimana sang kuman tinggal. Apa mungkin kau bisa melihat tubuh
manusia seluruhnya sedangkan engkau tak lebih hanyalah seekor kuman di
sela-sela gigi?? Bahkan untuk melihat keseluruhan gigi saja pandanganmu sungguh
terbatas (manusia), apa lagi mau melihat seluruh tubuh manusianya (alam
semesta). Dan Allah dibanding alam semesta, ibarat keluasan alam semesta di
hadapan manusia. Kau mau melihat alam semesta (Allah)?? Padahal melihat manusia
(alam semesta) saja kau tak sanggup, melihat gigi (lingkungan sekitar) seluruhnyapun
tak becus. Jadilah kuman yang tahu diri..!! kenalilah kelebihan dan
kekuranganmu dengan segenap kerendahan hati dan pikiran. Karena siapa yang mengenal dirinya, dia mengenal
Tuhan-Nya”
“Kondratmu memang selalu ingin bertanya. Bertanyalah.
Tapi kenalilah dirimu!. Ternyata simpel bukan. Betapa maha baiknya Allah yang
berkenan menyampaikan kebenaran-Nya kepada manusia dengan pedoman yang sangat
terang, dan bisa dipahami siapapun : Agama. Mari kita mendoakan Muhammad SAW,
yang melalui dirinyalah risalah Allah bisa sampai kepada kita. Sehingga kita
bisa mengenal diri dan kebenaran-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurah baginya, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh pengikut ajarannya
hingga akhir zaman” Hatiku berkhutbah, pikiranku meng-amin-kan. “Amin Ya
Allah”.
“Eit, tunggu dulu. Kalo begitu aku menyukai seorang pria
yang baik agamanya sekaligus melek filsafat. Pas to...?? ckikikiki” pikiranku terkekeh-kekeh nakal sekali. Hatiku
hanya bisa geleng-geleng bersamaan dengan tersibaknya kesadaranku. Aku sudah
sampai di Fakultas Teknologi Industri.
Wallahua’lam
bissawwab
“Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar dan beri kami
kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah yang batil itu batil dan beri
kami kekuatan untuk menjauhinya”
-Doa Muhammad SAW-
*Jika ada kebenaran dalam tulisan ini, kebenaran itu dari
Allah. Jika ada kekeliruan, kekeliruaan itu asalnya dari diri saya sendiri.
Semoga Allah mengampuni segala kesalahan. Amin.
sebuah renungan yang luar biasa...:) lanjutkan!
BalasHapusKenapa belajar filsafat? ”Emmm, mungkin aku hendak mencari Tuhan, mencari kebenaran dan menemukan kebijaksanaan” jawab pikiranmu."
BalasHapusMencari Tuhan dengan jalan filsafat, kayaknya itu bukan hal yang tepat. Hampir seluruh filosof Barat non muslim yang saya baca, tidak ada yang berhasil menemukan tuhan yang dicari. karena filsafat bukan jalan untuk mencari Tuhan.
Filsafat adalah alat untuk membuktikan kebenaran Tuhan.
Seperti yang dilakukan oleh filososf muslim. Mereka tidak mencari Tuhan. Karena dari awal mereka sedah menemukan Tuhannya.
jarak asrama-FTI panjang banget yah...ckckckck....
BalasHapus