Minggu, 08 April 2012

Tugas UAS Ilmu Sejarah-SPI 3

DARAH, ANGKARA DAN TAHTA

Langit dunia temaram. Angin dingin menyeka seluruh istana di kotaraja. Sekilas  nampak para prajurit berjaga-jaga. Saat itu, di bale maguntur sedang di adakan pasewakan yang di ikuti oleh hampir semua unsur pejabat dan kerabat singasari.
Bale Maguntur adalah tempat biasa dilaksanakannya pasewakan dan pisowanan ageng sekaligus menjadi bagian muka istana raja. Pasewakan dan Pisowanan biasa diikuti oleh segenap kesatria, para pendeta, pujangga, serta dua orang Dharmadyaksa dengan tujuh pembantu yang selalu menyertainya. Bagian utara istana diperuntukan para pujangga dan menteri, bagian timur tempat duduk keluarga anak mantu raja, semuanya menghadap ke satu arah, yaitu rumah kecil tempat duduk raja yang biasa disebut Balai Witana.
Di halaman balai Witana, terlihat barisan pohon asoka yang sedang mekar bunganya.  Warna merah dan putih bunga asoka itu terlihat sangat indah. Pohon asoka berselang-seling dengan pohon tanjung dan pohon brasmastana yang melingkupi bangunan memanjang bernama Panca Ayodya. Bila tatapan mata diarahkan menembus dinding,  terdapat lapang hijau berumput yang berderet indah menembus bunga-bunga rampai.

Siang itu langit nampak pucat. Lembayung nampak sendu. Di balai maguntur[1] sedang terjadi debat hebat antara patih-patih, penasihat kerajaan dan Sri Kertanegara[2]. Terdengar logat Sumenep – Madura yang tegas dengan suara  membahana, “Paduka, alangkah baiknya jika kita pikirkan matang-matang rencana Pamalayu[3] ini.” Sergah Aryawiraraja[4]. Aryawiraraja merupakan salah satu tangan kanan Kertanegara, hampir semua kebijakan ketatanegaraan diambil berdasarkan tukar pikir dengan penasehat Singasari ini. Sejenak suasana hening kala ucapan yang terlontar itu didengar satu demi satu orang yang ada di balai maguntur. Balai maguntur adalah sebuah tempat yang artistik. Disana banyak terdapat ornamen ukiran keindahan yang membuat nyaman para abdi kerajaan saat  berkumpul. Namun tidak hari ini saat suasana sedikit tegang oleh debat ekspedisi Pamalayu.

Gubrrrraaaakkkk,,,,,mendadak sunyi senyap saat terdengar bantingan minuman Kertanegara yang mengagetkan seluruh orang yang sedang berkumpul di balai itu. “apa??!!??” suara Kertanegara bergetar. “apa kamu bercanda Aryawiraraja? bagaimana mungkin rencana yang sudah kubuat matang-matang ini harus kandas begitu saja bahkan sebelum perang dimulai??” Sambung Kertanegara penuh luapan kemarahan. Gentar semua hati para pembesar dan Aryawiraraja mendengar gelegar suara Sri Kertanegara. Bagaimana tidak, ekspedisi Pamalayu adalah sebuah gagasan besar yang nanti menjadi tonggak sejarah baru bagi Singasari untuk menyatukan nusantara di bawah kekuasaan Kertanegara dan membendung kedigjayaan armada laut mongol yang congkak luar biasa.

Memang pada masa itu kekuasaan pasukan tartar sangat menghegemoni di dunia. Kekuasaan yang dibangun Jenghis Khan itu hampir mengusai seluruh asia timur dan separuh dunia. Dan kini, kekuasaan Kubilai Khan sang raja Mongol yang merupakan cucu dari Jenghis Khan dari Dinasti Yuan sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Untuk itu, Kertanagara mencoba mendahuluinya dengan menguasai Swarnabhumi (Sumatera) sebelum datang serbuan dari pihak asing. Di samping itu, Sri Kertanegara memang telah berambisi untuk menyatukan seluruh nusantara dalam satu kedaulatan di bawah panji-panji Singasari yang dengan susah payah telah dibangun pendahulunya, Ken Arok.

Menurut Aryawiraraja ide ekspedisi Pamalayu sangatlah rentan terhadap pertahanan Singasari. Jika sebagian besar kekuatan prajurit Singasari dikerahkan keluar untuk menyerang Swarnabhumi, akan sangat riskan bagi Singasari seandaiannya tiba-tiba muncul serangan dari luar. Tapi, pemikiran semacam itu tidak masuk dalam benak Sri Kertanegara, baginya pertahanan terbaik adalah menyerang. Ambisinya telah menutup matanya pada berbagai kemungkinan buruk yang mungkin muncul sebagaimana yang diungkapkan Aryawiraraja. Dan ternyata, rencana besarnya itu justru ditentang oleh Aryawiraraja yang selama ini sangat dekat dengannya. Penentangan ini membuatnya murka.

Sepasang tokek merayap pelan di tembok balai maguntur. Mereka menjadi saksi rapat para pejabat Singasari dengan jujungan mereka sri kertanegara. Nampak menantu sri kertanegara Arda Raja[5] dan Sanggrama Wijaya mengikuti rapat yang sedang berjalan. Hawa dingin seakan menjadi panas akibat suasana yang menegang. Hati Sanggrama Wijaya bergejolak, dalam hati ia membayangkan kebenaran ucapan Aryawiraraja yang terkenal ahli siasat itu. Ia berpikir, benar juga alasan yang di lontarkan oleh Aryawiraraja yang dikenal sebagai Babatangannira. Adalah sangat rentan terhadap keselamatan pertahanan Singasari jika hampir 2/3 kekuatan Singasari menyerbu ke Swarnabhumi. Disampingnya, Arda Raja sedang mempertimbangkan   apa yang dikatakan romonya, Jayakatwang di Kadiri sewaktu ia pulang kampung. Ayahnya mempunyai wacana ingin menyerang Singasari karena merasa bahwa yang paling layak memimpin Jawadwipa seharusnya adalah Kadiri sebab Singasari didirikan di atas tanah Kadiri oleh seorang begundal, Ken Arok.[6] Tapi, cita-citanya  seperti “Punguk merindukan bulan”. Membayangkan kekuatan Singasari yang mahadahsyat, memaksakan diri untuk menyerang adalah tindakan bodoh. Pasukan prajurit gelang-gelang Kadiri tidak mungkin dapat melawannya. Itu seperti kambing melawan banteng. Arda Raja semakin galau. Pikirannya terus berkecamuk.

Sanggrama Wijaya kembali memecah keheningan gelaran rapat “ Ayahanda, ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh paman Aryawiraraja, bahwa sangat berbahaya bagi keamanan Singasari jika kita mengirim besar-besaran pasukan kita ke Swarnabhumi.” Dengan suara penuh kelembutan Raden Wijaya mencoba mencairkan suasana yang sempat membuat pengap udara di balai penghadapan. Tergambar jelas gurat wajah Sri Kertanegara yang nampak tidak senang dengan apa yang  disampaikan menantu kesayangannya itu. “Hmm,” gumam Sri Kertanegara. “Anakku, dengan kita menguasai tanah Swarnabhumi maka kita dapat membendung dan menghalangi kepongahan kekuasaan Tartar yang sewaktu-waktu dapat menyerang ke Jawadwipa. Dengan kapal kapal kita, lautan disana dapat diamankan dalam wilayah Singasari.” Sambung Sri Kertanegara. Memang cukup rasional alasan Kertanegara, dengan menguasai Swarnabhumi yang merupakan nadi di ujung barat Nusantara, akses Mongol untuk menyerang Jawa (Singasari) dapat dipersulit. Namun, rencana itu tak ubahnya seperti buah Simalakama, yang dapat memperkuat Singasari dari serangan Mongol sekaligus memperlemah pertahanan di dalam tubuh Singasari itu sendiri.

Waktu cepat berputar tanpa terasa langit yang teduh bertambah muram seolah ikut merasakan kemuraman hati para pejabat kerajaan Singasari. Mereka bingung harus memihak Aryawiraraja yang terkenal cemerlang dalam hal siasat atau paduka tercintanya Sri Kertanegara. Alasan yang di katakan Aryawiraraja memang masuk akal, dengan mengirimkan banyak prajurit jauh-jauh ke seberang sama saja mengundang badai datang. Tapi jika tidak dibendung sejak dini maka bisa habislah Singasari tergilas oleh pasukan tartar mongol yang diutus Khubilai Khan untuk menginvasi dunia.

Namun toh bagaimanapun, ekspedisi ke Swarnabhumi atau Pamalayu tetap di laksanakan. Pada tahun 1275 dimulailah keberangkatan gerbong pertama yang dipimpin oleh Kebo Anabrang[7] menuju Swarnabhumi. Pikiran Aryawiraraja masih bergejolak. Ia masih teringang-ngiang ucapan Sri Kertanegara “ Aryawiraraja, kau terlalu takut dan tidak punya nyali singa rupanya. Pangkatmu yang agung sebagai raklian ri pakirakiran makabehan ( Golongan pejabat tinggi kerajaan yang berfungsi sebagai badan pelaksana pemerintahan yang terdiri dari patih, demung, kanuruhan, tumenggung dan rangga ) Singosari aku turunkan menjadi demung, silahkan engkau kembali ke madura.” Kata-kata Sri Kertanegara seperti petir yang menggelegar di siang bolong. Sakit hati yang begitu mendalam dirasakan oleh orang kepercayaan Kertanegara itu. Sambil bersandar menatap gelap langit dengan udara yang dingin dan tanah yang sedikit basah oleh rintik gerimis, Aryawiraraja menetapkan hati untuk kembali ke Sumenep kampung halamannya, sekaligus menenangkan hatinya yang terluka, Jika  bisa[8].

Waktu bergulir silih berganti. Detik, jam, hari, bulan dan tahun terus berganti. Pasokan tenaga, biaya baik material maupun moril seperti ombak yang tak pernah berhenti mengirim deburnya, begitupun Sri Kertanegara yang terus mendapat kabar tentang gemilangnya armada pasukan Singasari membabat alas Swarnabhumi.[9]

Laut tersibak, meninggalkan buih-buih putih memanjang. Di kejauhan, permukaan laut seperti kaca kelabu, memantulkan warna emas matahari yang bersiap-siap untuk bersembunyi, mengakhiri perjalanan hari ini. Mata Meng khi[10], menatap bundaran matahari  yang hampir menyentuh garis cakrawala. Ia sendirian diburitan, berdiri dalam latar bidang langit yang makin temaram,dengan tangan bertumpu pada pagar perahu, pikirannya melayang tak menentu. Ia membawa titah dari sang kaisar langit Khubilai Khan menuju Jawadwipa. Rambutnya tergerai terbawa angin laut utara Jawa yang kencang dari arah buritan. Lekuk wajahnya menggambarkan kepenatan setelah berbula-bulan terombang-ambing di samudera lepas. “Esok”, batinnya berkata, “esok”.

Akhirnya, tibalah ia di dermaga dengan langkah pasti. Utusan bangsa Khubilai Khan ini membawa surat untuk menyampaikan titah rajanya bahwa Singasari harus tunduk dan mengakui kebesaran Mongol. Akan tetapi, betapa terkejutnya ia saat datang di tempat pasewakan kerajaan Singasari.  Ia di terima langsung oleh baginda Singasari Sri Kertanegara dan semua elemen pejabat, dan tanpa tedeng aling-aling seketika itu pula murka Sri Kertanegara dengan tawa menggelegak. Lalu diludahinya muka utusan kerajaan Mongol tersebut, “tak sudi aku untuk tunduk kepada cucu pendiri kerajaan Mongol itu !!!”, “apa dikiranya tanah Jawa ini akan takut dan menyerah, sampaikan pada rajamu itu, tak kan gentar nyaliku menghadapinya. Tak akan sejengkal tanahpun dari Jawadwipa ini akan kuserahkan padanya!!” kemudian Sri kertanegara mengukir dahi dan mengiris telinga utusan mongol itu. Sungguh pemandangan yang mengerikan.

Dengan tertatih-tatih, muka pucat dan kaki serasa di atas awang-awang tunggang langgang Meng Khi kembali ke negaranya untuk melaporkan apa yang telah dikatakan dan dilakukan oleh Sri Kertanegara bahwa ia tak mau mengakui kedaulatan dan tunduk kepada Mongol yang agung. Ia tak mau mengirimkan upeti sebagai tanda bahwa Singasari tunduk dalam kekuasaan kerajaan mongol yang menguasai dunia.

Setibanya Meng Khi di hadapan raja Mongol yang agung itu, seketika itu juga Khubilai Khan murka. Ia ingin segera menghukum kelancangan Kertanegara yang telah berani menghina utusannya dengan sangat nista[11]. Namun, hadiah yang di berikan oleh Sri Kertanegara kepada utusan Mongol itu tidak lain tentulah karena ia yakin bahwa pasukan yang dikirimkannya di Swarnabhumi mampu mengatasi serangan dari pasukan Mongol tartar Khubilai Khan di kemudian hari. Sri Kertanegara telah menghitung secara matang –menurut perkiraannya-  sampai ia pun berani membuat utusan Khubilai Khan kehilangan satu telinganya. Sri Kertanegara telah membuat sebuah rencana besar, yaitu memperluas wilayah kekuasaan Singasari hingga ke Swarnabhumi untuk membendung serangan Mongol yang dikenal dengan nama ekspedisi pamalayu.

Angin masih berhembus pelan melewati bilik kamar Sanggrama Wijaya, ia termenung membayangkan mimpinya. Mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Dalam mimpinya, ia melihat umbul-umbul Singasari dan balai maguntur terbakar hebat. Dan sekarang, butir-butir peluh dingin terasa membanjiri tubuhnya yang terjaga. Entah apakah itu mimpi dari Sang Dewata atau sekedar bunga tidur, Sanggrama Wijaya berus berpikir. Sedang Tribuana Tunggadewi, sang istri, masih terlelap  dalam belaian angin malam. Pikiran Sanggrama Wijaya terus berkecamuk mengingat mimpi buruknya, tatap mata sanggrama wijaya[12] nampak kosong, dilihatnya istrinya yang seperti puteri khayangan, dibayangkannya jika mimpi itu menjadi nyata. Namun, segenap kemudian kesadarannya pulih, ah itu hanya bunga tidur. Mungkin.

Sanggrama Wijaya masih mempunyai garis keturunan trah kerajaan dari leluhurnya Lembu Tal yang ikut membangun kejayaan Singasari. Sanggrama Wijaya mempunyai lekuk wajah khas kewibawaan seorang raja, tangan kokoh, lembut tutur dan gerai rambut berombak yang menggambarkan keanggunan bagi siapapun yang melihatnya. Wijaya adalah anugerah bagi Singasari yang diberikan oleh Dewata, ia juga merupakan anak mantu dari raja Sri Kertanegara, penguasa Jawadwipa.

Di wisma keputren tampak para dayang sedang menemani putri-putri Sri Kertanegara. Langit yang teduh membuat mereka nampak enggan keluar dari peraduan. Telihat senyum indah Tribuana, Mahadewi, Pradnya Paramitha Jayendradewi dan Dyah Gayatri. “Yunda, bagaimana kalau kita berkeliling ke alun-alun mumpung saat ini sedang teduh ?” ajak Dyah Gayatri manja pada kakak tertuanya Tribuana, yang rupanya ingin berjalan-jalan melihat suasana di luar keputren. Tribuana menghela nafas, sebenarnya ia enggan untuk beranjak keluar karena pikirannya masih menerawang tentang mimpi suaminya – Sanggrama Wijaya- tadi malam. “Semoga itu hanya bunga tidur belaka” batin tribuana berkata pada dirinya sendiri. Tiba-tiba, “Oh, mari dinda” jawab puteri tertua Sri Kertanegara dengan spontan seperti tidak sadar. Dyah Gayatri nampak bingung melihat kakaknya yang spontan tersadar dari lamunannya.

Alunan suara jangkrik sahut menyahut menghiasi malam, langit masih mendung, udara menusuk sendi-sendi tubuh. Keadaan seperti ini membuat orang enggan  pergi  keluar rumah. Mereka yang sudah berkeluarga, lebih memilih tetap berada di dalam rumah, bercengkramah dengan istri dan anak-anaknya. Anak anak yang takut oleh cerita-cerita hantu yang sering di kisahkan orang tua menyelusup dalam dekapan hangat ibunya dan berharap bisa segera terlelap.

Di kamarnya Sanggrama Wijaya mendengar tembang lirih yang disenandungkan oleh istrinya, Tribuana Tungga Dewi seolah dapat membaca apa yang ada dalam hati dan pikiran suaminya. Memang jasadnya ada di sampingnya, tapi jiwanya melayang entah kemana. “kanda.” Lembut Tribuana memanggil sang suami. “ada apa? Apakah kanda masih memikirkan tentang mimpi kemarin malam ?” sambung Tribuana sambil membelai rambut Sanggrama Wijaya. “oh, tidak dinda, tidak apa-apa hanya memang kanda sedikit bimbang tapi semoga itu hanya sebatas perasaan saja.”

Sayup sayup jago mulai berkokok, pagi yang cerah seakan memberi keindahan tersendiri. Desiran angin yang merayap bersama semburat fajar membawa ketentraman bagi jiwa-jiwa yang letih oleh berbagai problematika kehidupan.

Pagi itu sanggrama wijaya terbangun. Digerakan tubuhnya yang masih enggan beranjak karena masih merasa letih oleh berita-berita tentang adanya gerakan-gerakan pemberontakan yang entah darimana rimbanya. Pikirannya tak tenang meski hari baru saja dimulai. Dengan semakin banyaknya pasukan prajurit Singasari yang dikirim ke Swarnabhumi untuk membendung serangan Mongol yang bisa kapan saja terjadi,keamanan di dalam kerajaan semakin riskan. Apalagi sejak peristiwa di balai pasewakan, saat prabu Sri Kertanegara menghukum utusan Mongol dengan kejam, kemungkinan bahwa Mongol akan menuntut balas semakin besar. Pasti bangsa tartar itu tak kan tinggal diam, benak sanggrama wijaya bicara.

Hari semakin siang, Sanggrama Wijaya ingin segera menghadap ayah mertuanya Sri Kertanegara untuk membahas tentang desas-desus yang diwartakan oleh telik sandi Singasari bahwa pasukan gelang-gelang Kadiri akhir-akhir ini seperti menunjukan peningkatan latihan, seperti bersiap untuk berperang.

Setelah sampai di balai maguntur, tampak  prabu Sri Kertanegara sedang duduk santai, pikirannya semakin menyakini kebenaran rencananya menginvasi Swarnabhumi. “Coba saat itu aku mengikuti saran Aryawiraraja, habislah aku”. Sri kertanegara berbicara pada dirinya sendiri.

“Ayahanda prabu,” sapa Sanggrama Wijaya, membangunkan sri kertanegara dari lamunan manisnya. “Ya, ada apa ananda??,” jawab Sri Kertanegara. “Ananda ingin melaporkan bahwa sepertinya pasukan Kadiri Jayakatwang sedang berlatih penuh seolah bersiap untuk perang ayahanda.” Sanggrama Wijaya memberitahukan tentang kabar yang berhembus kencang yang dibawa oleh telik sandi kerajaan dan orang-orang dekat Sanggrama Wijaya seperti Nambi dan Lembu Sora.

“Hah! Tidak mungkin itu terjadi anakku, bagaimana jadinya??! Dimana logikanya pasukan kerajaan gelang-gelang yang hanya seujung pucuk daun itu dapat menjatuhkan pasukan besar Singasari yang daerah kekuasaannya meliputi nusantara ini.” Sri Kertanegara menanggapi informasi yang diberikan oleh menantu kesayangannya itu dengan jumawa.

“Tak benar berita itu kakang Wijaya,” Arda Raja menimpali. “ Benar apa yang dikatakan ayahanda prabu, tak mungkin pasukan sebesar semut gelang-gelang menyerang dan kemudian mengalahkan kekuatan besar seperti Singasari”, Arda Raja  menguatkan apa yang di katakan Sri Kertanegara. “ Lagipula ayahanda Jayakatwang dan ayahanda prabu Sri Kertanegara adalah saudara,” sambung Arda Raja, menyakinkan bahwa berita itu hanyalah isu. “ Tentang pasukan gelang-gelang yang sedang berlatih itu, hanyalah latihan biasa untuk melatih para prajurit agar tidak bermalas-malasan kakang”, Arda Raja menjelaskan panjang lebar.

“Benar, anakku Wijaya, tak usah kau khawatir. Meski saat ini kebanyakan para prajurit sedang berada di Swarnabhumi, namun masih ada kau Wijaya, dan kau Arda Raja yang menjadi tembok kembar dalam menjaga kedaulatan dan keselamatan Singasari”, Sri Kertanegara berusaha menetralisir keadaan sekaligus menenangkan Sanggrama Wijaya.

Tersenyum Arda Raja seolah ikut menenangkan pikiran Sanggrama Wijaya. Tapi, senyuman Arda raja itu mengganggu Sanggrama Wijaya. Intuisinya berkata lain, “sepertinya ada yang tidak beres”.

Langit yang terang  berganti senja di barat daya. Sanggrama Wijaya bersandar di balainya, tidak tenang, namun senyum manis Tribuana Tungga Dewi dan Dyah Gayatri menghapus sendunya saat matahari tenggelam dan waktu berganti malam. Malam menyergap istana Singasari. Beberapa obor telah dinyalakan untuk menerangi sudut-sudut istana. Beberapa prajurit terlihat berjalan mondar-mandir di halaman, beberapa yang lain hanya duduk saja. Di langit, bulan purnama nampak indah. Namun tebalnya kabut akhirnya memberangus gemilang cahaya bulan purnama itu. Kabut yang tiba-tiba muncul itu seperti sebuah petanda atas apa yang mungkin akan terjadi. Sebuah teka-teki yang tidak lama lagi akan terjawab.

Udara yang dingin membuat orang-orang menggigil. Seorang perempuan tua merasa cemas jika minyak kelentik yang dibuatnya seharian akan beku oleh cuaca dingin. Sebenarnya tidak jadi soal jika minyak kelentik terbuat dari santan kelapa itu membeku, karena bila hawa panas datang, keadaan beku itu akan segera berubah menjadi cair. Sebenarnya, kotaraja sangat jarang disergap kabut, tetapi kali ini seperti momen langka yang ajaib. Beberapa prajurit menjadikan kabut ini tontonan, mereka terlihat takjub. Makin malam, kabut yang turun semakin tebal. Empat buah obor besar yang menyala di pendopo terlihat kabur, bahkan makin tidak terlihat kecuali sedikit sekali cahaya yang masih nampak temaram. Angin yang berhembus kencang akhirnya membunuh obor satu persatu tanpa meninggalkan belas kasihan, satu per satu cahaya penerangan istana itupun padam, cahaya di langit oleh terang bulan sama sekali tidak membantu.

Udara semakin dingin menggigit tulang. Rupanya angin sedang berulah. Kabut yang semula melingkupi puncak Gunung Arjuno, Gunung Welirang, dan Gunung Anjasmaro bergerak ke arah utara dan menyebar ke segenap sudut kotaraja Singasari, menyebar ke wilayah sekitarnya. Angin tanpa hujan yang terus menderu itu menumbuhkan tanda tanya di kepala penghuni kotaraja. Gejala alam semacam itu terasa aneh. Jarang sekali angin berhembus keras seperti ini.

Kabut yang turun itu mengaburkan lapangan kotaraja. Kabut juga merambah ke wilayah di luat batas kotaraja. Para prajurit siaga penuh. Kabut itu terbawa angin kencang ke sudut-sudut istana. Angin kencang itu sedikit banyak menyebabkan kabut menghilang, tetapi sejurus kemudian muncul kembali karena hawa dingin yang menggigit menusuk tulang. Angin yang membawa udara dingin menggigit itu membuat para istri memeluk suaminya, atau anak-anak menyusup mencari perlindungan di balik dekapan ibunya karena ketakutan. Para orang tua yang menganggap kejadian itu sebagai sebuah keganjilan segera keluar rumah untuk mencermati keadaan yang menjadi sebuah anomali tersendiri di malam itu.

Di sudut perondan tiga orang lelaki terheran-heran. “Apa ini?” bertanya salah satu dari mereka. “Angin membawa kabut!” jawab seorang diantara mereka. “ Ya aku tahu,” ucap yang pertama, “ maksudku, kabut ini sangat aneh. Kabut ini terlalu tebal dan tidak wajar. Aku bahkan tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas.” “itu karena matamu sudah tidak normal”, jawab seorang di sebelahnya. Yang seorang lagi yang cukup pendiam ikut bicara. “Tidak ada yang aneh dengan kabut ini. Hanya kabut biasa, hanya gejala alam biasa, kebetulan saja sangat tebal. Dulu saat aku muda, aku sering berhadapan dengan keadaan seperti ini di kaki gunung Sindoro dan gunung Sumbing”. Lelaki yang mengaku pernah singgah di gunung sindoro itu menyeruput tehnya yang sudah dingin. “Baru diseduh tadi sudah dingin.” Gumamnya pada dirinya sendiri.

“Aku mengantuk.” Ucap yang pertama menahan rasa ingin menguap yang sangat berat. “Aku ingin tidur.” Lelaki itu beranjak naik ke parondan dan segera menyelimuti dirinya dengan kain sarung kumal yang dimilikinya. Akan tetapi, lain halnya dengan mereka, para orang tua biasanya menggunakan “ilmu titen”, yaitu kemampuan untuk menandai sebuah peristiwa. Ki Ronggo dan Ki Wongso, dua orang penduduk biasa yang tinggal di luar dinding kotaraja singasari itu memiliki wawasan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Apabila malam tiba, apalagi langit nampak jernih, mereka sering kali memerhatikan bintang-bintang di langit. Kedudukan bintang yang juga disebut kartika bagi mereka memiliki makna. Itulah sebabnya kemunculan bintang kemukus dengan ekor yang memanjang dan terlihat benderang memberi kecemasan tersendiri di hati kedua orang tua itu. Apalagi, ditambah dengan munculnya keganjilan baru, yaitu kabut tebal yang meyelimuti kotaraja Singasari. Betapa berdebarnya hati kedua orang tua itu. Ini sungguh sebuah petanda buruk.

“Bagaimana menurutmu Adi Wongso?” tanya lelaki tua yang rambutnya sudah memutih itu. “Apakah menurutmu apa yang baru saja kita lihat bukan suatu hal yang mengerikan?”. Ki Wongso dan Ki Ronggo Banur ternyata memiliki perbendaharaan pengetahuan yang langka dan tidak dimiliki orang pada umumnya. Bahwa kemunculan bintang kemukus merupakan pertanda yang tidak baik, itu sudah diketahui oleh orang banyak. Namun, bahwa munculnya kabut dengan angin deras tak berhujan, hanya orang tertentu yang memahaminya. Apalagi, sehari sebelumnya ketika langit terlihat bersih, tampak bintang kemukus dengan ekornya yang memanjang gemerlapan.

Wirahrukmana, seorang pemuda yang sejak tadi mendengarkan percakapan antara Ki Wongso dan Ki Ronggo menyimak dengan penuh perhatian. Meski merasa sangat  penasaran, Wirahrukmana berusaha menahan diri untuk tidak bertanya kepada keduanya.

“Apa yang terjadi saat ini seperti pengulangan atas apa yang pernah terjadi pada masa silam. Sehari menjelang perang besar yang terjadi antara Tumapel (Singasari) di bawah kendali Ken Arok melawan Kadiri di bawah Kertajaya, terjadi keganjilan seperti ini. Kabut tebal dan badai melintas di waktu malam saat langit sedang berhias bintang kemukus, seolah menjadi petanda khusus akan adanya perang yang meminta banyak korban,” berkata ki Ronggo Banur. Wirahrukmana atau yang sering di panggil Wirahkmana akhirnya tak bisa menahan rasa penasarannya. “Apakah ini berarti bahwa besok akan terjadi peristiwa besar? Peristiwa apakah itu? Besok negeri ini akan diserang negeri lain atau bagaimana Ki?” tanya Wirahrukmana sedikit tegang. Ki Ronggo dan Ki Wongso saling pandang.

“Apa yang kita bicarakan hanyalah ilmu titen, Wirahkmana,” Jawab Ki Wongso. “Bahwa dahulu kala ada beberapa perang besar yang meminta banyak korban nyawa, umumnya ditandai munculnya bintang kemukus. Setelah beberapa hari bintang yang memiliki ekor menyala benderang itu muncul, munculnya kabut dengan angin kencang itu makin mempertegas akan hadirnya peristiwa semacam itu. Jika kau bertanya besok akan terjadi peristiwa apa, aku sama sekali tidak memiliki kemampuan meramalkan hari esok.”

Wirahkmana semakin penasaran, ”kalau ternyata besok tidak terjadi apa-apa?”
Ronggo Banur memandang Wirahkmana dengan tajam, seolah bicara “aku yakin besok akan terjadi sesuatu yang luar biasa”.  “Ya,” Ki Wongso menyakinkan, ”Aku juga yakin besok akan terjadi sesuatu”. “Nah kau dengar suara apa itu?” Telinga Wirakhmana seperti menangkap suara burung gagak. Suara buruk gagak di malam hari benar-benar menimbulkan rasa tidak nyaman di hati semua orang. Bukan hanya burung gagak, beberapa ekor anjingpun menyalak bersahutan. Seorang anak sangat ketakutan oleh suara lolongan anjing itu dan bersembunyi di sela pelukan ayah ibunya. Dalam imajinasi sanga anak, adanya anjing yang saling menggonggong adalah pertanda bahwa sedang ada hantu mengerikan yang memunculkan diri di depan anjing-anjing itu.  Imajinasinya menggambarkan bentuk hantu yang sangat mengerikan, membuatnya semakin ketakutan.

Suasana terasa sangat hening, waktu semakin bergerak ke pusat malam, kabut yang membungkus kotaraja Singasari semakin pekat. Bahkan, akhirnya Ki Ronggo Banur dan Ki Wongso tidak lagi dapat saling memandang. Parahnya lagi, obor yang dipegang Wirahkmana kehabisan minyak. “Apakah jika siang datang keadaan akan tetap seperti ini?” bertanya Wirahkmana yang ternyata semakin merasa cemas.

“Tentu tidak, kau tahu jawabnya,” jawab Ki Ronggo Banur. Malam yang pekat itu membuat Sanggrama Wijaya tidak dapat berpikir dengan tenang. Ia mendapat sebuah surat dari prajurit yang menjadi bawahannya. Sebuah surat yang ditulis di atas lembaran daun tal. Dari siapa surat itu, Sanggrama Wijaya tak mengketahuinya. Prajurit itu menemukan surat itu melekat pada anak panah yang menyambar tembok luar kotaraja.

“Akan ada sebuah peristiwa besok, peristiwa yang mungkin akan menggilas istana, bila Raden Wijaya ingin mendapat gambaran lebih utuh atas siapa pemerannya, temui aku di bawah pohon beringin kurung,” demikian isi pesan yang terukir di lembaran daun tal itu.

Sanggrama Wijaya terus berjalan memenuhi undangan sang pengirim surat. Sadar bahwa tatapan matanya tidak mungkin membelah kabut, Sanggrama Wijaya berusaha menajamkan telinganya. Menjelang tepi alun-alun sebelah utara, yaitu tempat dimana terdapat sebuah jalan menuju wisma kepatihan, Sanggrama Wijaya terhenyak. Ada seseorang yang menghadang langkahnya. Orang itu berdehem mewartakan keberadaannya, meyakinkan Sanggrama Wijaya bahwa dialah orang yang hendak menemuinya.

“Siapa?” bertanya Raden Wijaya, di tengah lautan kabut yang menyamarkan pandangan. Orang yang menghadangnya itu belum menjawab. Namun, Sanggrama Wijaya dapat dengan gesit mengikuti gerak langkah orang tersebut. “Kaukah orang yang mengirimkan pesan untukku?” tegas Sanggrama Wijaya dengan sangat wibawa.

Sanggrama wijaya menatap erat pandangannya. Karena tebal kabut seperti melumpuhkan penglihatannya. Dengan penuh kesadaran calon raja Singasari di masa depan itu mengandalkan kekuatan telinganya. “Sebut aku Manjer Kawuryan,” jawab orang itu. Dari suaranya Sanggrama Wijaya mengetahui bahwa orang itu menggunakan topeng. Terdengar dari getar suaranya yang tertahan. “Manjer Kawuryan”, Sanggrama Wijaya memahami apa artinya. Tangsu Manjer Kawuryan berarti bulan tengah bercahaya terang benderang.

“Ada keperluan apa kau menemuiku?” bertanya Sanggrama Wijaya. “Aku bermaksud baik,” jawab orang itu. “Sejak sekarang, kau hanya punya sedikit waktu raden. Karena saat fajar menyingsing nanti, sebuah pasukan segelar sepapan akan bergerak menggilas kotaraja dan istana Singasari”.

“Kekuatan dari mana yang akan menyerbu istana itu?” Tanya Sanggrama Wijaya. Namun, orang itu tidak juga menjawab. Dengan tenang ia berjalan menjauh meninggalkan Raden Wijaya. Ingin rasanya Sanggrama Wijaya menghentikan orang itu, tapi pekatnya kabut menghalangi penglihatannya. Ia pun berpikir, percuma rasanya bertanya lebih banyak karena waktu yang ada lebih baik digunakan sebaik mungkin untuk menyiapkan diri dari serangan itu. Beberapa saat Sanggrama Wijaya terpaku sendiri di tepi alun-alun. Dengan seksama ia memperhatikan keadaan yang sepi, senyap, dan damai. Rasanya sulit dipercaya di balik keadaan “adem ayem” itu tersembunyi sebuah ombak bahaya besar yang siap menggulung Singasari. Keadaan begitu cepat berubah.

Tersadar Sanggrama Wijaya dari lamunannya. Ia berpikir, siapapun orang itu, ia telah menyampaikan informasi yang sangat penting. Meskipun keterangan itu diterimanya selapis demi selapis, tetapi Sanggrama Wijaya yakin akan kebenarannya. Kegiatan latihan yang sangat berlebihan dari prajurit gelang-gelang (Kadiri) ternyata menjadi isyarat akan terjadinya sebuah rencana penyerangan.

Dengan banyaknya kekuatan prajurit Singasari yang berada di luar pertahanan, Singasari merupakan makanan empuk bagi siapapun yang ingin menggempur kekuasaan Singasari. Tapi, yang membuat Sanggrama Wijaya tak habis pikir,  apakah mungkin yang hendak menyerang Singasari adalah pasukan Kadiri pimpinan Jayakatwang yang sebenarnya telah memperoleh kedudukan terhormat yang diberikan oleh Sri Kertanegara sang penguasa Singasari.

Apa yang menjadi tanda dan kekhawatiran beberapa orang akhirnya benar-benar terjadi. Saat fajar menyingsing seorang prajurit melihat pasukan gelang-gelang Kadiri  berjalan ke arah singasari seperti aliran banjir bandang, dengan pasukan segelar sepapan siap untuk berperang. Sri Kertanegara seolah tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Ia geram,merasa ditipu mentah-mentah dan dikhianati oleh orang dekatnya sendiri. Segera ia menyiapkan semua pasukan yang ada untuk maju menyerang melayani serbuan pasukan gelang-gelang Jayakatwang. Kecewa, ia merasa seperti di tusuk dari belakang. Namun, Sri Kertanegara tak gentar barang sejengkal. Di kotaraja ia membakar semangat pasukan Singasari “ wahai para prajurit-prajurit Singasari, hari ini adalah hari dimana kita akan menghadapi musuh yang jelas yang sekian lama bersembunyi. Maju, maju, maju dan tumpas semua yang berani menyerang kekuasaan Singasari. Hari ini kita berikan tenaga, darah dan air mata untuk mengalahkan angkara di bumi Jawadwipa ! Hidup abadi Singasari, Syang Hyang Widdi Wasya selalu bersama kita”, berapi-api suara Sri Kertanegara membakar semangat pasukan prajurit Singasari.

Pasukan akhirnya dibagi seperti empat penjuru mata angin. Di sebelah utara sebagai ujung tombak, Sanggrama Wijaya bersama Arda Raja bahu membahu menahan gelombang serangan pasukan gelang-gelang Kadiri. Arah selatan di bawah pimpinan Lembu Sora mempertahankan pertahanan garis belakang Singasari. Di sebelah timur Nambi membendung banjir prajurit Jayakatwang yang akan mencabik-cabik pertahanan Singasari. Sementara di bagian barat, tumenggung Klabang Ireng menangkis serangan dan berusaha memukul mundur pasukan Kadiri yang bertarung seperti kesurupan, dengan gila mereka seperti hendak melumat setiap jengkal tanah singasari.

Arah barat Singasari adalah yang pertama kali ditembus oleh pasukan gelang-gelang, tumenggung Klabang Ireng tewas di medan laga yang telah menjelma seperti area pejagalan. Penuh dengan darah.

Raden wijaya yang berperang sepenuh hati dan bahu membahu dengan Arda Raja sebenarnya dapat memukul mundur dan membuat pasukan gelang-gelang Kadiri kocar-kacir jika saja Arda raja tidak menyebrang ke pasukan ayahnya Jayakatwang dan berbalik menyerang pasukan Singasari.  Sakit seluruh jiwa raga Sanggrama Wijaya melihat berbaliknya arah dukungan Arda Raja, kejadian ini sama sekali di luar dugaannya. Akhirnya sejengkal demi sejekngkal, sedepa demi sedepa pasukan yang di pimpin Sanggrama Wijaya tumpas. Akhirnya ia memutuskan untuk mundur ke arah kotaraja sekaligus untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan Singasari yang sudah di ujung tanduk.

Tak jauh berbeda dengan yang dialami Sanggrama Wijaya, nasib Nambi di timur Singasaripun tak baik. Sudah banyak korban yang berjatuhan di kedua belah pihak,  namun seola tidak ada habisnya, pasukan gelang-gelang Kadiri terus menyerang bertubi-tubi tiada henti, membuat pasukan Singasari begitu kepayahan. Akhirnya, pasukan Singasari terpukul mundur.  

Di atas semua itu,  yang paling tidak disangka-sangka adalah serangan yang langsung di pimpin oleh Jayakatwang dari arah selatan. Serangan di bagian selatan ini mungkin merupakan serangan yang paling dahsyat. Maka porak porandalah pasukan Singasari yang dipimpin oleh Lembu Sora. Dengan mudah pasukan gelang-gelang membabad pasukan Singasari yang tidak seimbang dalam tenaga maupun senjata.

Sanggrama Wijaya sebenarnya menyadari hal itu, namun gerak pasukannya sudah terlanjur begitu jauh dari arah selatan Singasari itu. Hal ini semakin meninggalkan sesak di dadanya. Pikirannya menerawang seolah masih tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Arda Raja begitu tega berbalik menghianatinya, membuat ia tak ubahnya seperti hewan buruan tak berdaya yang dikejar oleh singa atau macan yang kelaparan dan haus darah.

Tembusnya pertahanan selatan Singasari membuat pasukan gelang-gelang Kadiri dapat dengan bebas memporak porandakan kotaraja dan istana Singasari. Kerajaan Singasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa ternyata mengalami pengeroposan di bagian dalam. Pemberontakan telah dilakukan oleh Jayakatwang sang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh oleh pasukan gelang-gelang pada tahun 1292.

Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang mengangkat dirinya menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari pun berakhir.

**************************************************************************

[1] Balai penghadapan.

[2] Sri Kertanegara adalah anak pasangan Sri Jaya Wisnuwardhana dan Waning Hyun. Waning Hyun adalah adik Mahisa Campaka. Dari hubungan kekerabatan itu Sri Kertanegara terhitung paman Sanggrama Wijaya. Dalam hubungan kekeluarganya Sri Kertanegara adalah ayah mertua Sanggrama Wijaya.

[3] Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi militer yang dilakukan Kerajaan Singasari dibawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275–1293 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatera. Nagarakretagama mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena raja Swarnnabhumi ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singasari tetap berhasil memperoleh kemenangan.

[4]Aryawiraraja adalah adipati Sumenep yang ternama selaku ahli siasat. Semula ia termasuk salah seorang raklian ri pakirakiran makabehan ( Golongan pejabat tinggi kerajaan yang berfungsi sebagai badan pelaksana pemerintahan yang terdiri dari patih, demung, kanuruhan, tumenggung dan rangga ) Singasari dengan jabatan demung. Tugas pokok demung adalah mengatur rumah tangga kerajaan. Kedekatan hubungannnya dengan Sri Kertanegara membuatnya dijuluki babatangannira yang berarti kekuatan pokok pemerintahan Kertanegara. Namun, karena pertentangaannya dengan Sri Kertanegara seputar pengiriman prajurit Singosari di Srawnabhumi, ia ditutunkan jabatannya dari demung menjadi adipati atau tumenggung. Ia ditempatkan di Sumenep, Madura Timur. Pengganti Aryawiraraja selaku demung Singosari adalah Mapanji Wipaksa (berdasarkan piagama penampihan).

[5] Arda Raja merupakan anak dari Jayakatwang, salah satu anak mantu Sri Kertanegara yang diambil dari Kediri untuk menguatkan hubungan politik antara Singasari dengan Kadiri.

[6] Ken Arok meruntuhkan kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung dan akhirnya mengalahkan kekuatan Kadiri hingga kekuasaan Sri Kertajaya tumbang. Berdirilah kemudian Singasari (Kutaraja) pada tahun saka 1144 atau 1222 masehi. Ken Arok menjadi raja pertama Singasari dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabhumi.

[7]Dalam Kidung Panji Wijayakrama disebutkan bahwa nama utusan ekspedisi Pamalayu tersebut, yaitu Mahisa Anabrang yang mempunyai arti ialah “kerbau yang menyeberang.”

[8]Akhirnya Aryawiraraja kembali ke Sumenep tahun 1280-an menurut asumsi penulis.

[9]Setelah kerajaan Melayu di Dharmasraya dengan rajanya waktu itu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa takluk dan menjadi daerah bawahan, maka pada tahun 1286 Kertanagara mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya. Prasasti Padangroco, tempat dipahatkannya Arca Amoghapasa menyebutkan bahwa arca tersebut adalah hadiah persahabatan dari Maharajadhiraja Kertanagara untuk Maharaja Tribhuwanaraja. Sehingga jika ditinjau dari gelar yang dipakai, terlihat kalau Singasari telah menjadi atasan Dharmasraya. Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan diiringgi beberapa pejabat penting Singasari di antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira.

[10] Meng Khi, utusan Mongol yang dipermalukan Sri Kertanegara ketika datang di Singasari pada tahun saka 1211 (1289 M) untuk mengemban titah kaisar Khubilai Khan yang meminta Singasari tunduk pada kekuasaan kekaisaran Mongol.

[11] Setahun kemudian khubilai khan mengirim bala pasukannya untuk menghukum kelakuan Sri Kertanegara tapi ternyata Singasari telah runtuh di serang Kadiri dibawah pimpinan Jayakatwang.

[12] Nama lengkapnya Nararya Sanggrama Wijaya lebih ternama di sebut Raden Wijaya dalam Negarakertagama pupuh 44 : 4 Prapanca menuliskan “ Sang menantu Dyah Wijaya itu gelarnya yang terkenal di dunia” ia adalah keturunan Ken Arok pendiri kerajaan Singasari. Ia disebut laksana Permata Rajasawangsa (Sri Maharaja Nararya Sanggrama Wijaya Rajasawangsa Mani).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar