KADER HMI DAN IPK : SEBUAH POLEMIK
Konon berkembang di kalangan
mahasiswa khususnya para aktivis pergerakan, khususnya lagi kader HMI, bahwa
IPK tidak penting karena ‘diyakini’ tidak mewakili kemampuan seorang mahasiswa
yang sesungguhnya. Statemen yang muncul biasanya seperti “IPK tidak penting, yang terpenting adalah skill.” Statemen ini
dirasionalisasi sedemikian rupa, hingga akhirnya menjadi penyebab dari terjun
bebas-nya IPK banyak mahasiswa, terutama yang mengaku dirinya sebagai aktivis
pergerakan[1]. Statemen ini meresap kedalam hati dan pikiran, menjadi semacam keyakinan yang
kemudian mempengaruhi keputusan dan tindakan seorang mahasiswa, dan secara otomatis
membuat IPK mereka terjun bebas betapapun ia sesungguhnya adalah seorang
yang cerdas. Semua itu berawal dari cara berpikir yang salah dalam memahami IPK
yang di perguruan tinggi –entah apakah kita suka ataupun tidak- diakui
sebagai representasi pencapaian akademik seseorang.
Statemen “IPK tidak
penting, yang terpenting adalah skill” tentu tidak salah dalam level
tertentu. Namun statemen ini harus digunakan secara bijaksana menurut tempat dan
keadaan seseorang agar tidak menjadi semacam virus menyesatkan yang merusak. Statemen
ini menjadi benar untuk mereka yang sudah mencapai IPK unggul dan berfungsi untuk
mengingatkan mereka akan pentingnya terus-menerus melatih dan mengembangkan skill
baru. Harvard Kennedy School, sebagai
fakultas di Harvard University tempat
para calon pemimpin dunia berdatangan untuk belajar, mempunyai salah satu tagline “Effective leader Knows the important of building new skills”. Tentu
saja, IPK yang unggul sudah ditangan. Mereka adalah orang-orang cerdas yang
sudah selesai urusan IPK-nya hingga fokus kemudian adalah untuk terus mengembangkan
skill baru.
Meminjam terminologi Prof. Laode M. Kamaluddin, Ph.D,
bahwa orang-orang yang mendewakan statemen “IPK
tidak penting, yang terpenting adalah skill” padahal kenyataannya mereka
mempunyai IPK yang rendah adalah seorang sufi
loncat. Disebut sufi loncat karena ia langsung potong kompas tanpa mau melewati
langkah-langkah yang seharusnya ditempuh. IPK
unggul belum dia taklukan, sudah menyatakan bahwa IPK tidak penting.
Artinya, kata-katanya tidak legitimate.
Keyakinannya bahwa IPK tidak penting lebih sebagai rasionalisasi dari ketidak-mampuannya
memperoleh IPK yang unggul ketimbang penghayatan akan fungsi IPK yang
sesungguhnya. Dan sudah jamak dimanapun, bahwa rasionalisasi adalah tidak rasional, demikian tutur Ahmad Mujib
El-Shirazy, Koordinator Komunitas Penikmat Buku dalam diskusi Komunitas
Penikmat Buku, 08 Januari 2013 di UNISSULA
Cyber Library.
“IPK
tidak penting, yang terpenting adalah skill” legitimate jika dituturkan oleh
mereka yang sudah memiliki IPK unggul. Karena mereka sudah membuktikan dirinya
bisa mencapai IPK yang unggul tersebut. Toh,
statemen semacam ini tidak sebaiknya diumbar sembarangan mengingat bervariasinya tingkat
pemahaman lawan bicara kita. Akan menjadi tidak bijaksana jika statemen yang
seharusnya menginspirasi seseorang untuk belajar lebih baik, berpikir lebih
baik dan bertindak lebih baik justru menjerumuskan lawan bicaranya hanya karena
kita tidak tahu kapan dan dengan siapa kita bicara.
Riset oleh Global
students Association terhadap 10 mahasiswa cerdas dan aktif tapi memiliki
IPK rendah menunjukkan bahwa 8 di antaranya menyesal di semester akhir, dan 2
yang lainnya menyesal begitu memasuki dunia kerja. Artinya, mengabaikan IPK hanya
membawa penyesalan di kemudian hari. Berapa banyak mahasiswa cerdas,
berpotensi, memiliki banyak skill yang gagal mengejar mimpinya dan gagal menangkap peluang masa depan yang lebih baik
hanya karena terganjal masalah IPK. Peluang-peluang yang ada di kampus meminta
IPK sebagai syarat pertama untuk seleksi dokumen, baik itu seleksi mahasiswa
berprestasi, seleksi beasiswa, seleksi perlombaan, dll. Semuanya meminta IPK
sebagai syarat pertama. Betapapun kita memiliki banyak kemampuan,
peluang-peluang itu sering kali hilang hanya karena kita gagal di seleksi
pertama.
Tuntutan IPK untuk dunia kerja tidak jauh berbeda. Untuk
mendaftar pekerjaan apapun, IPK menjadi pintu gerbang pertama yang membuka
pintu gerbang-pintu gerbang selanjutnya dari peluang yang ada. Begitu juga
untuk menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik master ataupun doktoral,
semuanya meminta IPK sebagai syarat pertama sebelum melangkah ke syarat-syarat
berikutnya.Untuk menjadi pengusaha memang tidak diperlukan IPK. Tapi ada sebuah cerita menarik dari seorang pengusaha muslim yang sukses di Indonesia, dialah Abdullah Rich Moslem[2]. Sampai hari ini beliau tidak mengambil ijazah S1-nya di almamaternya. Beliau adalah lulusan terbaik di kampusnya dengan IPK 3.78. Pihak kampus selalu memintanya untuk menjadi dosen tetap, tapi beliau memilih menjadi seorang pengusaha. Jika mau, beliau bisa dengan mudah menjadi seorang PNS, atau pegawai kelas tinggi di perusahaan multinasional karena leadership, entrepreneurship dan skill-nya yang bukan main. Tapi menjadi pengusaha muslim yang kaya adalah pilihan hidupnya. Beliau menjadi pengusaha karena pilihan, bukan karena terpaksa akibat tidak diterima kerja disana-sini. Kisahnya sebagai lulusan terbaik dengan IPK cumlaude menjadi cerita yang harum hingga saat ini. Sekalipun aktivis, beliau tetap jago membaca, punggawa forum diskusi, penulis, peraih IPK cumlaude, dan tetap bisa mengembangkan minatnya untuk menjadi seorang pengusaha sukses.
Berdasarkan pengamatan terhadap tokoh-tokoh yang hari ini
sudah menuai sukses dari pendidikan yang selama ini di perjuangkannya, baik
mereka yang hari ini duduk dalam ranah kepemimpinan nasional Indonesia maupun
kepemimpinan global, maka –menurut saya- yang paling aman untuk masa depan dan
harus kita upayakan sejak saat ini adalah memastikan bahwa kita sukses secara
akademik (direpresentasikan oleh IPK) dan terus membangun skill baru. Dalam
statemen yang sederhana “IPK dan skill
adalah penting”. Mereka yang memegang estafet kepemimpinan nasional dari
waktu ke waktu, para CEO perusahaan multinasional, para pengusaha sukses adalah
mereka yang sukses secara intelektual, spiritual, maupun emosional.
Mereka yang hari ini terlibat dalam kepemimpinan nasional
Indonesia adalah orang-orang yang sewaktu menjadi mahasiswa tidak melalaikan
tanggung jawab akademiknya dengan dalih aktivitas pergerakan. Mereka mampu
membagi waktunya sehingga semua kesibukan yang mereka lalui hanya membuahkan progress baik dalam pembelajaran,
pengalaman dan skill baru yang menjadi bekal berharga dan menolong hidup mereka di
masa depan. Mereka bukanlah orang-orang yang gagal di level dasar seperti IPK. Mereka
memenangkan pertarungan dan menuai janji Tuhan berupa kedudukan yang mulia di
masyarakat.
Belajar dari karakteristik aktivis mahasiswa tahun 1970-1980an
(sebagai sampel Nurcholis Madjid, Ph.D, Jusuf
Kalla, Ph.D, Prof. Laode M. Kamaluddin, Ph.D, Marwah Daud Ibrahim, Ph.D, Prof. Anies
Baswedan, Ph.D dan rekan-rekan sejawatnya), kita bisa melihat bahwa mereka
adalah orang-orang yang berdedikasi tinggi pada keilmuan dan standar akademik
sekaligus penuh pengabdian kepada masyarakat. Organisasi pergerakan semata-mata
hanya menjadi wadah perjuangan dan tidak melalaikan tanggung jawab mereka yang
sesungguhnya terhadap diri sendiri dan orang lain. Mereka idealis dalam
karakter namun pragmatis[3]
dalam belajar.
Agaknya dewasa ini pergeseran yang fundamental mulai
terjadi, tidak sedikit dari kita pragmatis dalam karakter tapi idealis dalam
belajar. Padahal yang akan memenangkan pertarungan global adalah mereka yang kuat
dan teguh secara karakter namun selalu berpikiran terbuka (open minded) dan pragmatis dalam belajar. Seperti Jepang dengan
restorasi Meiji-nya 300 tahun yang lalu. Mereka rela, legawa, dan secara antusias
belajar ke Barat sebagai peradaban yang lebih unggul untuk memperbaiki diri. Meskipun
demikian, mereka tetap kuat, teguh, dan idealis secara karakter. Mereka tetap
menjadi diri sendiri dengan konsisten pada nilai-nilai dan filsafat hidup yang
diyakininya. Hasilnya, Jepang menjadi bangsa berperadaban maju menyusul
rekan-rekannya di Barat pada waktu itu. Sama halnya dengan aktivis tahun 1970-1980an yang
kini menuai kemuliaan sebagai buah dari keilmuan dan perjuangannya sejak muda.
Salah satu kunci sukses aktivis tahun 1970-1980an adalah
integrasi antara keilmuan dan aktivitas pergerakan. Mereka belajar, membaca,
menulis, berdiskusi, memiliki IPK yang unggul sekaligus menjadi pejuang di
tengah masyarakat dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat. Beberapa contoh konkret
dari perjuangan mereka yang hari ini kita nikmati adalah upaya mereka untuk memperjuangkan hak muslimah
untuk bisa secara bebas mengenakan jilbab di lingkungan pendidikan (sekolah dan
perguruan tinggi), memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan, aktif di pers, dan
menentang penguasa yang diktator. Sebagai akibatnya, tidak sedikit dari mereka
harus masuk penjara dengan tuduhan tindakan subversif atau yang lebih parah, dikejar-kejar
untuk dilenyapkan. Tanpa perjuangan mereka pada saat itu, apa yang kita nikmati
hari ini sama sekali lain. Ketangguhan mereka menjadi bekal yang sangat
berharga di masa depan. Dedikasi mereka pada keilmuan menjadi buah yang manis
untuk masyarakat, agama, bangsa dan negara.
Sebaliknya, tidak sedikit aktivis mahasiswa hari ini
memisahkan antara akademik dengan aksi lapangan. Mereka mengkotak-kotakkan si A
sebagai pembelajar, pembaca, dengan IPK unggul yang seolah tidak memiliki ghirah perjuangan
di lapangan, dan si B sebagai pejuang lapangan, yang boleh dimaklumi jika tidak
mau membaca dengan alasan tidak sempat dan dianggap wajar jika IPK-nya terjun
bebas. Ini adalah kesalahan cara berfikir yang sangat fatal..!! Keilmuan dan
perjuangan di lapangan tidak boleh dipisah-pisahkan. Keilmuan sebagai dasar
dari setiap perjuangan harus dimiliki setiap mahasiswa sebagai insan akademis
yang sekaligus berperan sebagai agent of
change dan agent of social control.
Indonesia ke depan membutuhkan para pemimpin dengan basis
keilmuan yang mapan sebagai insan
akademis, memiliki kreativitas,
mengembangkan ide-ide kreatif untuk kemajuan masyarakat dalam kapasitasnya
sebagai insan pencipta dan
berkomitmen mengabdikan dirinya kepada masyarakat, agama, bangsa dan negara dalam
kapasistasnya sebagai insan pengabdi.
Inilah integrasi yang harus diperhatikan oleh setiap aktivis pergerakan. Memotong-motong,
mengkotak-kotakkan proses pendidikan (baik akademik maupun lapangan) secara
serampangan hanya melahirkan kaderisasi yang salah kaprah, lemah dan
membahayakan nasib bangsa Indonesia ke depan. Proses kaderisasi di HMI harus kaffah, pendidikan harus mengacu pada
tujuan organiasi yaitu “Terbinanya insan
akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.” Memahami dan
mengimplementasikan pendidikan kaderisasi secara terpotong-potong adalah
kesalahan fatal yang harus segera diperbaiki agar tidak merusak generasi masa
depan.
HMI didirikan oleh orang-orang yang sangat cemerlang di zamannya
dan harus kita teruskan perjuangannya. Mereka sukses secara akademik, sukses dalam
organisasi dan pengabdian kemasyarakatan. Kita harus mengantarkan generasi ini
pada semangat para founding fathers
agar mereka selamat dan tidak salah jalan. Karena kaderisasi menyangkut masa
depan seseorang, menyangkut masa depan agama, bangsa dan negara. Kaderisasi
yang benar menyelamatkan masa depan agama, bangsa dan negara, sedangkan
kaderisasi yang salah merusaknya.
IPK memang bukan satu-satunya faktor yang menentukan
kesuksesan seseorang karena faktor yang menentukan kesuksesan tidaklah tunggal.
Kesuksesan bukan hanya ditentutan oleh kecerdasan intelektual, tapi juga
spiritual dan emosional. Itulah mengapa pendidikan harus bersifat komprehensif.
IPK bukan faktor tunggal yang menentukan masa depan seorang kader HMI. Tapi dalam konteks ini, memahami IPK dengan
perspektif yang baru menjadi langkah awal yang sangat penting untuk meluruskan
proses kaderisasi di HMI. Maka, pastikan IPK kita unggul dan kita bisa menuai
manfaatnya kapanpun peluang-peluang itu
datang. Atau biarkan IPK kita rendah dan kita hanya akan berkabung penyesalan
di akhir dan diremehkan orang lain karena track
record yang tidak lazim. Apa yang terjadi pada orang-orang sebelum kita
adalah pelajaran yang sangat berharga. Maukah kita mengambil pelajaran..??
Selamat menempuh Ujian Akhir Semester (UAS) untuk
kader-kader HMI Komisariat FTI UNISSULA dan kader-kader HMI di seluruh
Indonesia. Sukses untuk kita semua. Amin...
Wallahua’lam
Bissawwab
Marlis Herni Afridah,
Ketua Umum HMI Komisariat FTI UNISSULA Cab. Semarang.
[1] Keseluruhan tulisan ini hanya
menyoroti HMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa karena penulis adalah
bagian dari HMI (Ketua Umum HMI Komisariat FTI UNISSULA Semarang). Kondisi di
organisasi mahasiswa yang lain tidak menjadi otoritas penulis untuk menyoroti
apalagi mengkritisi demi menjunjung tinggi persahabatan, etika dan asas saling
menghormati urusan rumah tangga masing-masing organisasi.
[2] Abdullah Rich Moslem adalah pengusaha muslim, muda, kaya raya. Bisnisnya bergerak di bidang properti, percetakan buku, pengobatan herbal, air mineral, perfilm-an, dll. Usianya baru 33 tahun, berdomisili di Semarang. Beliau mendirikan pesantren wirausaha mahasiswa "Ikhwah Rasulullah" bersama kakak kandungnya, Habiburahman El-Shirazy.
[3] Pragmatis dalam definisi Deng Xiaoping (Tokoh pragmatis terbesar abad 20) adalah “Tak peduli apakah itu kucing hitam atau kucing putih, jika dia
bisa menangkap tikus berarti dia adalah kucing yang baik.” Menurut Kishore
Mahbubani dalam The New Asian Hemisphere definisi
versi Deng adalah definisi terbaik mengenai pragmatisme. Dalam konteks ini,
menjadi pragmatis artinya rela belajar dari siapa saja tanpa ada sekat-sekat
ideologi yang membatasinya. Pragmatisme Deng untuk Reformasi ekonomi di China
pada 1979 telah membawa China menjadi bangsa yang besar dan memimpin di dunia
karena kemajuannya di bidang ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar