Rabu, 09 Januari 2013

Kader HMI dan IPK : Sebuah Polemik

KADER HMI DAN IPK : SEBUAH POLEMIK

 Konon berkembang di kalangan mahasiswa khususnya para aktivis pergerakan, khususnya lagi kader HMI, bahwa IPK tidak penting karena ‘diyakini’ tidak mewakili kemampuan seorang mahasiswa yang sesungguhnya. Statemen yang muncul biasanya seperti  “IPK tidak penting, yang terpenting adalah skill.” Statemen ini dirasionalisasi sedemikian rupa, hingga akhirnya menjadi penyebab dari terjun bebas-nya IPK banyak mahasiswa, terutama yang mengaku dirinya sebagai aktivis pergerakan[1]. Statemen ini meresap kedalam hati dan pikiran, menjadi semacam keyakinan yang kemudian mempengaruhi keputusan dan tindakan seorang mahasiswa, dan secara otomatis membuat IPK mereka terjun bebas betapapun ia sesungguhnya adalah seorang yang cerdas. Semua itu berawal dari cara berpikir yang salah dalam memahami IPK yang di perguruan tinggi –entah apakah kita suka ataupun tidak- diakui sebagai representasi pencapaian akademik seseorang.
Statemen “IPK tidak penting, yang terpenting adalah skill” tentu tidak salah dalam level tertentu. Namun statemen ini harus digunakan secara bijaksana menurut tempat dan keadaan seseorang agar tidak menjadi semacam virus menyesatkan yang merusak. Statemen ini menjadi benar untuk mereka yang sudah mencapai IPK unggul dan berfungsi untuk mengingatkan mereka akan pentingnya terus-menerus melatih dan mengembangkan skill baru. Harvard Kennedy School, sebagai fakultas di Harvard University tempat para calon pemimpin dunia berdatangan untuk belajar, mempunyai salah satu taglineEffective leader Knows the important of building new skills”. Tentu saja, IPK yang unggul sudah ditangan. Mereka adalah orang-orang cerdas yang sudah selesai urusan IPK-nya hingga fokus kemudian adalah untuk terus mengembangkan skill baru. 

Meminjam terminologi Prof. Laode M. Kamaluddin, Ph.D, bahwa orang-orang yang mendewakan statemen “IPK tidak penting, yang terpenting adalah skill” padahal kenyataannya mereka mempunyai IPK yang rendah adalah seorang sufi loncat. Disebut sufi loncat karena ia langsung potong kompas tanpa mau melewati langkah-langkah yang seharusnya ditempuh. IPK unggul belum dia taklukan, sudah menyatakan bahwa IPK tidak penting. Artinya, kata-katanya tidak legitimate. Keyakinannya bahwa IPK tidak penting lebih sebagai rasionalisasi dari ketidak-mampuannya memperoleh IPK yang unggul ketimbang penghayatan akan fungsi IPK yang sesungguhnya. Dan sudah jamak dimanapun, bahwa rasionalisasi adalah tidak rasional, demikian tutur Ahmad Mujib El-Shirazy, Koordinator Komunitas Penikmat Buku dalam diskusi Komunitas Penikmat Buku, 08 Januari 2013 di UNISSULA Cyber Library.
“IPK tidak penting, yang terpenting adalah skill” legitimate jika dituturkan oleh mereka yang sudah memiliki IPK unggul. Karena mereka sudah membuktikan dirinya bisa mencapai IPK yang unggul tersebut. Toh, statemen semacam ini tidak sebaiknya diumbar sembarangan mengingat bervariasinya tingkat pemahaman lawan bicara kita. Akan menjadi tidak bijaksana jika statemen yang seharusnya menginspirasi seseorang untuk belajar lebih baik, berpikir lebih baik dan bertindak lebih baik justru menjerumuskan lawan bicaranya hanya karena kita tidak tahu kapan dan dengan siapa kita bicara.
Riset oleh Global students Association terhadap 10 mahasiswa cerdas dan aktif tapi memiliki IPK rendah menunjukkan bahwa 8 di antaranya menyesal di semester akhir, dan 2 yang lainnya menyesal begitu memasuki dunia kerja. Artinya, mengabaikan IPK hanya membawa penyesalan di kemudian hari. Berapa banyak mahasiswa cerdas, berpotensi, memiliki banyak skill yang gagal mengejar mimpinya dan gagal  menangkap peluang masa depan yang lebih baik hanya karena terganjal masalah IPK. Peluang-peluang yang ada di kampus meminta IPK sebagai syarat pertama untuk seleksi dokumen, baik itu seleksi mahasiswa berprestasi, seleksi beasiswa, seleksi perlombaan, dll. Semuanya meminta IPK sebagai syarat pertama. Betapapun kita memiliki banyak kemampuan, peluang-peluang itu sering kali hilang hanya karena kita gagal di seleksi pertama.
Tuntutan IPK untuk dunia kerja tidak jauh berbeda. Untuk mendaftar pekerjaan apapun, IPK menjadi pintu gerbang pertama yang membuka pintu gerbang-pintu gerbang selanjutnya dari peluang yang ada. Begitu juga untuk menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik master ataupun doktoral, semuanya meminta IPK sebagai syarat pertama sebelum melangkah ke syarat-syarat berikutnya.Untuk menjadi pengusaha memang tidak diperlukan IPK. Tapi ada sebuah cerita menarik dari seorang pengusaha muslim yang sukses di Indonesia, dialah Abdullah Rich Moslem[2]. Sampai hari ini beliau tidak mengambil ijazah S1-nya di almamaternya. Beliau adalah lulusan terbaik di kampusnya dengan IPK 3.78. Pihak kampus selalu memintanya untuk menjadi dosen tetap, tapi beliau memilih menjadi seorang pengusaha. Jika mau, beliau bisa dengan mudah menjadi seorang PNS, atau pegawai kelas tinggi di perusahaan multinasional karena leadership, entrepreneurship dan skill-nya yang bukan main. Tapi menjadi pengusaha muslim yang kaya adalah pilihan hidupnya. Beliau menjadi pengusaha karena pilihan, bukan karena terpaksa akibat tidak diterima kerja disana-sini. Kisahnya sebagai lulusan terbaik dengan IPK cumlaude menjadi cerita yang harum hingga saat ini.  Sekalipun aktivis, beliau tetap jago membaca, punggawa forum diskusi, penulis, peraih IPK cumlaude, dan tetap bisa mengembangkan minatnya untuk menjadi seorang pengusaha sukses.
Berdasarkan pengamatan terhadap tokoh-tokoh yang hari ini sudah menuai sukses dari pendidikan yang selama ini di perjuangkannya, baik mereka yang hari ini duduk dalam ranah kepemimpinan nasional Indonesia maupun kepemimpinan global, maka –menurut saya- yang paling aman untuk masa depan dan harus kita upayakan sejak saat ini adalah memastikan bahwa kita sukses secara akademik (direpresentasikan oleh IPK) dan terus membangun skill baru. Dalam statemen yang sederhana “IPK dan skill adalah penting”. Mereka yang memegang estafet kepemimpinan nasional dari waktu ke waktu, para CEO perusahaan multinasional, para pengusaha sukses adalah mereka yang sukses secara intelektual, spiritual, maupun emosional.
Mereka yang hari ini terlibat dalam kepemimpinan nasional Indonesia adalah orang-orang yang sewaktu menjadi mahasiswa tidak melalaikan tanggung jawab akademiknya dengan dalih aktivitas pergerakan. Mereka mampu membagi waktunya sehingga semua kesibukan yang mereka lalui hanya membuahkan progress baik dalam pembelajaran, pengalaman dan skill baru yang menjadi bekal berharga dan menolong hidup mereka di masa depan. Mereka bukanlah orang-orang yang gagal di level dasar seperti IPK. Mereka memenangkan pertarungan dan menuai janji Tuhan berupa kedudukan yang mulia di masyarakat.
Belajar dari karakteristik aktivis mahasiswa tahun 1970-1980an (sebagai sampel  Nurcholis Madjid, Ph.D, Jusuf Kalla, Ph.D, Prof. Laode M. Kamaluddin, Ph.D, Marwah Daud Ibrahim, Ph.D, Prof. Anies Baswedan, Ph.D dan rekan-rekan sejawatnya), kita bisa melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang berdedikasi tinggi pada keilmuan dan standar akademik sekaligus penuh pengabdian kepada masyarakat. Organisasi pergerakan semata-mata hanya menjadi wadah perjuangan dan tidak melalaikan tanggung jawab mereka yang sesungguhnya terhadap diri sendiri dan orang lain. Mereka idealis dalam karakter namun pragmatis[3] dalam belajar. 
Agaknya dewasa ini pergeseran yang fundamental mulai terjadi, tidak sedikit dari kita pragmatis dalam karakter tapi idealis dalam belajar. Padahal yang akan memenangkan pertarungan global adalah mereka yang kuat dan teguh secara karakter namun selalu berpikiran terbuka (open minded) dan pragmatis dalam belajar. Seperti Jepang dengan restorasi Meiji-nya 300 tahun yang lalu. Mereka rela, legawa,  dan secara antusias belajar ke Barat sebagai peradaban yang lebih unggul untuk memperbaiki diri. Meskipun demikian, mereka tetap kuat, teguh, dan idealis secara karakter. Mereka tetap menjadi diri sendiri dengan konsisten pada nilai-nilai dan filsafat hidup yang diyakininya. Hasilnya, Jepang menjadi bangsa berperadaban maju menyusul rekan-rekannya di Barat pada waktu itu.  Sama halnya dengan aktivis tahun 1970-1980an yang kini menuai kemuliaan sebagai buah dari keilmuan dan perjuangannya sejak muda.
Salah satu kunci sukses aktivis tahun 1970-1980an adalah integrasi antara keilmuan dan aktivitas pergerakan. Mereka belajar, membaca, menulis, berdiskusi, memiliki IPK yang unggul sekaligus menjadi pejuang di tengah masyarakat dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat. Beberapa contoh konkret dari perjuangan mereka yang hari ini kita nikmati adalah  upaya mereka untuk memperjuangkan hak muslimah untuk bisa secara bebas mengenakan jilbab di lingkungan pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi), memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan, aktif di pers, dan menentang penguasa yang diktator. Sebagai akibatnya, tidak sedikit dari mereka harus masuk penjara dengan tuduhan tindakan subversif atau yang lebih parah, dikejar-kejar untuk dilenyapkan. Tanpa perjuangan mereka pada saat itu, apa yang kita nikmati hari ini sama sekali lain. Ketangguhan mereka menjadi bekal yang sangat berharga di masa depan. Dedikasi mereka pada keilmuan menjadi buah yang manis untuk masyarakat, agama, bangsa dan negara.
Sebaliknya, tidak sedikit aktivis mahasiswa hari ini memisahkan antara akademik dengan aksi lapangan. Mereka mengkotak-kotakkan si A sebagai pembelajar, pembaca, dengan IPK unggul yang seolah tidak memiliki ghirah perjuangan di lapangan, dan si B sebagai pejuang lapangan, yang boleh dimaklumi jika tidak mau membaca dengan alasan tidak sempat dan dianggap wajar jika IPK-nya terjun bebas. Ini adalah kesalahan cara berfikir yang sangat fatal..!! Keilmuan dan perjuangan di lapangan tidak boleh dipisah-pisahkan. Keilmuan sebagai dasar dari setiap perjuangan harus dimiliki setiap mahasiswa sebagai insan akademis yang sekaligus berperan sebagai agent of change dan agent of social control.
Indonesia ke depan membutuhkan para pemimpin dengan basis keilmuan yang mapan sebagai insan akademis, memiliki  kreativitas, mengembangkan ide-ide kreatif untuk kemajuan masyarakat dalam kapasitasnya sebagai insan pencipta dan berkomitmen mengabdikan dirinya kepada masyarakat, agama, bangsa dan negara dalam kapasistasnya sebagai insan pengabdi. Inilah integrasi yang harus diperhatikan oleh setiap aktivis pergerakan. Memotong-motong, mengkotak-kotakkan proses pendidikan (baik akademik maupun lapangan) secara serampangan hanya melahirkan kaderisasi yang salah kaprah, lemah dan membahayakan nasib bangsa Indonesia ke depan. Proses kaderisasi di HMI harus kaffah, pendidikan harus mengacu pada tujuan organiasi yaitu “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.” Memahami dan mengimplementasikan pendidikan kaderisasi secara terpotong-potong adalah kesalahan fatal yang harus segera diperbaiki agar tidak merusak generasi masa depan.
HMI didirikan oleh orang-orang yang sangat cemerlang di zamannya dan harus kita teruskan perjuangannya. Mereka sukses secara akademik, sukses dalam organisasi dan pengabdian kemasyarakatan. Kita harus mengantarkan generasi ini pada semangat para founding fathers agar mereka selamat dan tidak salah jalan. Karena kaderisasi menyangkut masa depan seseorang, menyangkut masa depan agama, bangsa dan negara. Kaderisasi yang benar menyelamatkan masa depan agama, bangsa dan negara, sedangkan kaderisasi yang salah merusaknya.
IPK memang bukan satu-satunya faktor yang menentukan kesuksesan seseorang karena faktor yang menentukan kesuksesan tidaklah tunggal. Kesuksesan bukan hanya ditentutan oleh kecerdasan intelektual, tapi juga spiritual dan emosional. Itulah mengapa pendidikan harus bersifat komprehensif. IPK bukan faktor tunggal yang menentukan masa depan seorang kader HMI.  Tapi dalam konteks ini, memahami IPK dengan perspektif yang baru menjadi langkah awal yang sangat penting untuk meluruskan proses kaderisasi di HMI. Maka, pastikan IPK kita unggul dan kita bisa menuai manfaatnya  kapanpun peluang-peluang itu datang. Atau biarkan IPK kita rendah dan kita hanya akan berkabung penyesalan di akhir dan diremehkan orang lain karena track record yang tidak lazim. Apa yang terjadi pada orang-orang sebelum kita adalah pelajaran yang sangat berharga. Maukah kita mengambil pelajaran..??
Selamat menempuh Ujian Akhir Semester (UAS) untuk kader-kader HMI Komisariat FTI UNISSULA dan kader-kader HMI di seluruh Indonesia. Sukses untuk kita semua. Amin...
Wallahua’lam Bissawwab   
Marlis Herni Afridah,
Ketua Umum HMI Komisariat FTI UNISSULA Cab. Semarang.



[1] Keseluruhan tulisan ini hanya menyoroti HMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa karena penulis adalah bagian dari HMI (Ketua Umum HMI Komisariat FTI UNISSULA Semarang). Kondisi di organisasi mahasiswa yang lain tidak menjadi otoritas penulis untuk menyoroti apalagi mengkritisi demi menjunjung tinggi persahabatan, etika dan asas saling menghormati urusan rumah tangga masing-masing organisasi.

[2] Abdullah Rich Moslem adalah pengusaha muslim,  muda, kaya raya. Bisnisnya bergerak di bidang properti, percetakan buku, pengobatan herbal, air mineral, perfilm-an, dll. Usianya baru 33 tahun, berdomisili di Semarang. Beliau mendirikan pesantren wirausaha mahasiswa "Ikhwah Rasulullah" bersama kakak kandungnya, Habiburahman El-Shirazy.

[3] Pragmatis dalam definisi Deng Xiaoping (Tokoh pragmatis terbesar abad 20) adalah “Tak peduli apakah itu kucing hitam atau kucing putih, jika dia bisa menangkap tikus berarti dia adalah kucing yang baik.” Menurut Kishore Mahbubani dalam The New Asian Hemisphere definisi versi Deng adalah definisi terbaik mengenai pragmatisme. Dalam konteks ini, menjadi pragmatis artinya rela belajar dari siapa saja tanpa ada sekat-sekat ideologi yang membatasinya. Pragmatisme Deng untuk Reformasi ekonomi di China pada 1979 telah membawa China menjadi bangsa yang besar dan memimpin di dunia karena kemajuannya di bidang ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar