Rabu, 12 September 2012

Seberapa Cintakah Kamu Kepada Muhammad..??

Asrama Mahasiswa Unissula, @6.41 am

Apa itu mencintai?? Parameter apa saja yang bisa kita gunakan untuk mengukur kecintaan kita terhadap sesuatu?? Untuk tidak memperlebar tulisan ini –karena pasti ada banyak sekali standar yang bisa digunakan untuk mengukur kecintaan kita pada suatu objek- saya ingin menggunakan satu parameter saja, yang insyaallah relevan untuk menunjukkan kadar kecintaan kita pada suatu objek tertentu dalam kehidupan ini. Parameter itu adalah mimpi.
Fethullah Gulen dalam ceramahnya di depan ribuan jamaah masyarakat Turki menginspirasi saya untuk menggunakan parameter ini. Dalam ceramah Gulen yang ditampilkan dalam tadarus pemikiran KH. Ahmad Mujib El-Shirazy, Gulen menyampaikan bahwa jamaknya, orang yang sangat mencintai sesuatu akan sering memimpikan sesuatu tersebut dalam tidurnya. Kita, terutama generasi muda juga mengalami ‘pengalaman spiritual’ yang sama -jika boleh disebut begitu. Saat kita jatuh cinta pada seseorang, kita terus menerus memimpikannya. Orang yang kita cintai hampir tiap malam datang menghampiri kita di dalam mimpi. Ini adalah wajar. Kecintaan yang besar berakar kuat sampai ke alam bawah sadar kita sehingga saat kita tidur, kecintaan itu merefleksi dalam sebuah layar besar berbentuk mimpi. 

Gulen dalam ceramahnya, menyadarkan saya bahwa saya yang mengaku sangat mencintai Muhammad saw, melebihi cinta saya kepada orang tua (begitu klaim saya setiap ditanya lebih cinta mana engkau, nabimu atau orang tuamu..??) ternyata hampir tidak pernah memimpikannya sepanjang hidup saya kecuali sekali waktu kelas 1 SMP. Padahal saat saya jatuh cinta pada seorang lelaki, dia terus menerus hadir dalam mimpi saya. Ahh.. ini pasti ada yang salah. Saat melihat deretan buku-buku yang saya miliki, saya sadar bahwa di antara sekian banyak buku yang berjejer dari mulai filsafat dan pemikiran, teknologi, novel, world affairs, biografi, sejarah, dll hanya ada satu buku sirah nabawi yang nampaknya tidak pernah saya khatamkan. Ya ampun, beginikah potret seorang generasi muda yang mengaku mencintai muhammad saw..?? Cinta macam apa yang selama ini telah saya berikan kepada sosok kebanggaan umat manusia itu..?? Saya tertinggal begitu jauh dari Napolen Bonaparte, Mahatma Gandhi, dan mereka semua yang mengagumi muhammad, meskipun mereka bukan seorang muslim. Melihat apa yang terjadi pada diri saya sendiri, saya merinding. Nampaknya, ini juga yang terjadi pada sebagian besar (untuk tidak menyebut hampir semua) generasi muda Islam hari ini.
Serpihan kesadaran bahwa cinta saya kepada Muhammad hanya sekedar retorika muncul pertama kali saat saya berkunjung ke ruang staf khusus rektor Unissula, mengunjungi sang maha guru Ahmad Mujib El-Shirazy. Waktu ini, rektor Unissula Prof. Laode Masihu Kamaluddin, Ph.D masuk ruangan dan menyapa saya. Disitu beliau bertanya “Marlis, siapa benchmark-mu?” saya gelagapan. Otak saya bekerja dengan cepat mengacak data nama-nama orang besar yang saya kenal entah dengan membaca buku biografinya, atau sekedar surfing di wikipedia.org. Sayangnya, database otak saya terlalu penuh, membuat saya kewalahan menjawabnya. Dan untuk menutupi kebodohan saya, saya mensiasatinya dengan menggunakan  taktik diplomasi kecil-kecilan. Waktu itu saya menjawab dengan balik bertanya “Kalo benchmark Prof siapa??”. Dan dengan enteng beliau menjawab “ Muhammad Rasulullah”. Saya melongo, kenapa manusia nomor satu dalam Islam, yang saya pelajari sejak kecil lewat pelajaran tarikh Islam dan terus berulang sampai bertahun-tahun di pesantren tidak ada dalam daftar nama orang-orang besar di database otak saya?? Sejak saat itu saya menjadi gelisah sekaligus malu. Saat saya melantukan shalawat kepadanya, minimal 5x dalam sehari (dalam waktu shalat) ternyata namanya tidak sedikitpun membekas di hati saya. Bahkan saat ditanya “siapa benchmark-mu?”, tidak sedikitpun terpikir untuk menjawab “Muhammad”. Muhammad seperti makhluk asing dari dunia lain, yang hanya saya tahu namanya tapi sama sekali tidak mengenalnya. Apalagi dekat dengannya, dan menjadikannya sebagai nafas dalam setiap laku. Jadi, semua shalawat yang saya lantunkan, tidak lain hanyalah ritual belaka, omong kosong tanpa makna.
Beberapa hari yang lalu, usai Prof Laode menguji para calon mahasiswa Sejarah Peradaban Islam (SPI), pertanyaan itu beliau ulang kembali pada para peserta ujian. Ironis, tragedi yang dulu menimpa saya terulang kembali. Tidak ada satupun dari para peserta ujian yang menjawab bahwa Muhammad adalah idolanya, tokoh inspirasinya. Padahal anak-anak itu adalah mereka yang memiliki background dekat dengan agama (karena ujian dengan prof adalah ujian tahap akhir yang hanya bisa diikuti mereka yang telah lolos beberapa fase ujian sebelumnya seperti ujian bahasa asing, baca tulis al-Qur’an, wawasan keagamaan, dll).  Sekali lagi, Muhammad begitu dekat, tapi  beliau begitu jauh. Sungguh sebuah paradoks yang menggelikan.
Setelah selesai menguji para calon mahasiswa SPI, prof bercerita. Ini adalah titik kelemahan umat Islam hari ini. Umat Islam hari ini tidak mengenal Muhammad. Mereka tidak menjadikan Muhammad sebagai sosok idola dan kebanggaannya. “Padahal seharusnya, jika kau mengidolakan Muhammad dan mencontohnya dalam setiap nadi kehidupanmu, engkau pasti sukses. Tidak bisa tidak.” Tuturnya. Problem umat Islam hari ini adalah tidak mencintai Muhammad. Berbagai bentuk ritual untuk mengingat Nabi, shalawat dan lain-lain hanya dimaknai sebagai bentuk kewajiban semata, dan bukan kecintaan. Akibatnya, umat Islam menjadi mundur.
Pada abad ke-12, seorang pemimpin besar Islam, Shalahuddin Al-Ayubi juga mengalami kegelisahan yang sama. Saat itu umat Islam mundur dan dikuasai oleh tentara salib selama berpuluh-puluh tahun. Shalahuddin terus berpikir, mencari akar penyebab kejumudan dan kemunduran yang menimpa umat Islam hari itu. Akhirnya, sampailah beliau pada kesimpulan bahwa umat Islam mundur karena mereka telah melupakan nabinya, Muhammad saw. Muhammad adalah teladan segala bentuk kesuksesan. “Sesungguhnya dalam diri rasulullah terdapat teladan yang baik bagimu” begitu Allah berfirman. Jadi siapapun yang mengenal Muhammad, mencintainya, dan kemudian menjadikannya teladan dalam setiap gerak kehidupannya, dia pasti akan menuai kemuliaan hidup dan kesuksesan dalam bidang apapun.
Shalahuddin akhirnya menyerukan kepada semua para alim ulama di seluruh penjuru kekuasaannya untuk mengajarkan sirah nabawiyah kepada masyarakat dan generasi muda. Beliau menggelorakan semangat mengenal Nabi dan mencintainya sepenuh hati, bukan sekedar retorika dan ritual. Semua guru, para ulama bahu membahu mem-PR-kan sosok Muhammad kepada masyarakat. Usaha ini akhirnya berbuah manis. Kejumudan sirna, dan umat Islam bangkit ditandai dengan kemenangan yang gilang gemilang dalam perang salib.
Muhammad adalah cahaya abadi kebanggaan umat manusia. Siapapun yang meneladaninya ia pasti sukses. Sudah saatnya kita kembali pada kesadaran yang digelorakan oleh Shalahuddin Al-Ayubi 8 abad silam. Sudah saatnya kita mencoba mengenal Muhammad lebih dekat (konon tak kenal maka tak sayang), memahami pikiran dan lakunya, untuk kemudian kita coba implementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Muhammad adalah seni kehidupan maha dahsyat yang memuat segala bentuk keindahan. Sudah saatnya kita membaca sirah-sirahnya yang begitu banyak ditulis. Semoga akan semakin tumbuh kecintaan yang membuncah di dalam dada kita kepadanya, sehingga setiap shalawat yang kita lantunkan kepadanya tidak lagi sekedar mantra tanpa makna, tapi menjadi sebentuk luapan kecintaan dari hati yang paling dalam.
Semoga semakin banyak dari umat ini yang mengenal, mencintai dan secara sadar menjadikan muhammad sebagai idola dan benchmark yang diteladi dalam setiap laku kehidupannya. sehingga dengan itu, peradaban ini akan kembali naik ke puncak peradaban umat manusia. Sungguh, keutamaan sosok manapun yang kita kagumi di dunia ini, akan kita dapati semua keutamaan itu ada dalam diri Muhammad. Tak ada sosok lain yang mendesak harus diajarkan seorang ibu kepada anaknya, kecuali muhammad. Tak ada sosok lain yang perlu ditanamkan kecintaannya oleh seorang guru kepada muridnya, kecuali muhammad. Muhammad sang cahaya abadi, kebanggaan umat manusia.  Sosok dimana Allah Tuhan semesta alam dan malaikatpun berucap salam kepadanya.
Semoga di hari-hari ke depan, Muhammad akan benar-benar hadir dalam mimpi kita, sebagai satu bukti (dari sekian banyak parameter) bahwa kita telah benar-benar mencintainya. Amin.... 
 NB : Terimakasih banyak untuk Prof Laode dan Kang Jib yang sudah menyadarkan dan menumbuhkan kecintaan kepada Muhammad di hati saya. Hari-hari ini, tak ada buku yang lebih saya minati selain sirah nabawiyah. Benar-benar virus yang dahsyat..!!! :)
 More NB : Tulisan ini sekedar tulisan ringan di pagi hari yang belum terlalu serius dan tidak banyak ditunjang data-data ilmiah + catatan kaki. Boleh dibilang curhat. Insyaallah ke depan akan saya sempurnakan. Moga bermanfaat untuk siapapun yang membacanya, dan menjadi amal jariyah buat saya yang menulisnya. Amiinn...  
Allahumma solli wa sallim 'ala Muhammad.. Amin Ya Rabb..

1 komentar:

  1. Tulisan yang menghentakkan kesadaran kita sebagai umat Islam untuk mengoreksi apakah kita sudah benar-benar mencintai dan meneladani pribadi agung sepanjang masa, Rasulullah SAW? Saya malu pada diri saya sendiri, karena belum bisa benar-benar seperti apa yang ditulis dalam tulisan ini. Dan dalam rangka ini, saya mengutip dari kata-kata KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi (al-marhum) dalam salah satu rekaman ceramah beliau mengenai Rasulullah, yang menurut saya bisa untuk dijadikan bahan renungan:
    "Coba, kalau kalian semua ini ingin deket dan ingin bermimpi atau ingin bertemu dengan Rasulullah SAW selalu ber-ittishol, bertemu dengan Rasulullah, dalam pikiran, dalam bayangan, dalam angan-angan, apalagi sampai memikirkan Rasulullah SAW, pernah anda laksanakan ini semua? Atau cuma berharap, berharap, berdoa, berdoa, ingin ketemu,ingin mimpi, ingin bersama Rasulullah? tapi pernahkah Anda mempunyai pikiran seperti itu? Dengan mempelajari bagaimana keadaan Rasulullah, oke jangan lain-lain, kita telah tahu bahwa Rasulullah daimul ahzaan (Rasulullah selalu sedih, susah, tidak pernah Rasulullah itu senang. Coba kalau kita berfikir dan memikirkan Rasulullah setiap kita makan, setiap kita minum, apalagi dengan niat dan tujuan yang baik, terus di situ Anda bisa bertemu dalam angan-angan, dalam satu harapan keinginan agar bisa bertemu dan bermimpi dengan Rasulullah SAW, saat itu Anda membaca shalawat, begitu Anda di situ membaca shalawat, coba Anda berfikir, pernahkah, pernahkan, pernahkah Rasulullah itu makan dan memakan seperti apa yang kita makan dan kita minum? Pernah? Betapa susah, sedih, menderitanya Rasulullah dalam ukuran manusiawi, dalam ukuran alami, tapi Rasulullah tidak begitu keadaannya, tapi kita lihat Rasulullah, pernahkah makan gulai seperti ini, pernahkah makan rawon seperti ini, pernahkah, pernahkah, apalagi Anda disiapkan makan yang macem-macem sampai begitu banyak, Anda sudah tahu, sudah mengerti dan sudah pengalaman, mana yang harus Anda pilih. Tapi di situ Anda semua itu memberi satu keraguan, diberi satu kebimbangan untuk memilih makanan? Milih apa, milih apa, maka ditumpuklah makanan itu dalam satu piring. Coba, hanya keraguan-keraguan, kebimbangan yang kita lewati, kita jalani selama ini, mana? Keyakinan kemana? Itu dari makanan yang setiap saat kita bisa makan, bisa minum dan membelinya. Kenapa nggak berfikir? Pernahkah Rasulullah makan seperti ini? Itu menunjukkan kita semua yang ada cuma mengikrarkan bahwa Muhammad Nabiyullah wa Rasulullah, belum sampai masuk, man huwa Rasulullah? Kita mau masuk di mana pada Rasulullah, fi asmaaih au fii shifaatih au fii dzaatih, di mana sholawat kita kepada Rasulullah? Apa hanya merupakan bacaan saja? Hanya untuk mendapatkan pahala? Tapi pernah ketika kita membaca sholawat, mempunyai nama berapa Rasulullah, mempunyai titel apa Rasulullah, kita naiki nama Rasulullah, mempunyai sifat apa Rasulullah? Kita naiki. Dan bagaimana sebetulnya dzatiah Rasulullah dibandingkan sama semua alam selain Allah SWT agar kuat hati kita, betul-betul bersama Rasulullah, tidak pernah kita berfikir seperti itu? Yang banyak hanya kita hafal, hanya ikrar bahwa Muhammad nabiyyullah wa rasulullah agar diakui secara hukum dhahir sebagai orang Islam, apa telah sempurna iman kita kepada Rasulullah?".

    BalasHapus