Pemikiran
Ismail Raji Al-Faruqi : Islamisasi Pengetahuan
Oleh : Marlis Herni Afridah
1.
Gambaran Umat Islam Hari Ini Secara Global
Dalam
Islamization of Knowledge, al-Faruqi
memberikan beberapa prinsip umum dan kerangka kerja sebagai formula untuk
mewujudkan kembali kebangkitan peradaban Islam. al- Faruqi memfokuskan
pemikirannya dalam bidang pendidikan, yang notabene merupakan asas dari peradaban
Islam. Pemikiran al-Faruqi dikenal luas dengan istilah ‘islamisasi pengetahuan’.
Munculnya
gagasan islamisasi pengetahuan dipicu oleh keadaan umat Islam yang terus
menerus mengalami kemunduran. Ironisnya, keadaan umat Islam saat ini berbanding
terbalik dengan jumlah umat Islam yang begitu banyak di seluruh penjuru dunia.
Al-Faruqi menulis :
“The
ummah of Islam stands at present at the lowest rung of the ladder of nations.
In this century, no other nations has been subjected to comparable defeats of
humiliation. Muslims were defeated, massacred, double-crossed, colonized, and
exploited, proselytized, forced or bribed into convertion to other faiths. They
were secularized, westernized, and de-islamized by internal and external agents
of their enemies. This occured in practically every country and corner of the
vast muslim world.”[1]
Barat
menjuluki umat Islam sebagai umat yang sakit. Benar, umat Islam memang sedang
sakit. Keadaan umat hari ini sangat jauh berbeda dari para pendahulunya pada
masa kejayaan peradaban Islam. umat Islam hari ini, tulis al-Faruqi, terus
menerus mengalami ketertindasan, penghinaan, dan penjajahan. Era penjajahan
fisik di abad 21 mungkin sudah berakhir (kecuali di Palestina dan beberapa
negara dengan penduduk muslim minoritas), tapi ada sebentuk penjajahan yang
tidak kalah buruk –bahkan lebih buruk- dari tipologi penjajahan sebelumnya,
yaitu penjajahan intelektual.
Umat
Islam terjajah secara intelektual. Dominasi Barat dalam ranah intelektual dunia
Islam masih begitu kental. Dunia Islam,
dengan media pendidikan terus ter-westernisasi, tersekulerkan dan
terde-islamisasi. Dunia pendidikan adalah ranah yang paling efektif untuk
melanggengkan penjajahan model ini. Barat memahami hal ini dengan sangat baik.
Dan sebagai hasilnya, umat Islam hari ini banyak sekali menjadikan Barat
sebagai standar tanpa mau mengelaborasi lebih jauh apakah model-model
pendidikan Barat itu sesuai dengan Islam atau tidak. Padahal, model pendidikan
Barat tidak ditujukan untuk mencetak orang-orang alim, tapi justru menghasilkan para sarjana yang sekuleristik dan
ateistik. Model pendidikan yang menghegomoni umat Islam bukanlah model pendidikan
yang mendukung tujuan penciptaan. Fenomena ini menjadikan umat Islam terus
mengalami krisis dan kemunduran.
Dalam
bahasa al-Faruqi, sebab utama dari krisis yang dialami umat Islam, adalah ‘malaise
pemikiran dan metodologi’[2].
Al-Faruqi memberi kita gambaran bahwa pendidikan di negara-negara Islam adalah
model pendidikan yang paling buruk. Model pendidikan di negara-negara Islam
hampir seluruhnya berkiblat pada Barat. Sebagai akibatnya, para peserta didik
dan sarjana semakin terde-islamisasi. Hal ini ditunjang kuat dengan lemahnya
visi Islam dalam dunia pendidikan Islam.
Lemahnya
visi Islam dalam dunia pendidikan Islam ditunjukkan dengan lemahnya wawasan
(vision) Islam di kalangan para tenaga pendidik. Institusi-institusi Islam
dibangun tanpa dasar cita-cita Islam yang kuat. Ini adalah tragedi dalam dunia
pendidikan umat Islam yang begitu sulit dibenahi. Di negara-negara Islam, para
mahasiswa di perguruan tinggi Islam dibekali dengan sangat sedikit wawasan
tentang Islam. Di saat yang sama, mereka berangkat dari rumah dalam keadaan
sangat sedikit mengenal Islam. Akibatnya, mereka tidak memiliki resistensi
dalam menghadapi gempuran-gempuran berbagai macam ideologi yang mereka temui di
dunia kampus, dan sebagai hasilnya mereka lulus sebagai seorang sekular atau
atheis. Keadaan ini sangat sulit diandalkan untuk menunjang cita-cita Islam di
masa depan.
2.
Tugas
Umat Islam untuk Kebangkitan Peradaban Islam
Tugas
terbesar umat Islam di abad ini, menurut al-Faruqi, adalah memecahkan masalah
pendidikan[3].
Tidak ada harapan bagi umat Islam untuk kembali bangkit memimpin peradaban
kecuali jika masalah pendidikan dunia Islam telah lebih dahulu dibenahi.
Dualism dalam model pendidikan Islam harus dihapuskan. Bukan saatnya lagi bagi
dunia Islam untuk terus menerus meniru model pendidikan barat yang semata-mata
hanya berorientasi pada materi.
Menurut
al-Faruqi, islamisasi pengetahuan adalah solusi untuk menjawab krisis yang
dialami umat Islam. Ia meyakini bahwa segala bentuk kerusakan dan kelumpuhan di
bidang politik, ekonomi dan regio-kultural yang dialami umat Islam –terutama-
disebabkan oleh dualisme sistem pendidikan di dunia Islam, hilangnya identitas
Islam, dilupakannya warisan sejarah masa
lalu, dan tidak adanya visi Islam yang kuat pada tiap individu muslim.
Al-Faruqi meyakini bahwa cara untuk menyembuhkan penyakit umat -seperti
tersebut di atas- adalah dengan cara mengkaji kembali sejarah peradaban Islam
dan islamisasi pengetahuan modern.
3.
Integrasi Dua Model Pendidikan
Menurut
al-Faruqi, untuk membentuk suatu sistem pendidikan dimana Islam menjadi ruh dan
tenaga pendorong yang menunjukkan ke arah kemajuan, sistem pendidikan Islam
yang terdiri dari madrasah-madrasah (pendidikan dasar dan menengah) di samping
perguruan tinggi, harus dipadukan dengan sistem pendidikan sekular dari
sekolah-sekolah dan universitas umum. Perpaduan dua sistem pendidikan tersebut
haruslah menjadi momentum untuk menghilangkan keburukan dari masing-masing
sistem pendidikan dan membawa keuntungan bagi keduanya.
Al-Faruqi
berpendapat bahwa sudah saatnya para cendekiawan muslim meninggalkan metode
asal jiplak dan pembebekan secara buta kepada Barat yang pada hakekatnya sangat
berbahaya bagi perkembangan pendidikan generasi Islam di masa depan. Reformasi
pendidikan sangat mendesak. Dan reformasi pendidikan menurut al-Faruqi adalah
islamisasi pengetahuan modern itu sendiri. Tugas umat Islam adalah menyusun
kembali model pendidikan yang melahirkan peradaban cemerlang sebagaimana yang
dilakukan oleh para pendahulu pada masa kejayaan peradaban Islam. Berbagai
macam disiplin ilmu harus disusun ulang dan diberikan dasar-dasar Islam serta
tujuan yang baru sesuai dengan misi Islam.
Setiap
disiplin ilmu harus dibangun kembali sehingga terwujudlah prinsip-prinsip Islam
di dalam metodologinya, strateginya, data-datanya, masalah-masalahnya,
tujuan-tujuannya dan aspirasinya. Setiap disiplin ilmu harus ditempa ulang
sehingga dapat menunjukkan relevansi Islam yang berdasarkan pada prinsip-pinsip
dalam Islam.
Di
antara prinsip-prinsip yang utama dalam metodologi Islam adalah ketauhidan (The unity of Allah), kesatuan penciptaan
(unity of creation), kesatuan
kebenaran dan ilmu pengetahuan (unity of
truth and unity of knowledge), kesatuan hidup (unity of life), kesatuan umat manusia (unity of humanity).
Prinsip-prinsip dalam metodologi Islam ini jauh bertolak belakang dengan
prinsip-prinsip metodologi tradisional seperti defisiensi (shortcomings), pertentangan wahyu dengan akal (the opposition of revelation to reason), pemisahan pemikiran dengan
amal (the separation of tought to action),
dualisme urusan duniawi dan ketuhanan (mundane
and religious dualism)[4].
Dalam
metodologi Islam, setiap disiplin ilmu harus mencari objek yang rasional dan
menjadi pengetahuan yang kritis tentang
kebenaran. Dengan demikian, beberapa disiplin ilmu bersifat aqli (rasional) dan beberapa disiplin
lainnya bersifat naqli (tidak
rasional). Beberapa disiplin bersifat ilmiah dan mutlak, sedang disiplin
lainnya bersifat dogmatis dan relatif.
Dalam
metodologi Islam, segala disiplin ilmu harus menyadari dan mengabdi kepada
tujuan penciptaan. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa
disiplin ilmu sarat akan nilai sedangkan disiplin-disiplin lainnnya bebas nilai
atau netral. Semua disiplin ilmu dalam Islam ditujukan untuk menunjang tujuan
penciptaan di muka bumi. Islamisasi pengetahuan mengupayakan agar semua
disiplin ilmu sesuai dengan prinsip-prinsip metodologi dalam Islam.
4. Internalisasi
Visi Islam dalam Dunia Pendidikan
Al-Faruqi
secara tegas merekomendasikan dua hal untuk mengobati upaya de-islamisasi yang
telah lama menimpa para mahasiswa Islam di perguruan tinggi. Pertama, dengan
cara mewajibkan setiap mahasiswa –terlepas apapun program studi yang menjadi
spesialisasinya- untuk mengambil kuliah sejarah peradaban Islam (mandatory study of Islamic civilization).
Menurut al-Faruqi hal ini sangat penting karena mereka adalah bagian dari umat
yang harus mengenal warisan peradaban Islam dalam sejarah demi melahirkan
spirit kebangkitan peradaban di masa depan. Ia menulis :
“The
study of civilization is the only way to foster in the person a clear sense of
identity. No one may be-said to be self conscious who is ignorant of ancestors
; nor the spirit that animated them ; nor their achievements in the art,
sciences, politics and economy, social organization, or esthetic experiences.
Neither is one-self conscious who is unmoved by the travails, tragedies,
glories, and victories of his ancestors or who is uninspired by their hopes. The
consciousness of self-identity is not achieved except when such knowledge of
one’s background is contrasted with knowledge of other peoples, groups, and
civilizations. To know oneself is to know how one is different from others. Not
only in material needs or utilitarian realities but, also, in the view of the
world, in moral judgment, and in spiritual hope. This is all the domain of
Islam, of the culture and civilization that Islam built and sustained through
the generations. It is achievable only through the study of Islam and its
civilization and through the comparative study of other religions and
civilizations.”[5]
Kedua,
islamisasi pengetahuan modern. Menurutnya, mengajarkan warisan sejarah
peradaban Islam yang dapat menambah rasa percaya diri para mahasiswa dalam
menghadapi kesulitan hidup tidaklah cukup. Dalam upaya merealisasikan cita-cita
Islam, menguasai ilmu pengetahuan modern adalah satu hal yang mutlak dan tidak
dapat ditawar. Tugas yang kemudian harus direalisasikan adalah mengislamisasi pengetahuan
modern tersebut. Ini adalah tugas yang sangat berat untuk direalisasikan. Tugas
yang menjadi tanggungan para pemimpin dan para intelektual muslim untuk
menyusun kembali ilmu pengetahuan yang berserakan berdasarkan pada pandangan
hidup Islam. Al-Faruqi menulis :
“This
situation must be changed immediately. There can no be doubt that muslims
academicians must master all the modern diciplines in order to understand
themcompletely and to achieve an absolute command of all that they have to
offer. This is the first prerequisite. Then, they must integrate the new
knowledge into the corpus of the Islamic legacy by eliminating, amending,
reinterpreting, and adapting its components as the world-view of Islam and its
values dictate.”[6]
Kedua
hal ini adalah bagian dari visi Islam yang harus terus menerus diupayakan,
serta ditanamkan kepada para mahasiswa dalam dunia pendidikan Islam.
Semua
gagasan al-Faruqi tentang ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ direalisasikannya dalam
sebuah lembaga tinggi pendidikan Islam The International Institute of Islamic
Thought (IIIT) yang didirikannya di Amerika Serikat. Pemikiran-pemikiran
al-Faruqi dan pembelaannya yang begitu besar terhadap Islam kemudian membawanya
menjadi syahid oleh sebab sebuah pembunuhan berencana yang terjadi di rumahnya
sendiri.
B.
Karya-karya
Ismail
Raji Al-Faruqi
Karya-karya
hasil pemikiran Al-Faruqi hari ini dapat dijumpai dalam bentuk karya asli
maupun terjemahan. Al-Faruqi banyak berbicara tentang dialektika Islam modern.
Ia adalah seorang pemikir Islam yang banyak mencurahkan perhatiannya pada
proyek islamisasi pengetahuan. Ciri yang sangat lekat dalam diri Al-Faruqi
adalah, bahwa ide-idenya selalu erat dengan masalah ketauhidan. Ia menggaris
bawahi pentingnya kesadaran tauhid sebagai landasan dari setiap disiplin ilmu
pengetahuan. Berikut adalah daftar karya Al-Faruqi :
1.
On
Arabism, 4 Jilid, Amsterdam, 1962.
2.
Christian
Ethics, Montreal, 1967.
3.
Islam
and Modernity: Diatribe or Dialogue?
dalam Journal
of Ecumenical Studies, 1968.
4.
Islam
and Modernity: Problem and Prospectives
dalam The Word in the Third World,
disunting oleh James P. Cotter, 1968.
5.
Historical
Atlas of The Religious of The World.
New York, 1974.
6.
Islamizing
the Social Science,
1979.
7.
Islam
and Culture, Kuala Lumpur, 1980.
8.
The
Role of Islam in Global Interreligions Dependences
dalam Towards a Global Congress of
World’s, disunting oleh Warren Lewis, Barrytown, New York, 1980.
9.
Essays
in Islamic and Comparative Studies, Washington
D.C, 1982.
(kumpulan esai yang disunting oleh Al-Faruqi)
10.
Islamization
of Knowledge : General Principles and Work Plan, Islamabad, 1982.
11.
Tawhid:
Its Implications for Thought and Life,
Herndon, 1982.
C.
Kesimpulan
Al-Faruqi
adalah seorang pemikir Islam yang sangat concern
mengamati problem dan ambiguitas
dunia Islam dalam mengembangkan sistem pendidikan. Pendidikan di dunia Islam,
menurut Al-Faruqi, hampir secara keseluruhan telah meniru secara buta model pendidikan
yang dikembangkan oleh Barat tanpa mau mengelaborasi lebih jauh. Padahal konsep
pendidikan Barat belum tentu sesuai dengan konsep Islam. Atas dasar inilah,
Al-Faruqi kemudian menawarkan satu formula, yaitu ‘islamisasi pengetahuan’. Islamisasi
pengetahuan adalah rencana umum dan kerangka kerja yang harus diupayakan oleh dunia
pendidikan Islam untuk meraih kembali kemajuan di segala bidang kehidupan demi
terwujudnya kejayaan peradaban Islam di masa depan.
Islamisasi
pengetahuan dalam perspektif Al-Faruqi lebih mengarah pada islamisasi ilmu-ilmu
sosial. Islamisasi mencakup setiap disiplin dalam ilmu-ilmu sosial terutama
pada tataran metodologi. Pemikiran yang tidak jauh berbeda muncul dari seorang
pemikir Islam, Syeh Naquib Al-Attas. Dalam gagasan islamisasinya, Al-Attas
berusaha mengeliminir unsur-unsur dan konsep peradaban Barat, khususnya dalam
ilmu-ilmu humaniora. Konsep-konsep
tersebut di antaranya adalah cara pandang yang dualistik tentang realitas,
doktrin humanisme, sekularisme, dll.
Dengan
‘islamisasi pengetahuan’, al-Faruqi berusaha mengajak para inteketual muslim
untuk merumuskan kembali teori-teori, kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan ilmu
pengetahuan yang harus tunduk pada prinsip-prinsip metodologi Islam seperti konsep
keesaan Tuhan, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan,
kesatuan kehidupan, dan kesatuan umat manusia.
Karena
akhir dari tujuan ilmu pengetahuan adalah pengenalan akan Tuhan dan ketundukan
kepada-Nya. Begitu dawuh sang maha
guru Ahmad Mujib El-Shirazy. ;)
Wallahua’lam Bissawwab
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Faruqi,
Ismail Raji, 1989, Islamization of
Knowledge : General Principles and Work Plan, Virginia, USA : The
International Institute of Islamic Thought (IIIT)
[2] Ibid, Hal 5.
“There can be no doubt that the intellectual and methodological decline of the
ummah is the core of its malaise.”
[3] Ibid, Hal.
13 “The greatest task confronting the Ummah in the fifteenth Hijri century is to solve the problem of
education.”
[4] Traditional
Methodology and principles of Islamic methodology, Islamization of Knowledge, hal. 23-53
good post sist', it seems like make me sure about how do God bringing me into my path now. Salam pendidikan!! sebagai umat terbaik sudah semestinya kita ikut andil dalam perubahan bangsa ini.
BalasHapus