Selasa, 25 September 2012

'Islamisasi Pengetahuan' Al-Faruqi

Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi : Islamisasi Pengetahuan 
 Oleh : Marlis Herni Afridah 

1.    Gambaran Umat Islam Hari Ini Secara Global
Dalam Islamization of Knowledge, al-Faruqi memberikan beberapa prinsip umum dan kerangka kerja sebagai formula untuk mewujudkan kembali kebangkitan peradaban Islam. al- Faruqi memfokuskan pemikirannya dalam bidang pendidikan, yang notabene merupakan asas dari peradaban Islam. Pemikiran al-Faruqi dikenal luas dengan istilah ‘islamisasi pengetahuan’.
Munculnya gagasan islamisasi pengetahuan dipicu oleh keadaan umat Islam yang terus menerus mengalami kemunduran. Ironisnya, keadaan umat Islam saat ini berbanding terbalik dengan jumlah umat Islam yang begitu banyak di seluruh penjuru dunia. Al-Faruqi menulis : 
“The ummah of Islam stands at present at the lowest rung of the ladder of nations. In this century, no other nations has been subjected to comparable defeats of humiliation. Muslims were defeated, massacred, double-crossed, colonized, and exploited, proselytized, forced or bribed into convertion to other faiths. They were secularized, westernized, and de-islamized by internal and external agents of their enemies. This occured in practically every country and corner of the vast muslim world.”[1]
Barat menjuluki umat Islam sebagai umat yang sakit. Benar, umat Islam memang sedang sakit. Keadaan umat hari ini sangat jauh berbeda dari para pendahulunya pada masa kejayaan peradaban Islam. umat Islam hari ini, tulis al-Faruqi, terus menerus mengalami ketertindasan, penghinaan, dan penjajahan. Era penjajahan fisik di abad 21 mungkin sudah berakhir (kecuali di Palestina dan beberapa negara dengan penduduk muslim minoritas), tapi ada sebentuk penjajahan yang tidak kalah buruk –bahkan lebih buruk- dari tipologi penjajahan sebelumnya, yaitu penjajahan intelektual.
Umat Islam terjajah secara intelektual. Dominasi Barat dalam ranah intelektual dunia Islam  masih begitu kental. Dunia Islam, dengan media pendidikan terus ter-westernisasi, tersekulerkan dan terde-islamisasi. Dunia pendidikan adalah ranah yang paling efektif untuk melanggengkan penjajahan model ini. Barat memahami hal ini dengan sangat baik. Dan sebagai hasilnya, umat Islam hari ini banyak sekali menjadikan Barat sebagai standar tanpa mau mengelaborasi lebih jauh apakah model-model pendidikan Barat itu sesuai dengan Islam atau tidak. Padahal, model pendidikan Barat tidak ditujukan untuk mencetak orang-orang alim, tapi justru menghasilkan para sarjana yang sekuleristik dan ateistik. Model pendidikan yang menghegomoni umat Islam bukanlah model pendidikan yang mendukung tujuan penciptaan. Fenomena ini menjadikan umat Islam terus mengalami krisis dan kemunduran.
Dalam bahasa al-Faruqi, sebab utama dari krisis yang dialami umat Islam, adalah ‘malaise pemikiran dan metodologi’[2]. Al-Faruqi memberi kita gambaran bahwa pendidikan di negara-negara Islam adalah model pendidikan yang paling buruk. Model pendidikan di negara-negara Islam hampir seluruhnya berkiblat pada Barat. Sebagai akibatnya, para peserta didik dan sarjana semakin terde-islamisasi. Hal ini ditunjang kuat dengan lemahnya visi Islam dalam dunia pendidikan Islam.
Lemahnya visi Islam dalam dunia pendidikan Islam ditunjukkan dengan lemahnya wawasan (vision) Islam di kalangan para tenaga pendidik. Institusi-institusi Islam dibangun tanpa dasar cita-cita Islam yang kuat. Ini adalah tragedi dalam dunia pendidikan umat Islam yang begitu sulit dibenahi. Di negara-negara Islam, para mahasiswa di perguruan tinggi Islam dibekali dengan sangat sedikit wawasan tentang Islam. Di saat yang sama, mereka berangkat dari rumah dalam keadaan sangat sedikit mengenal Islam. Akibatnya, mereka tidak memiliki resistensi dalam menghadapi gempuran-gempuran berbagai macam ideologi yang mereka temui di dunia kampus, dan sebagai hasilnya mereka lulus sebagai seorang sekular atau atheis. Keadaan ini sangat sulit diandalkan untuk menunjang cita-cita Islam di masa depan.  
2.    Tugas Umat Islam untuk Kebangkitan Peradaban Islam
Tugas terbesar umat Islam di abad ini, menurut al-Faruqi, adalah memecahkan masalah pendidikan[3]. Tidak ada harapan bagi umat Islam untuk kembali bangkit memimpin peradaban kecuali jika masalah pendidikan dunia Islam telah lebih dahulu dibenahi. Dualism dalam model pendidikan Islam harus dihapuskan. Bukan saatnya lagi bagi dunia Islam untuk terus menerus meniru model pendidikan barat yang semata-mata hanya berorientasi pada materi.
Menurut al-Faruqi, islamisasi pengetahuan adalah solusi untuk menjawab krisis yang dialami umat Islam. Ia meyakini bahwa segala bentuk kerusakan dan kelumpuhan di bidang politik, ekonomi dan regio-kultural yang dialami umat Islam –terutama- disebabkan oleh dualisme sistem pendidikan di dunia Islam, hilangnya identitas Islam, dilupakannya warisan sejarah  masa lalu, dan tidak adanya visi Islam yang kuat pada tiap individu muslim. Al-Faruqi meyakini bahwa cara untuk menyembuhkan penyakit umat -seperti tersebut di atas- adalah dengan cara mengkaji kembali sejarah peradaban Islam dan islamisasi pengetahuan modern.
3.      Integrasi Dua Model Pendidikan
Menurut al-Faruqi, untuk membentuk suatu sistem pendidikan dimana Islam menjadi ruh dan tenaga pendorong yang menunjukkan ke arah kemajuan, sistem pendidikan Islam yang terdiri dari madrasah-madrasah (pendidikan dasar dan menengah) di samping perguruan tinggi, harus dipadukan dengan sistem pendidikan sekular dari sekolah-sekolah dan universitas umum. Perpaduan dua sistem pendidikan tersebut haruslah menjadi momentum untuk menghilangkan keburukan dari masing-masing sistem pendidikan dan membawa keuntungan bagi keduanya.
Al-Faruqi berpendapat bahwa sudah saatnya para cendekiawan muslim meninggalkan metode asal jiplak dan pembebekan secara buta kepada Barat yang pada hakekatnya sangat berbahaya bagi perkembangan pendidikan generasi Islam di masa depan. Reformasi pendidikan sangat mendesak. Dan reformasi pendidikan menurut al-Faruqi adalah islamisasi pengetahuan modern itu sendiri. Tugas umat Islam adalah menyusun kembali model pendidikan yang melahirkan peradaban cemerlang sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu pada masa kejayaan peradaban Islam. Berbagai macam disiplin ilmu harus disusun ulang dan diberikan dasar-dasar Islam serta tujuan yang baru sesuai dengan misi Islam.
Setiap disiplin ilmu harus dibangun kembali sehingga terwujudlah prinsip-prinsip Islam di dalam metodologinya, strateginya, data-datanya, masalah-masalahnya, tujuan-tujuannya dan aspirasinya. Setiap disiplin ilmu harus ditempa ulang sehingga dapat menunjukkan relevansi Islam yang berdasarkan pada prinsip-pinsip dalam Islam.
Di antara prinsip-prinsip yang utama dalam metodologi Islam adalah ketauhidan (The unity of Allah), kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kebenaran dan ilmu pengetahuan (unity of truth and unity of knowledge), kesatuan hidup (unity of life), kesatuan umat manusia (unity of humanity).  Prinsip-prinsip dalam metodologi Islam ini jauh bertolak belakang dengan prinsip-prinsip metodologi tradisional seperti defisiensi (shortcomings), pertentangan wahyu dengan akal (the opposition of revelation to reason), pemisahan pemikiran dengan amal (the separation of tought to action), dualisme urusan duniawi dan ketuhanan (mundane and religious dualism)[4].
Dalam metodologi Islam, setiap disiplin ilmu harus mencari objek yang rasional dan menjadi  pengetahuan yang kritis tentang kebenaran. Dengan demikian, beberapa disiplin ilmu bersifat aqli (rasional) dan beberapa disiplin lainnya bersifat naqli (tidak rasional). Beberapa disiplin bersifat ilmiah dan mutlak, sedang disiplin lainnya bersifat dogmatis dan relatif.
Dalam metodologi Islam, segala disiplin ilmu harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin ilmu sarat akan nilai sedangkan disiplin-disiplin lainnnya bebas nilai atau netral. Semua disiplin ilmu dalam Islam ditujukan untuk menunjang tujuan penciptaan di muka bumi. Islamisasi pengetahuan mengupayakan agar semua disiplin ilmu sesuai dengan prinsip-prinsip metodologi dalam Islam.
4.      Internalisasi Visi Islam dalam Dunia Pendidikan
Al-Faruqi secara tegas merekomendasikan dua hal untuk mengobati upaya de-islamisasi yang telah lama menimpa para mahasiswa Islam di perguruan tinggi. Pertama, dengan cara mewajibkan setiap mahasiswa –terlepas apapun program studi yang menjadi spesialisasinya- untuk mengambil kuliah sejarah peradaban Islam (mandatory study of Islamic civilization). Menurut al-Faruqi hal ini sangat penting karena mereka adalah bagian dari umat yang harus mengenal warisan peradaban Islam dalam sejarah demi melahirkan spirit kebangkitan peradaban di masa depan. Ia menulis :
“The study of civilization is the only way to foster in the person a clear sense of identity. No one may be-said to be self conscious who is ignorant of ancestors ; nor the spirit that animated them ; nor their achievements in the art, sciences, politics and economy, social organization, or esthetic experiences. Neither is one-self conscious who is unmoved by the travails, tragedies, glories, and victories of his ancestors or who is uninspired by their hopes. The consciousness of self-identity is not achieved except when such knowledge of one’s background is contrasted with knowledge of other peoples, groups, and civilizations. To know oneself is to know how one is different from others. Not only in material needs or utilitarian realities but, also, in the view of the world, in moral judgment, and in spiritual hope. This is all the domain of Islam, of the culture and civilization that Islam built and sustained through the generations. It is achievable only through the study of Islam and its civilization and through the comparative study of other religions and civilizations.”[5]  
Kedua, islamisasi pengetahuan modern. Menurutnya, mengajarkan warisan sejarah peradaban Islam yang dapat menambah rasa percaya diri para mahasiswa dalam menghadapi kesulitan hidup tidaklah cukup. Dalam upaya merealisasikan cita-cita Islam, menguasai ilmu pengetahuan modern adalah satu hal yang mutlak dan tidak dapat ditawar. Tugas yang kemudian harus direalisasikan adalah mengislamisasi pengetahuan modern tersebut. Ini adalah tugas yang sangat berat untuk direalisasikan. Tugas yang menjadi tanggungan para pemimpin dan para intelektual muslim untuk menyusun kembali ilmu pengetahuan yang berserakan berdasarkan pada pandangan hidup Islam. Al-Faruqi menulis :
“This situation must be changed immediately. There can no be doubt that muslims academicians must master all the modern diciplines in order to understand themcompletely and to achieve an absolute command of all that they have to offer. This is the first prerequisite. Then, they must integrate the new knowledge into the corpus of the Islamic legacy by eliminating, amending, reinterpreting, and adapting its components as the world-view of Islam and its values dictate.”[6]
Kedua hal ini adalah bagian dari visi Islam yang harus terus menerus diupayakan, serta ditanamkan kepada para mahasiswa dalam dunia pendidikan Islam.
Semua gagasan al-Faruqi tentang ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ direalisasikannya dalam sebuah lembaga tinggi pendidikan Islam The International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang didirikannya di Amerika Serikat. Pemikiran-pemikiran al-Faruqi dan pembelaannya yang begitu besar terhadap Islam kemudian membawanya menjadi syahid oleh sebab sebuah pembunuhan berencana yang terjadi di rumahnya sendiri.
B.     Karya-karya Ismail Raji Al-Faruqi
Karya-karya hasil pemikiran Al-Faruqi hari ini dapat dijumpai dalam bentuk karya asli maupun terjemahan. Al-Faruqi banyak berbicara tentang dialektika Islam modern. Ia adalah seorang pemikir Islam yang banyak mencurahkan perhatiannya pada proyek islamisasi pengetahuan. Ciri yang sangat lekat dalam diri Al-Faruqi adalah, bahwa ide-idenya selalu erat dengan masalah ketauhidan. Ia menggaris bawahi pentingnya kesadaran tauhid sebagai landasan dari setiap disiplin ilmu pengetahuan. Berikut adalah daftar karya Al-Faruqi :
1.            On Arabism, 4 Jilid, Amsterdam, 1962.
2.            Christian Ethics, Montreal, 1967.
3.            Islam and Modernity: Diatribe or Dialogue? dalam Journal of Ecumenical Studies, 1968.
4.            Islam and Modernity: Problem and Prospectives dalam The Word in the Third World, disunting oleh James P. Cotter, 1968.
5.            Historical Atlas of The Religious of The World. New York, 1974.
6.            Islamizing the Social Science, 1979.
7.            Islam and Culture, Kuala Lumpur, 1980.
8.            The Role of Islam in Global Interreligions Dependences dalam Towards a Global Congress of World’s, disunting oleh Warren Lewis, Barrytown, New York, 1980.
9.            Essays in Islamic and Comparative Studies, Washington D.C, 1982.
(kumpulan esai yang disunting oleh Al-Faruqi)
10.        Islamization of Knowledge : General Principles and Work Plan, Islamabad, 1982.
11.        Tawhid: Its Implications for Thought and Life, Herndon, 1982.

C.    Kesimpulan
Al-Faruqi adalah seorang pemikir Islam yang sangat concern mengamati problem dan ambiguitas dunia Islam dalam mengembangkan sistem pendidikan. Pendidikan di dunia Islam, menurut Al-Faruqi, hampir secara keseluruhan telah meniru secara buta model pendidikan yang dikembangkan oleh Barat tanpa mau mengelaborasi lebih jauh. Padahal konsep pendidikan Barat belum tentu sesuai dengan konsep Islam. Atas dasar inilah, Al-Faruqi kemudian menawarkan satu formula, yaitu ‘islamisasi pengetahuan’. Islamisasi pengetahuan adalah rencana umum dan kerangka kerja yang harus diupayakan oleh dunia pendidikan Islam untuk meraih kembali kemajuan di segala bidang kehidupan demi terwujudnya kejayaan peradaban Islam di masa depan.
Islamisasi pengetahuan dalam perspektif Al-Faruqi lebih mengarah pada islamisasi ilmu-ilmu sosial. Islamisasi mencakup setiap disiplin dalam ilmu-ilmu sosial terutama pada tataran metodologi. Pemikiran yang tidak jauh berbeda muncul dari seorang pemikir Islam, Syeh Naquib Al-Attas. Dalam gagasan islamisasinya, Al-Attas berusaha mengeliminir unsur-unsur dan konsep peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu humaniora. Konsep-konsep tersebut di antaranya adalah cara pandang yang dualistik tentang realitas, doktrin humanisme, sekularisme, dll.
Dengan ‘islamisasi pengetahuan’, al-Faruqi berusaha mengajak para inteketual muslim untuk merumuskan kembali teori-teori, kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan ilmu pengetahuan yang harus tunduk pada prinsip-prinsip metodologi Islam seperti konsep keesaan Tuhan, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan umat manusia.
Karena akhir dari tujuan ilmu pengetahuan adalah pengenalan akan Tuhan dan ketundukan kepada-Nya. Begitu dawuh sang maha guru Ahmad Mujib El-Shirazy. ;)
Wallahua’lam Bissawwab
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Ismail Raji, 1989, Islamization of Knowledge : General Principles and Work Plan, Virginia, USA : The International Institute of Islamic Thought (IIIT)


[1] Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, hal. 1
[2] Ibid, Hal 5. “There can be no doubt that the intellectual and methodological decline of the ummah is the core of its malaise.”
[3] Ibid, Hal. 13 “The greatest task confronting the Ummah in the fifteenth Hijri century is to solve the problem of education.”
[4] Traditional Methodology and principles of Islamic methodology, Islamization of Knowledge, hal. 23-53
[5] Islamization of Knowledge, hal. 16
[6] Ibid, hal. 18

1 komentar:

  1. good post sist', it seems like make me sure about how do God bringing me into my path now. Salam pendidikan!! sebagai umat terbaik sudah semestinya kita ikut andil dalam perubahan bangsa ini.

    BalasHapus