FILSAFAT POLITIK AL-FARABI
(872-950M)
Oleh : Marlis
Herni Afridah
Pendahuluan
Al-Farabi adalah filosof yang sangat penting karena
menjadi filosof ketiga, setelah Plato dan Aristoteles, yang membicarakan
tentang filsafat politik. Al-Farabi membuka jalan intelektualisme dalam Islam
dengan mempelajari sumber-sumber non Islam dari filsafat Yunani. Hal ini tentu
wajar dalam kehidupan suatu peradaban, dimana pinjam-meminjam konsep jamak
terjadi. Meskipun pada akhirnya konsep-konsep tersebut tidak dipinjam secara
bulat-bulat, tapi dimodifikasi sesuai dengan pandangan hidup masing-masing
peradaban. Dalam hal ini, Al-Farabi memodifikasi filsafat Yunani ke dalam
pandangan hidup Islam. Al-Farabi adalah seorang pemikir besar pada masa
kejayaan peradaban Islam yang berpegang teguh pada Islam dalam setiap
pemikirannya. Al-Farabi sekaligus berjasa kepada peradaban yang selama 200
tahun ini menghegemoni dunia, Barat, karena telah menyingkap misteri
filsafat Plato dan Aristoteles yang selama ini tidak pernah terjamah oleh
Barat. Al-Farabi adalah salah satu pemikir besar Islam yang berjasa mengantar
Barat menuju era renaissance.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Al-Farabi adalah
filosof Islam yang paling banyak mencurahkan perhatian di bidang filsafat
politik. Dalam filsafat politiknya, Al-Farabi pertama-tama memberikan gagasan
bagaimana seharusnya hidup manusia ditata. Dengan menggunakan konsep negara,
Al-Farabi sesungguhnya sedang berkonsentrasi untuk memberikan pedoman-pedoman
normatif bagi manusia untuk bisa mencapai satu kesatuan dengan Tuhan. [1]
Dalam tulisan ini akan diuraikan teori-teori Al-Farabi
tentang asal-usul negara, tujuan negara, negara utama, para pejabat negara, dan
warga negara (konsep warga negara menjadi konsentrasi sentral filsafat politik
Al-Farabi, ditunjang dengan gaya hidupnya sebagai seorang sufi). Pada akhir
tulisan juga dijabarkan beberapa gagasan Al-Farabi tentang beberapa bentuk
negara dan hubungan antar negara atau internasionalisme. Dan pada bagian
penutup adalah kesimpulan dan tanggapan.
Biografi
Singkat
Siapa tidak mengenal Al-Farabi. Beliau adalah salah
seorang pemikir besar dalam sejarah peradaban Islam. nama lengkapnya Abu
Nasr Muhammad Ibn Al-Farakh Al-Farabi. Lebih dikenal dengan nama Al-Farabius
atau Avennasar. Beliau lahir pada tahun 870 M di Farab, sebuah kota di Turki
Tengah yang kini tinggal nama. Beliau seorang penganut Syi’i. Meskipun
Al-Farabi adalah orang Turki, tapi ayahnya berkebangsaan Persia. Karya dan
pemikiran Al-Farabi mencerminkan dirinya sebagai filosof Arab atau pemikir
muslim.
Para ilmuwan Barat menganggap Al-Farabi sebagai pendiri
filsafat Arab. Mereka menyebut Al-Farabi sebagai The Second Master, dalam bahasa Arab disebut Al-mu’allim al-tsani yang berarti guru kedua. Gelar ini dinisbahkan
kepadanya mengacu pada Aristoteles yang diberi julukan The First Master atau guru pertama. Al-Farabi dianggap dapat
menerjemahkan karya-karya Aristoteles sehingga dapat dipahami orang-orang yang
mempelajari Filsafat dimana sebelumnya mereka mengalami kebuntuan berpikir
dalam mencerna teks-teks Aristoteles. Ibnu Sina adalah salah seorang pemikir
yang mendeklarasikan Al-Farabi sebagai gurunya sekalipun mereka hidup berbeda
zaman. Karena melalui karya Al-Farabi-lah Ibnu Sina mampu memahami logika
Aristoteles. Al-Farabi berjasa kepada
Barat karena berhasil menyibak misteri Aristoteles menjadi terang benderang di
mata para pemikir Barat. Sebelumnya, mereka tidak pernah berani menyentuh teks
Aristoteles karena khawatir membahayakan keimanan.
Al-Farabi mengikuti pendidikan dasar dan menghabiskan
masa kanak-kanak di kota kelahirannya. Setelah itu beliau pergi ke Bukhara
untuk melanjutkan sekolah. Al-Farabi menempuh pendidikan tingginya di Baghdad.
Di kota inilah Al-Farabi untuk pertama kalinya belajar bahasa Arab dan Yunani.
Namun ternyata, Al-Farabi lebih tertarik pada bidang kajian alam semesta dan
manusia. Hal inilah yang melatar belakangi niatnya mempelajari filsafat,
terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Al-Farabi menyerap ilmu pengetahuan
dari filsafat Platonik dan Aristotelian, sebelum kemudian mengadapsinya dengan
konsep-konsep dalam Islam.
Selama di Baghdad, Al-Farabi mempelajari filsafat
Aristoteles dan logika di bawah bimbingan seorang filosof Islam terkenal, Abu
Bishr Matta Ibn Yunus. Di sela-sela kesibukannya, beliau mulai menulis sejumlah
karya filsafat dan dengan keahliannya dalam bahasa Yunani, beliau menerjemah
karya-karya filosof Yunani Kuno. Al-Farabi dikenal sebagai filosof Islam
pertama yang memperkenalkan karya-karya Yunani pada dunia Islam. Proyek
terbesar Al-Farabi adalah mengembangkan filsafat Islam. Memodifikasi filsafat
Yunani sesuai dengan pandangan hidup Islam.
Karena kecerdasan
dan kepakarannya dibidang filsafat,
beliau diangkat menjadi
seorang ulama istana pada saat pemerintahan Saif Al-Daulah Al-Hamdani.
Sebuah dinasti Hamdan di
Aleppo kota Damaskus. Dengan jabatan ini,
beliau mendapatkan tunjangan hidup yang cukup besar. Namun
sebagai muslim yang saleh, beliau
lebih memilih hidup sederhana dengan empat dirham untuk memenuhi hidupnya dalam
1 hari. Selebihnya, beliau sedekahkan apa yang beliau miliki kepada
para fakir miskin di daerah Aleppo dan Damaskus.
Diriwayatkan pula bahwa beliau sering terlihat membaca dan mengarang kitab di tengah malam,
dibawah sinar lampu yang redup.[2]
Sebagai seorang filosof muslim, Al-Farabi menggunakan
segenap kemampuan akalnya untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Beliau berusaha
menggapai Islam yang sempurna. Oleh karena itu, Al-Farabi berpendapat bahwa
filsafat dan agama adalah dua hal yang saling sesuai alias compatible. Tidak ada dikotomi antara filsafat dan agama dalam
Islam. Dua-duanya adalah jalan menuju kebenaran. Kebenaran filsafat tidak akan
bertentangan dengan kebenaran agama, namun keduanya memiliki metode yang
berbeda. Filsafat berusaha mencapai kebenaran dengan metode penalaran dan
argumen yang logis. Sementara itu agama berangkat dari keimanan dan kepasrahan
jiwa.
Al-Farabi menyusun 18 buku tafsir karya Aristoteles dan
sejumlah (80) buku orisinil. Yang terpenting di antaranya adalah Madina Al-Fadila (Negara Utama) dan Siyasatu’l
Madaniyah (Pemerintahan Politik).
Al-Farabi memiliki kewibawaan yang sangat besar di bidang filsafat.
Al-Farabi bukan seorang filosof yang aktif dalam bidang
politik dengan memegang jabatan pemerintahan. Juga tidak bergaul dengan
pemimpin-pemimpin politik untuk menyusun suatu paham politik praktis. Namun
berdasarkan refleksi pribadi, dan perenungan panjangnya terhadap Al-qur’an dan
Hadist beliau telah dengan cemerlang melontarkan suatu konsepsi untuk memperbaharui
tata negara. Pembaharuan ini, menurutnya, hanya akan berhasil baik bila berakar
kokoh pada filsafat. Pangkal filsafat Al-Farabi sendiri diambil dari filsafat Plotinus,
bukan Aristoteles.[3]
Al-Farabi meninggal dunia dalam usia 100 tahun pada tahun
970M di Damaskus, Syiria.[4]
Asal-Usul
Negara dalam Perspektif Al-Farabi
Kehidupan dalam Islam
berdimensi rahmatan lil alamin. Untuk
mencapai tingkat yang mulia itu, Tuhan memberi manusia beragam aturan. Aturan
itu bersifat vertikal dan horizontal. Mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
dan manusia dengan manusia. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, Tuhan
telah memberikan kaidah-kaidah berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang
terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang.
Inilah yang disebut dengan urusan kenegaraan.[5]
Memahami gagasan Al-Farabi tentang asal-usul negara tidak
dapat dilepaskan dari gagasannya tentang manusia. Menurut Al-Farabi, manusia
tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan tidak bisa mencapai kesempurnaan hidup
seorang diri.[6]
Manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk itulah,
manusia harus saling bekerjasama dalam relasi yang sejajar sebagai manusia.
Manusia saling tergantung dalam kerjasama. Hal ini sangat logis mengingat
manusia adalah makhluk sosial yang secara otomatis saling mengikat diri dalam
kerjasama. Fenomena ini adalah semacam dorongan alamiah yang kemudian membentuk
sekelompok manusia yang disebut masyarakat. Masyarakat itu memiliki tujuan
untuk mencapai kesejahteraan hidup bagi seluruh warganya, baik material maupun
spiritual.
Al-Farabi membedakan dua jenis masyarakat.[7]
Pertama, masyarakat yang belum sempurna (imperfect
society). Kedua, masyarakat sempurna (perfect
society). Dalam imperfect society
belum bisa diselenggarakan secara sempurna segala sesuatu yang diperlukan untuk
memenuhi tujuan keberadaannya –pemerintahan misalnya- karena lingkup daerah
terlalu kecil sehingga kuantitas dan kualitas anggota masyarakatnya kurang
memadai. Al-Farabi menggolongkan desa, masyarakat daerah terpencil dan keluarga
sebagai entitas masyarakat terkecil ke dalam golongan imperfect society.
Sebaliknya, perfect
society adalah masyarakat yang mampu memenuhi tugas dan tujuan
keberadaannya, yaitu perlindungan dan kesempurnaan warganya. Kemampuan tersebut
hadir karena cakupan wilayah yang lebih luas ditunjang dengan kuantitas dan
kualitas warganya yang memadai dan mampu menyediakan segala kebutuhan
masyarakat. Menurut Al-Farabi, perfect
society terdiri dari masyarakat kota
(small perfect society), masyarakat bangsa (medium perfect society), dan
masyarakat dunia (great perfect society).[8]
Bagaimana pandangan dan sikap Al-Farabi terhadap
masyarakat yang belum sempurna atau imperfect
society? Al-Farabi tidak menolaknya tetapi menganjurkan untuk diadakan
suatu kerjasama dalam rangka mewujudkan kesempurnaan. Caranya, pertama-tama
masing-masing keluarga harus saling bekerjasama. Kemudian antar gang dalam
kampung yang sama, antar kampung dalam desa yang sama. Sampai disini masyarakat
belum dianggap mampu menyediakan seluruh kebutuhan warganya. Maka dari itu,
desa harus bekerja sama dengan desa lainnya agar dapat saling mengisi
kekurangan dan bisa memenuhi kebutuhan warga yang tidak dapat dipenuhi oleh
desa tempat tinggalnya namun bisa dipenuhi oleh desa lain. Hubungan ini
akhirnya dapat menciptakan kesempurnaan hidup dan bisa memenuhi kebutuhan
setiap warganya. Hubungan antar desa ini tergabung dalam satu kota. Bagi Al-Farabi,
kota merupakan masyarakat paling mandiri yang dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan mampu menciptakan aturan kemasyarakatan. Kota menurut Al-Farabi
adalah masyarakat paling ideal ditinjau dari segi tujuannya.[9]
Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup dan
kepemimpinan menjadikan kota sebagai potret masyarakat ideal untuk membangun
suatu negara. Negara pada dasarnya merupakan suatu masyarakat yang terbentuk
atas kesepakatan bersama untuk membentuk kerjasama dalam kelompok. artinya,
kesepakatan bersama dan persetujuan bersama merupakan faktor yang sangat
penting dalam suatu negara. Sebagaimana pendapat filosof besar, Emmanuel Kant
(1724-1804) :
“Kontrak sosial terjadi ketika : setiap orang dari kita
menyerahkan pribadinya dan seluruh kekuatannya bersama-sama dengan yang lain di
bawah pedoman tertinggi dari kehendak umum; dan dalam sebuah badan, kita akan
menganggap setiap anggota sebagai bagian dan terpisahkan dari suatu
keseluruhan”
Tujuan
Negara Menurut Al-Farabi
Al-Farabi mencita-citakan sebuah konsep negara madina al-fadila (negara utama) dimana
pemimpinnya adalah filosof sekaligus nabi. Konsepnya terilhami oleh Madinah,
sebagai ibukota pertama negara Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah
Muhammad,SAW. Al-Farabi selalu mengacu pada Madinah yang dulu dipimpin Nabi
Muhammad SAW sebagai konsepsi filsafat politiknya.
Menurut Al-Farabi, tujuan dari negara utama adalah membimbing
para warga negara untuk mencapai Tuhan. [10]
Menjadikannya masyarakat madani yang berdasarkan pada ketuhanan yang esa.
Dimana Tuhan menjadi inspirasi dan dasar dari segala tindakan masyarakat.
Caranya adalah menghubungkan manusia dengan aqal
fa’al seerat mungkin. Orang yang berhasil mengidentifikasi daya pikirnya
sesuai dengan aqal fa’al layak
menjadi pemimpin negara. Ia harus melepas ikatan dengan badannya untuk menyamai
aqal fa’al. Setelah itu, ia harus
membimbing warganya supaya mencapai Tuhan.
Setelah bersatu dengan aqal fa’al seorang kepala negara masih harus menyatukan diri ke
dalam kesatuan yang lebih mulia. Yaitu mengalir kembali ke atas melalui
masing-masing akal terpisah sampai akhirnya mencapai kesatuan dengan Yang
Pertama alias Wajib Al-Wujud. Kesatuan
yang mulia ini oleh Al-Farabi disebut ittisal
yang menjamin transendensi Tuhan, dan selanjutnya ittihad yang berarti kesatuan mistik dalam tasawuf. Puncak
tertinggi ini hanya bisa dicapai sesudah maut
badaniyah dan terjadi perpindahan ke kehidupan abadi. Rakyat akan mengikutinya.[11]
Negara
Utama
Konsep negara yang dicita-citakan Al-Farabi adalah negara
utama. Yaitu negara dengan tujuan terbaik untuk memberi perlindungan dan
mencapai kesempurnaan, serta terpenuhinya kebutuhan jiwa-raga warganya yang
akan mengantarnya pada kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat.
Negara utama mengandaikan kerjasama dan pembagian kerja (job description) sesuai bidang yang
dibutuhkan. Nampaknya Al-Farabi terinspirasi hadist Nabi “Engkau yang paling tahu tentang urusan duniamu”. Dan sebuah hadist
lainnya “Jika suatu urusan diserahkan
kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” Menurut
Al-Farabi, keamanan adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan demi menunjang
pembagian kerja dalam negara utama. Perlindungan diri meliputi perlindungan
dari bahaya binatang buas, bahaya bencana alam, serangan dari kelompok lain,
dan kesewenang-wenangan antar anggota sendiri (oleh yang kuat kepada yang
lemah). Menurut Al-Farabi, keamanan dapat menjamin kehidupan warganya dan
mengantar mereka pada kesempurnaan. Pencapaian kesempurnaan menjamin
tercapainya kebahagiaan sejati bagi jiwa.
Dalam negara utama tidak ada tempat untuk saling
berlomba, bersaing demi memenuhi nafsu pribadi secara individualistis. Dalam
negara utama tidak ada tempat bagi sistem monopoli oleh satu golongan tertentu
atau kapitalisme. Semua harus menyerahkan diri untuk suatu kerjasama demi
mencapai kebahagiaan bersama baik material maupun spiritual yang berdasarkan
ketuhanan. Inilah salah satu tujuan negara utama. Dan karena didirikan dengan
segenap kesadaran warganya, mereka berusaha mengejar maksud dan tujuan dari
didirikannya suatu negara utama.
Al-Farabi menganalogikan negara utama layakna tubuh yang
sehat. Dalam tubuh yang sehat, seluruh anggota badan saling bekerjasama untuk
memelihara tubuh tersebut supaya senantiasa dalam keadaan baik. Setiap anggota
tubuh mengetahui tugas masing-masing dan bekerja menurut kadar yang telah
ditentukan. Maka adalah asing dalam mekanisme kerja tubuh yang sehat jika
muncul fenomena tangan mengambil peran kaki, atau telingan mengambil peran
hidung, misalnya. Dalam hierarki tubuh yang sehat, anggota yang paling penting
adalah hati. Hati merupakan pengendali utama anggota-anggota tubuh lainnya. Hati
ibarat pemimpin negara. Hanya hati yang baik dan suci yang dapat menjadikan
anggota tubuh yang lain menjadi baik. Al-qolbu
al-salim fi al-jismi al-salim.
Begitulah negara utama, negara yang dipimpin oleh mereka
yang baik dan menebar kebaikan ke setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Sebuah
negara yang berdasarkan ketuhananan dan mengajak setiap warganya untuk mengenal
Tuhan. Sebuah negara sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Negara
Harus Rasional
Tesis sentral dari Al-Farabi adalah bahwa negara harus
rasional. Artinya, warga negara yang membentuk negara harus memiliki kecerdasan
akal yang bisa digunakan untuk menggali rahasia alam. Rasionalitas adalah
cita-cita Al-Farabi yang menurutnya harus wujud dalam negara utama. Al-Farabi
sangat menganjurkan penggunaan akal demi mencapai kebahagiaan seluruh warga
negara. Al-Farabi juga tidak menolak kemewahan yang merupakan hasil dari
kecerdasan dan pengembangan ilmu pengetahuan.[12]
Al-Farabi adalah pemikir besar Islam yang sangat
bersemangat untuk mendamaikan akal budi dan iman dalam pembicaraan filsafat
politik. Umumnya, akal dibicarakan berkaitan dengan filsafat dan iman
dibicarakan berkaitan dengan agama. Al-Farabi adalah pemikir besar Islam yang
berpegang teguh pada keyakinan bahwa Al-qur’an adalah kitab kebenaran. Dan Al-qur’an
secara eksplisit telah menyeru pada penggunaan akal budi kepada orang-orang
yang beriman. Seruan ini bisa dijumpai pada banyak ayat.“Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran”[13],
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.”[14] dll. Perintah penggunaan akal budi banyak muncul dalam
Al-qur’an. Nabi pernah bersabda “La dinan
liman la aqlan lahu” yang artinya “Tidak mungkin beriman seseorang yang
tidak menggunakan akalnya”. Artinya hanya orang yang mau menggunakan akalnya
sajalah yang muncul keimanan di dalam dadanya. Karena orang beriman adalah orang
yang hidup dengan menggunakan akalnya, maka Al-Farabi hendak mengatakan bahwa
orang yang tidak mau menggunakan akal budinya untuk memecahkan berbagai
problematika kehidupan dan melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan di alam semesta
adalah tidak beriman.
Rasionalitas
Harus Dimiliki Pejabat Negara dan Warga Negara
Para Pejabat
Negara
Dalam salah satu masterpiece-nya,
Siyasat, Al-Farabi menulis :
“Sebagaimana alam dunia merupakan keseluruhan harmonis
yang diatur oleh kekuasaan tertinggi Tuhan; sebagaimana falak-falak bintang dan
bumi di bawah bulan bergabung dan berurut-urutan; sebagaimana jiwa manusia
tersusun dari daya berbeda-beda; sebagaimana tubuh manusia merupakan tertib
yang diatur oleh jantung, maka begitulah negara harus ditertibkan dan dipolakan
sesuai dengan contoh-contoh mulia itu.”
Berdasarkan asas di atas, Al-Farabi membedakan pejabat
negara ke dalam tiga golongan. Di puncak kekuasaan terdapat raja (malik) atau dikenal dengan ra’is awal. Ia adalah seorang filosof
yang merenungkan kebenaran abadi dan menerima pengetahuan kebenaran secara
langsung dari aqal fa’al.[15]
Pada tingkat kekuasaan menengah terdapat petugas-petugas yang dikontro oleh ra’is awal. Di tingkat bawah adalah
mereka yang merealisasikan perintah.
Seorang kepala negara, menurut Al-Farabi harus sempurna
secara moril, intelektual dan fisik. Ia haruslah seorang yang mencintai
kebenaran dan keadilan, berani mengambil keputusan yang tepat dan cepat, tidak
tergoda oleh emas, perak atau harta benda duniawi lainnya, jauh dari kesenangan
duniawi dan berbakat menjadi panglima perang. Berkat keunggulan tersebut, raja
bisa menunaikan tugasnya dengan baik dan menghasilkan negara yang unggul.
Di samping ra’is
awal, Al-Farabi menyebut ra’is tsani.
Ra’is tsani biasanya dipegang oleh
badan yang beranggotakan para ulama/imam. Gagasan ini sesungguhnya gagasan yang
sangat orisinil dari pemikiran Al-Farabi dan membedakannya dari Plato, filosof
besar Yunani. AL-Farabi terinspirasi gagasan tersebut dari ajaran Islam yang diimaninya,
bahwa di sisi para pemimpin selalu ada sosok ulama.
Warga Negara
Warga Negara
Warga negara atau manusia adalah pokok pembicaraan
filsafat politik Al-Farabi. Menurutnya, hanya manusia yang taqwa dan cerdas
yang bisa menjadi warga negara yang baik demi terwujudnya tujuan negara yaitu
kebahagiaan. Untuk menjadi warga negara yang baik, manusia harus memiliki
kemauan bulat yang menjadi daya dorong tindakannya. Kemauan bulat tersebut
hanya mungkin jika seorang warga negara memiliki kecerdasan dan keimanan. Al-Farabi
menggunakan konsep sufi ittisal dan ittihad guna menggambarkan warga negara
yang baik.[16]
Ittisal adalah manusia yang mampu mengatur kebutuhan jasmaninya
sehingga mampu berhubungan langsung dengan Tuhan. Sedangkan ittihad adalah orang yang sudha mampu berhubungan
langsung dengan Tuhan dan memiliki kesucian sehingga bisa menyatukan jiwanya
dengan Tuhan. Konsep sufisme tersebut oleh Al-Farabi dibawa ke ranah politik. Menurut
Al-Farabi, seorang warga negara harus bebas dari segala nafsu duniawi dan
individualisme. Selanjutnya, ia bisa menyerahkan diri dengan negara sehingga
bisa menikmati kebahagiaan material dan spiritual.[17]
Dengan konsep tersebut, Al-Farabi hendak mengatakan bahwa
warga negara menempati posisi sentral dalam pembicaraan tentang negara. Keadaan
warga negara akan menentukan corak, sifat, dan bentuk negara. Pendapat ini
kemudian diaminkan oleh seorang filosof besar Inggris kontemporer seribu tahun
kemudian, John Stuart Mill (1806-1873) dengan statemennya yang terkenal “The worth of a state in the long runs is
the worth of the individuals composing it”. [18] Pandangan ini membedakan Al-Farabi
dengan filsuf politik lain yang menyatakan bahwa negaralah yang memberikan
corak pada warga negara, atau bahwa kepala negara yang menentukan perbedaan
antara negara yang satu dengan negara yang lain, sebagaimana dipahami Niccolo
Machiavelli (1469-1527) bahwa Wajah realitas politik dapat ditemukan terutama
pada profil para pemimpin bangsa dan pola manajemen yang digunakan untuk
mengatur bangsanya.[19]
Menurut Al-Farabi, manusia memiliki dasar-dasar pikiran
dan pendapat yang mengharuskan dirinya untuk bekerja dan berjuang guna mencapai
tujuan akhir negara yaitu kebahagiaan. Hanya manusia yang dapat berpikir dan
mempunyai cita-cita semacam itulah yang bisa menjadi warga negara utama. Negara
utama hanya bisa didirikan oleh manusia-manusia utama. Untuk menjadi warga
negara yang utama, seorang manusia harus memiliki kehendak bulat sejak dalam
pikiran hingga ke tindakan untuk merealisasikan cita-cita tersebut.
Al-Farabi mengemukakan beberapa patokan penting dalam
mendirikan negara. Pertama, negara harus dibentuk dari kemauan manusia yang
memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Kedua, warga yang membentuk negara
itu harus memiliki kecerdasan akal yang bisa digunakan untuk menguak rahasia
alam baik alam materi maupun alam rohani. Ketiga, setiap warga negara harus
memiliki tujuan hidup dan pandangan hidup. Pandangan hidup ini, menurut
Al-Farabi harus tertanam dalam-dalam di lubuk hati setiap warga negara.[20]
Jenis-Jenis
Negara Lain
Al-Farabi mengelompokkan jenis-jenis negara berdasarkan
ideologi yang dianutnya. Ideologi yang benar dianut oleh negara utama. Ideologi
yang salah dianut oleh negara-negara sebagai berikut. Pertama, negara yang
bodoh (ignorant). Dalam negara bodoh,
warga negara dan pemimpin pemerintahan tidak pernah tahu tentang
keutamaan-keutamaan hidup dan arti kebahagiaan sejati. Mereka hidup begitu saja
menikmati apa yang ada dan hanya sibuk mengusahakan pemenuhan kebutuhan dan
keinginannya. Mereka bekerja keras dengan orientasi sekedar mendapatkan
makanan, minuman, pakaian dan pemenuhan akan kebutuhan seksual. Intinya, negara
bodoh adalah negara yang penuh dengan kesia-siaan hidup. Para pemimpin dan
warga negara mengalami kerusakan moral yang parah. Mereka menginginkan
kebebasan mutlak (democratic city)
supaya dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada lembaga hukum yang
berhak menghalanginya.
Jenis negara kedua adalah negara jahat (the wicked city). Negara jahat adalah
suatu negara dimana warga negaranya memiliki pengetahuan tentang keutamaan
hidup sebagaimana warga di negara utama, tapi tindakan dan cara hidup mereka
seperti warga di negara bodoh. Mereka mempunyai cita-cita dan kebijaksanaan
luhur tapi tidak diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Jenis ketiga adalah negara yang mengalami kemerosotan (deliberately change). Menurut Al-Farabi,
negara yang mengalami kemerosotan adalah negara utama yang terus menerus
mengalami godaan demi godaan dan terlena dengan godaan-godaan tersebut.
Kepercayaan menjadi sia-sia dan niat kebenaran menjadi cita-cita belaka tanpa
realisasi. Maka, yang terjadi kemudian adalah kemerosotan moral yang memicu
kejatuhan demi kejatuhan. Pemimpin negara merosot moralnya menjadi seorang
penipu besar, warga negaranya melakukan tindakan yang berlawanan dengan yang
dilakukan warga negara di negara utama.
Keempat, negara sesat (the erring city). Negara sesat menurut Al-Farabi adalah gambaran
masyarakat yang masih berpegang pada pandangan-pandangan lama. Mereka belum
tahu akan adanya pandangan baru dalam memahami kehidupan manusia dan
penghargaan baru terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Mereka keliru dalam upaya
mencapai kebahagiaan baik sekarang maupun nanti di kehidupan sesudah mati.
Kekeliruan disebabkan ketidaktahuan. Ketidaktahuan berawal dari ketidakmampuan
untuk tahu. Mereka ditiru oleh pemimpinnya yang mengaku berasal dari keturunan
dewa-dewa dan harus ditaati secara mutlak dan absolut segala perintahnya. [21]
Hubungan
Antar Negara (Internasionalisme)
Al-Farabi membedakan bentuk negara sempurna dan
swasembada ke dalam tiga bentuk negara. Pertama, kamilah sugra (masyarakat kecil atau negara nasional). Al-Farabi
hanya menjelaskan secara singkat bentuk negara seperti ini. Desa, kampung,
kelompok rumah-rumah (pedukuhan) adalah negara tidak sempurna. Dan yang
terkecil di antara bentuk negara tidak sempurna tersebut adalah keluarga.
Kedua, madinah
wasta. Negara jenis kedua ini adalah negara kebangsaan yang terdiri dari
kota-kota. Negara ini semacam persekutuan regional dimana masyarakat mendiami
sebagian wilayah dunia. organisasi regional seperti ASEAN, Timur Tengah, Eropa,
dan sebagainya boleh jadi merupakan bagian dari madinah wusta dalam konsepsi
negara Al-Farabi.
Ketiga, kamilah
uzma (masyarakat negara-negara / negara internasional). Contoh dari kamilah uzma dalam realita kontemporer
adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Al-Farabi menyarankan kerjasama antar
bangsa-bangsa sebagai jalan terbaik untuk perwujudan perdamaian dunia menuju
asas akal yang berdaulat. Hal ini kemudian diadopsi Franklin Delano Roosevelt
pasca perang dunia II dengan mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pembagian negara oleh Al-Farabi seperti yang dijabarkan
di atas terjadi dalam masyarakat yang sudah sempurna dan lengkap yang disebut madinah kamilah (masyarakat kota yang
sempurna) dan menurutnya negara semacam ini sudah berhak menjadi negara.
Sedangkan madinah ghairu kamilah
(masyarakat yang belum sempurna) belum berhak menjadi negara.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, Y. Rumanto menarik
kesimpulan bahwa kamilah sugra dapat
diartikan sebagai negara nasional seperti Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat,
dll. Kamilah wasta adalah hubungan
regional antar negara seperti Uni Eropa (EU), Asosiasi Negara-Negara di Asia
Tenggara (ASEAN), Asia Timur, Timur Tengah, dll. Dan kamilah uzma adalah badan internasional seperti PBB. Al-Farabi
adalah seorang pemikir besar Islam yang sangat serius membicarakan tentang
internasionalisme.[22]
Al-Farabi mengatakan :
“Sebagaimana seluruh dunia diperintah oleh Tuhan yang
maha tinggi, sebagaimana bintang-bintang dan seluruh cakrawala seumpama
rantai-rantai yang saling berkaitan. Sebagaimana jiwa manusia adalah satu dalam
kekuatan yang bermacam ragam. Sebagaimana tubuh manusia diatur oleh jantung.
Maka hendaknya negara juga diatur mengkuti contoh-contoh yang paling baik itu.”
Pernyataan Al-Farabi menunjukkan bahwa beliau adalah
seorang perenung alam semesta yang luar biasa. Ide internasionalisme Al-Farabi
menurut Hamidullah, adalah berdasarkan pada ide internasionalisme Islam. Islam,
mencita-citakan persaudaraan seluruh umat manusia. Menurutnya, dalam Islam
telah ada 5 pokok terpenting dari cita-cita tersebut : manusia berasal dari
penciptaan yang sama, [23]
seluruh umat manusia adalah umat yang satu,[24]
panggilan Islam untuk seluruh umat manusia,[25]
perbedaan kulit dan bahasa dinyatakan hal yang lazim dan bukan untuk saling
memisahkan justru untuk saling mengenal,[26]
dan perintah hidup berlapang dada.[27]
Penutup
Al-Farabi adalah pemikir besar Islam yang berjasa besar
membawa kebagkitan peradaban Islam. Al-Farabi membentangkan jalan
intelektualisme dalam Islam. Melalui kajian filsafatnya, Al-Farabi membuat
sintesis antara wahyu Illahi dan filsafat sehingga keduanya tidak saling
bertentangan. Proyek filosofis Al-Farabi adalah penekanan yang sangat kuat
terhadap rasionalitas dan ketakwaan yang harus dimiliki oleh setiap warga
negara. Al-Farabi meyakini bahwa kehidupan rohani dan kehidupan manusia selalu
bertemu dan berhubungan.
Gagasan filsafat politik Al-Farabi memang nampak sangat
idealis atau bahkan utopis jika ditinjau dari perspektif politik modern. Tapi apa
yang dijabarkan Al-Farabi sesungguhnya hanyalah kepanjangan dari Al-qur’an dan
hadist Nabi itu sendiri. Tidak heran jika di zaman yang penuh dengan dekadensi
moral dan kecendrungan adanya politik ‘menghalalkan segala cara’ pada hari ini,
ide filsafat politik Al-Farabi menjadi sulit dibumikan. Ini adalah tugas
cendekiawan muslim untuk membuktikan gagasan Al-Farabi sejauh sesuai dengan
konteks kehidupan politik hari ini, bahwa Islam, bisa diaplikasikan dalam
kehidupan perpolitikan dan kenegaraan. Bahwa Islam dapat membawa suatu
masyarakat menuju kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun batin, di dunia maupun
di akherat. Al-Farabi adalah contoh generasi terbaik yang pernah ada. Semoga di
hari depan akan bermunculan Al-Farabi Al-Farabi yang lain. Amin.
Madina
al-fadila sesungguhnya bukanlah utopia. Madina al-fadila bisa direalisasikan oleh umat Islam karena telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun untuk
mewujudkannya harus melalui perjuangan panjang yang tiada henti-hentinya dan disesuaikan dengan konteks kekinian. Bukankah
sudah jelas bahwa “Sesungguhnya dalam diri
rasulullah terdapat teladan yang baik.”28
Wallahua’lam
Bissawwab
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an.
Rumanto,Y. Jurnal
Filsafat Driyarkara : Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jakarta : Salemba
Bluntas, Edisi XXVI No. 2.
Murtiningsih, Wahyu. 2008. Biografi Para Ilmuwan Muslim. Jogjakarta : Insan Madani.
Natsir, M. 2008. Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara.
Jakarta : Yayasan Bulan Bintang Abadi.
Al-Farabi, Al-Madina
Al-Fadila (terjemahan R. Walzer), Oxford : Alden.
Bakker, JWM. 1986. Sejarah
Filsafat dalam Islam. Jogjakarta : Kanisius.
Ahmad, H.Z. 1968. Negara
Utama. Jakarta : Kinta.
Stuart Mill, John. 2005. On Liberty. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Machiavelli,
Niccolo. 2002. Il Principe. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar