Selasa, 24 Juli 2012

Filsafat Politik Al-Farabi

FILSAFAT POLITIK AL-FARABI
 (872-950M)
Oleh : Marlis Herni Afridah

Pendahuluan
Al-Farabi adalah filosof yang sangat penting karena menjadi filosof ketiga, setelah Plato dan Aristoteles, yang membicarakan tentang filsafat politik. Al-Farabi membuka jalan intelektualisme dalam Islam dengan mempelajari sumber-sumber non Islam dari filsafat Yunani. Hal ini tentu wajar dalam kehidupan suatu peradaban, dimana pinjam-meminjam konsep jamak terjadi. Meskipun pada akhirnya konsep-konsep tersebut tidak dipinjam secara bulat-bulat, tapi dimodifikasi sesuai dengan pandangan hidup masing-masing peradaban. Dalam hal ini, Al-Farabi memodifikasi filsafat Yunani ke dalam pandangan hidup Islam. Al-Farabi adalah seorang pemikir besar pada masa kejayaan peradaban Islam yang berpegang teguh pada Islam dalam setiap pemikirannya. Al-Farabi sekaligus berjasa kepada peradaban yang selama 200 tahun ini menghegemoni dunia, Barat, karena telah menyingkap misteri filsafat Plato dan Aristoteles yang selama ini tidak pernah terjamah oleh Barat. Al-Farabi adalah salah satu pemikir besar Islam yang berjasa mengantar Barat menuju era renaissance
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Al-Farabi adalah filosof Islam yang paling banyak mencurahkan perhatian di bidang filsafat politik. Dalam filsafat politiknya, Al-Farabi pertama-tama memberikan gagasan bagaimana seharusnya hidup manusia ditata. Dengan menggunakan konsep negara, Al-Farabi sesungguhnya sedang berkonsentrasi untuk memberikan pedoman-pedoman normatif bagi manusia untuk bisa mencapai satu kesatuan dengan Tuhan. [1]
Dalam tulisan ini akan diuraikan teori-teori Al-Farabi tentang asal-usul negara, tujuan negara, negara utama, para pejabat negara, dan warga negara (konsep warga negara menjadi konsentrasi sentral filsafat politik Al-Farabi, ditunjang dengan gaya hidupnya sebagai seorang sufi). Pada akhir tulisan juga dijabarkan beberapa gagasan Al-Farabi tentang beberapa bentuk negara dan hubungan antar negara atau internasionalisme. Dan pada bagian penutup adalah kesimpulan dan tanggapan.  
Biografi Singkat
Siapa tidak mengenal Al-Farabi. Beliau adalah salah seorang pemikir besar dalam sejarah peradaban Islam. nama lengkapnya Abu Nasr Muhammad Ibn Al-Farakh Al-Farabi. Lebih dikenal dengan nama Al-Farabius atau Avennasar. Beliau lahir pada tahun 870 M di Farab, sebuah kota di Turki Tengah yang kini tinggal nama. Beliau seorang penganut Syi’i. Meskipun Al-Farabi adalah orang Turki, tapi ayahnya berkebangsaan Persia. Karya dan pemikiran Al-Farabi mencerminkan dirinya sebagai filosof Arab atau pemikir muslim.
Para ilmuwan Barat menganggap Al-Farabi sebagai pendiri filsafat Arab. Mereka menyebut Al-Farabi sebagai The Second Master, dalam bahasa Arab disebut Al-mu’allim al-tsani yang berarti guru kedua. Gelar ini dinisbahkan kepadanya mengacu pada Aristoteles yang diberi julukan The First Master atau guru pertama. Al-Farabi dianggap dapat menerjemahkan karya-karya Aristoteles sehingga dapat dipahami orang-orang yang mempelajari Filsafat dimana sebelumnya mereka mengalami kebuntuan berpikir dalam mencerna teks-teks Aristoteles. Ibnu Sina adalah salah seorang pemikir yang mendeklarasikan Al-Farabi sebagai gurunya sekalipun mereka hidup berbeda zaman. Karena melalui karya Al-Farabi-lah Ibnu Sina mampu memahami logika Aristoteles.  Al-Farabi berjasa kepada Barat karena berhasil menyibak misteri Aristoteles menjadi terang benderang di mata para pemikir Barat. Sebelumnya, mereka tidak pernah berani menyentuh teks Aristoteles karena khawatir membahayakan keimanan.
Al-Farabi mengikuti pendidikan dasar dan menghabiskan masa kanak-kanak di kota kelahirannya. Setelah itu beliau pergi ke Bukhara untuk melanjutkan sekolah. Al-Farabi menempuh pendidikan tingginya di Baghdad. Di kota inilah Al-Farabi untuk pertama kalinya belajar bahasa Arab dan Yunani. Namun ternyata, Al-Farabi lebih tertarik pada bidang kajian alam semesta dan manusia. Hal inilah yang melatar belakangi niatnya mempelajari filsafat, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Al-Farabi menyerap ilmu pengetahuan dari filsafat Platonik dan Aristotelian, sebelum kemudian mengadapsinya dengan konsep-konsep dalam Islam.
Selama di Baghdad, Al-Farabi mempelajari filsafat Aristoteles dan logika di bawah bimbingan seorang filosof Islam terkenal, Abu Bishr Matta Ibn Yunus. Di sela-sela kesibukannya, beliau mulai menulis sejumlah karya filsafat dan dengan keahliannya dalam bahasa Yunani, beliau menerjemah karya-karya filosof Yunani Kuno. Al-Farabi dikenal sebagai filosof Islam pertama yang memperkenalkan karya-karya Yunani pada dunia Islam. Proyek terbesar Al-Farabi adalah mengembangkan filsafat Islam. Memodifikasi filsafat Yunani sesuai dengan pandangan hidup Islam.
Karena kecerdasan dan kepakarannya dibidang filsafat, beliau diangkat menjadi seorang ulama istana pada saat pemerintahan Saif Al-Daulah Al-Hamdani. Sebuah dinasti Hamdan di Aleppo kota Damaskus. Dengan jabatan ini, beliau mendapatkan tunjangan hidup yang cukup besar. Namun sebagai muslim yang saleh, beliau lebih memilih hidup sederhana dengan empat dirham untuk memenuhi hidupnya dalam 1 hari. Selebihnya, beliau sedekahkan apa yang beliau miliki kepada para fakir miskin di daerah Aleppo dan Damaskus. Diriwayatkan pula bahwa beliau sering terlihat  membaca dan mengarang kitab di tengah malam, dibawah sinar lampu yang redup.[2]
Sebagai seorang filosof muslim, Al-Farabi menggunakan segenap kemampuan akalnya untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Beliau berusaha menggapai Islam yang sempurna. Oleh karena itu, Al-Farabi berpendapat bahwa filsafat dan agama adalah dua hal yang saling sesuai alias compatible. Tidak ada dikotomi antara filsafat dan agama dalam Islam. Dua-duanya adalah jalan menuju kebenaran. Kebenaran filsafat tidak akan bertentangan dengan kebenaran agama, namun keduanya memiliki metode yang berbeda. Filsafat berusaha mencapai kebenaran dengan metode penalaran dan argumen yang logis. Sementara itu agama berangkat dari keimanan dan kepasrahan jiwa.
Al-Farabi menyusun 18 buku tafsir karya Aristoteles dan sejumlah (80) buku orisinil. Yang terpenting di antaranya adalah Madina Al-Fadila (Negara Utama) dan Siyasatu’l Madaniyah (Pemerintahan Politik). Al-Farabi memiliki kewibawaan yang sangat besar di bidang filsafat. 
Al-Farabi bukan seorang filosof yang aktif dalam bidang politik dengan memegang jabatan pemerintahan. Juga tidak bergaul dengan pemimpin-pemimpin politik untuk menyusun suatu paham politik praktis. Namun berdasarkan refleksi pribadi, dan perenungan panjangnya terhadap Al-qur’an dan Hadist beliau telah dengan cemerlang melontarkan suatu konsepsi untuk memperbaharui tata negara. Pembaharuan ini, menurutnya, hanya akan berhasil baik bila berakar kokoh pada filsafat. Pangkal filsafat Al-Farabi sendiri diambil dari filsafat Plotinus, bukan Aristoteles.[3]
Al-Farabi meninggal dunia dalam usia 100 tahun pada tahun 970M di Damaskus, Syiria.[4]
Asal-Usul Negara dalam Perspektif Al-Farabi
Kehidupan dalam Islam berdimensi rahmatan lil alamin. Untuk mencapai tingkat yang mulia itu, Tuhan memberi manusia beragam aturan. Aturan itu bersifat vertikal dan horizontal. Mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, Tuhan telah memberikan kaidah-kaidah berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Inilah yang disebut dengan urusan kenegaraan.[5]
Memahami gagasan Al-Farabi tentang asal-usul negara tidak dapat dilepaskan dari gagasannya tentang manusia. Menurut Al-Farabi, manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan tidak bisa mencapai kesempurnaan hidup seorang diri.[6] Manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk itulah, manusia harus saling bekerjasama dalam relasi yang sejajar sebagai manusia. Manusia saling tergantung dalam kerjasama. Hal ini sangat logis mengingat manusia adalah makhluk sosial yang secara otomatis saling mengikat diri dalam kerjasama. Fenomena ini adalah semacam dorongan alamiah yang kemudian membentuk sekelompok manusia yang disebut masyarakat. Masyarakat itu memiliki tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup bagi seluruh warganya, baik material maupun spiritual.
Al-Farabi membedakan dua jenis masyarakat.[7] Pertama, masyarakat yang belum sempurna (imperfect society). Kedua, masyarakat sempurna (perfect society). Dalam imperfect society belum bisa diselenggarakan secara sempurna segala sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi tujuan keberadaannya –pemerintahan misalnya- karena lingkup daerah terlalu kecil sehingga kuantitas dan kualitas anggota masyarakatnya kurang memadai. Al-Farabi menggolongkan desa, masyarakat daerah terpencil dan keluarga sebagai entitas masyarakat terkecil ke dalam golongan imperfect society.
Sebaliknya, perfect society adalah masyarakat yang mampu memenuhi tugas dan tujuan keberadaannya, yaitu perlindungan dan kesempurnaan warganya. Kemampuan tersebut hadir karena cakupan wilayah yang lebih luas ditunjang dengan kuantitas dan kualitas warganya yang memadai dan mampu menyediakan segala kebutuhan masyarakat. Menurut Al-Farabi, perfect society  terdiri dari masyarakat kota (small perfect society), masyarakat bangsa (medium perfect society), dan masyarakat dunia (great perfect society).[8]
Bagaimana pandangan dan sikap Al-Farabi terhadap masyarakat yang belum sempurna atau imperfect society? Al-Farabi tidak menolaknya tetapi menganjurkan untuk diadakan suatu kerjasama dalam rangka mewujudkan kesempurnaan. Caranya, pertama-tama masing-masing keluarga harus saling bekerjasama. Kemudian antar gang dalam kampung yang sama, antar kampung dalam desa yang sama. Sampai disini masyarakat belum dianggap mampu menyediakan seluruh kebutuhan warganya. Maka dari itu, desa harus bekerja sama dengan desa lainnya agar dapat saling mengisi kekurangan dan bisa memenuhi kebutuhan warga yang tidak dapat dipenuhi oleh desa tempat tinggalnya namun bisa dipenuhi oleh desa lain. Hubungan ini akhirnya dapat menciptakan kesempurnaan hidup dan bisa memenuhi kebutuhan setiap warganya. Hubungan antar desa ini tergabung dalam satu kota. Bagi Al-Farabi, kota merupakan masyarakat paling mandiri yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mampu menciptakan aturan kemasyarakatan. Kota menurut Al-Farabi adalah masyarakat paling ideal ditinjau dari segi tujuannya.[9]
Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kepemimpinan menjadikan kota sebagai potret masyarakat ideal untuk membangun suatu negara. Negara pada dasarnya merupakan suatu masyarakat yang terbentuk atas kesepakatan bersama untuk membentuk kerjasama dalam kelompok. artinya, kesepakatan bersama dan persetujuan bersama merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu negara. Sebagaimana pendapat filosof besar, Emmanuel Kant (1724-1804) :
“Kontrak sosial terjadi ketika : setiap orang dari kita menyerahkan pribadinya dan seluruh kekuatannya bersama-sama dengan yang lain di bawah pedoman tertinggi dari kehendak umum; dan dalam sebuah badan, kita akan menganggap setiap anggota sebagai bagian dan terpisahkan dari suatu keseluruhan”
Tujuan Negara Menurut Al-Farabi
Al-Farabi mencita-citakan sebuah konsep negara madina al-fadila (negara utama) dimana pemimpinnya adalah filosof sekaligus nabi. Konsepnya terilhami oleh Madinah, sebagai ibukota pertama negara Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Muhammad,SAW. Al-Farabi selalu mengacu pada Madinah yang dulu dipimpin Nabi Muhammad SAW sebagai konsepsi filsafat politiknya.
Menurut Al-Farabi, tujuan dari negara utama adalah membimbing para warga negara untuk mencapai Tuhan. [10] Menjadikannya masyarakat madani yang berdasarkan pada ketuhanan yang esa. Dimana Tuhan menjadi inspirasi dan dasar dari segala tindakan masyarakat. Caranya adalah menghubungkan manusia dengan aqal fa’al seerat mungkin. Orang yang berhasil mengidentifikasi daya pikirnya sesuai dengan aqal fa’al layak menjadi pemimpin negara. Ia harus melepas ikatan dengan badannya untuk menyamai aqal fa’al. Setelah itu, ia harus membimbing warganya supaya mencapai Tuhan.
Setelah bersatu dengan aqal fa’al seorang kepala negara masih harus menyatukan diri ke dalam kesatuan yang lebih mulia. Yaitu mengalir kembali ke atas melalui masing-masing akal terpisah sampai akhirnya mencapai kesatuan dengan Yang Pertama alias Wajib Al-Wujud. Kesatuan yang mulia ini oleh Al-Farabi disebut ittisal yang menjamin transendensi Tuhan, dan selanjutnya ittihad yang berarti kesatuan mistik dalam tasawuf. Puncak tertinggi ini hanya bisa dicapai sesudah maut badaniyah dan terjadi perpindahan ke kehidupan abadi. Rakyat akan mengikutinya.[11]
Negara Utama
Konsep negara yang dicita-citakan Al-Farabi adalah negara utama. Yaitu negara dengan tujuan terbaik untuk memberi perlindungan dan mencapai kesempurnaan, serta terpenuhinya kebutuhan jiwa-raga warganya yang akan mengantarnya pada kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat.
Negara utama mengandaikan kerjasama dan pembagian kerja (job description) sesuai bidang yang dibutuhkan. Nampaknya Al-Farabi terinspirasi hadist Nabi “Engkau yang paling tahu tentang urusan duniamu”. Dan sebuah hadist lainnya “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” Menurut Al-Farabi, keamanan adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan demi menunjang pembagian kerja dalam negara utama. Perlindungan diri meliputi perlindungan dari bahaya binatang buas, bahaya bencana alam, serangan dari kelompok lain, dan kesewenang-wenangan antar anggota sendiri (oleh yang kuat kepada yang lemah). Menurut Al-Farabi, keamanan dapat menjamin kehidupan warganya dan mengantar mereka pada kesempurnaan. Pencapaian kesempurnaan menjamin tercapainya kebahagiaan sejati bagi jiwa.
Dalam negara utama tidak ada tempat untuk saling berlomba, bersaing demi memenuhi nafsu pribadi secara individualistis. Dalam negara utama tidak ada tempat bagi sistem monopoli oleh satu golongan tertentu atau kapitalisme. Semua harus menyerahkan diri untuk suatu kerjasama demi mencapai kebahagiaan bersama baik material maupun spiritual yang berdasarkan ketuhanan. Inilah salah satu tujuan negara utama. Dan karena didirikan dengan segenap kesadaran warganya, mereka berusaha mengejar maksud dan tujuan dari didirikannya suatu negara utama.
Al-Farabi menganalogikan negara utama layakna tubuh yang sehat. Dalam tubuh yang sehat, seluruh anggota badan saling bekerjasama untuk memelihara tubuh tersebut supaya senantiasa dalam keadaan baik. Setiap anggota tubuh mengetahui tugas masing-masing dan bekerja menurut kadar yang telah ditentukan. Maka adalah asing dalam mekanisme kerja tubuh yang sehat jika muncul fenomena tangan mengambil peran kaki, atau telingan mengambil peran hidung, misalnya. Dalam hierarki tubuh yang sehat, anggota yang paling penting adalah hati. Hati merupakan pengendali utama anggota-anggota tubuh lainnya. Hati ibarat pemimpin negara. Hanya hati yang baik dan suci yang dapat menjadikan anggota tubuh yang lain menjadi baik. Al-qolbu al-salim fi al-jismi al-salim.
Begitulah negara utama, negara yang dipimpin oleh mereka yang baik dan menebar kebaikan ke setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Sebuah negara yang berdasarkan ketuhananan dan mengajak setiap warganya untuk mengenal Tuhan. Sebuah negara sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Negara Harus Rasional
Tesis sentral dari Al-Farabi adalah bahwa negara harus rasional. Artinya, warga negara yang membentuk negara harus memiliki kecerdasan akal yang bisa digunakan untuk menggali rahasia alam. Rasionalitas adalah cita-cita Al-Farabi yang menurutnya harus wujud dalam negara utama. Al-Farabi sangat menganjurkan penggunaan akal demi mencapai kebahagiaan seluruh warga negara. Al-Farabi juga tidak menolak kemewahan yang merupakan hasil dari kecerdasan dan pengembangan ilmu pengetahuan.[12]
Al-Farabi adalah pemikir besar Islam yang sangat bersemangat untuk mendamaikan akal budi dan iman dalam pembicaraan filsafat politik. Umumnya, akal dibicarakan berkaitan dengan filsafat dan iman dibicarakan berkaitan dengan agama. Al-Farabi adalah pemikir besar Islam yang berpegang teguh pada keyakinan bahwa Al-qur’an adalah kitab kebenaran. Dan Al-qur’an secara eksplisit telah menyeru pada penggunaan akal budi kepada orang-orang yang beriman. Seruan ini bisa dijumpai pada banyak ayat.“Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran”[13], “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”[14] dll. Perintah penggunaan akal budi banyak muncul dalam Al-qur’an. Nabi pernah bersabda “La dinan liman la aqlan lahu” yang artinya “Tidak mungkin beriman seseorang yang tidak menggunakan akalnya”. Artinya hanya orang yang mau menggunakan akalnya sajalah yang muncul keimanan di dalam dadanya. Karena orang beriman adalah orang yang hidup dengan menggunakan akalnya, maka Al-Farabi hendak mengatakan bahwa orang yang tidak mau menggunakan akal budinya untuk memecahkan berbagai problematika kehidupan dan melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan di alam semesta adalah tidak beriman.
Rasionalitas Harus Dimiliki Pejabat Negara dan Warga Negara
    Para Pejabat Negara
Dalam salah satu masterpiece-nya, Siyasat, Al-Farabi menulis :
“Sebagaimana alam dunia merupakan keseluruhan harmonis yang diatur oleh kekuasaan tertinggi Tuhan; sebagaimana falak-falak bintang dan bumi di bawah bulan bergabung dan berurut-urutan; sebagaimana jiwa manusia tersusun dari daya berbeda-beda; sebagaimana tubuh manusia merupakan tertib yang diatur oleh jantung, maka begitulah negara harus ditertibkan dan dipolakan sesuai dengan contoh-contoh mulia itu.”
Berdasarkan asas di atas, Al-Farabi membedakan pejabat negara ke dalam tiga golongan. Di puncak kekuasaan terdapat raja (malik) atau dikenal dengan ra’is awal. Ia adalah seorang filosof yang merenungkan kebenaran abadi dan menerima pengetahuan kebenaran secara langsung dari aqal fa’al.[15] Pada tingkat kekuasaan menengah terdapat petugas-petugas yang dikontro oleh ra’is awal. Di tingkat bawah adalah mereka yang merealisasikan perintah.
Seorang kepala negara, menurut Al-Farabi harus sempurna secara moril, intelektual dan fisik. Ia haruslah seorang yang mencintai kebenaran dan keadilan, berani mengambil keputusan yang tepat dan cepat, tidak tergoda oleh emas, perak atau harta benda duniawi lainnya, jauh dari kesenangan duniawi dan berbakat menjadi panglima perang. Berkat keunggulan tersebut, raja bisa menunaikan tugasnya dengan baik dan menghasilkan negara yang unggul.
Di samping ra’is awal, Al-Farabi menyebut ra’is tsani. Ra’is tsani biasanya dipegang oleh badan yang beranggotakan para ulama/imam. Gagasan ini sesungguhnya gagasan yang sangat orisinil dari pemikiran Al-Farabi dan membedakannya dari Plato, filosof besar Yunani. AL-Farabi terinspirasi gagasan tersebut dari ajaran Islam yang diimaninya, bahwa di sisi para pemimpin selalu ada sosok ulama. 

     Warga Negara
Warga negara atau manusia adalah pokok pembicaraan filsafat politik Al-Farabi. Menurutnya, hanya manusia yang taqwa dan cerdas yang bisa menjadi warga negara yang baik demi terwujudnya tujuan negara yaitu kebahagiaan. Untuk menjadi warga negara yang baik, manusia harus memiliki kemauan bulat yang menjadi daya dorong tindakannya. Kemauan bulat tersebut hanya mungkin jika seorang warga negara memiliki kecerdasan dan keimanan. Al-Farabi menggunakan konsep sufi ittisal dan ittihad guna menggambarkan warga negara yang baik.[16]
Ittisal adalah manusia yang mampu mengatur kebutuhan jasmaninya sehingga mampu berhubungan langsung dengan Tuhan. Sedangkan ittihad adalah orang yang sudha mampu berhubungan langsung dengan Tuhan dan memiliki kesucian sehingga bisa menyatukan jiwanya dengan Tuhan. Konsep sufisme tersebut oleh Al-Farabi dibawa ke ranah politik. Menurut Al-Farabi, seorang warga negara harus bebas dari segala nafsu duniawi dan individualisme. Selanjutnya, ia bisa menyerahkan diri dengan negara sehingga bisa menikmati kebahagiaan material dan spiritual.[17]
Dengan konsep tersebut, Al-Farabi hendak mengatakan bahwa warga negara menempati posisi sentral dalam pembicaraan tentang negara. Keadaan warga negara akan menentukan corak, sifat, dan bentuk negara. Pendapat ini kemudian diaminkan oleh seorang filosof besar Inggris kontemporer seribu tahun kemudian, John Stuart Mill (1806-1873) dengan statemennya yang terkenal “The worth of a state in the long runs is the worth of the individuals composing it”. [18] Pandangan ini membedakan Al-Farabi dengan filsuf politik lain yang menyatakan bahwa negaralah yang memberikan corak pada warga negara, atau bahwa kepala negara yang menentukan perbedaan antara negara yang satu dengan negara yang lain, sebagaimana dipahami Niccolo Machiavelli (1469-1527) bahwa Wajah realitas politik dapat ditemukan terutama pada profil para pemimpin bangsa dan pola manajemen yang digunakan untuk mengatur bangsanya.[19]
Menurut Al-Farabi, manusia memiliki dasar-dasar pikiran dan pendapat yang mengharuskan dirinya untuk bekerja dan berjuang guna mencapai tujuan akhir negara yaitu kebahagiaan. Hanya manusia yang dapat berpikir dan mempunyai cita-cita semacam itulah yang bisa menjadi warga negara utama. Negara utama hanya bisa didirikan oleh manusia-manusia utama. Untuk menjadi warga negara yang utama, seorang manusia harus memiliki kehendak bulat sejak dalam pikiran hingga ke tindakan untuk merealisasikan cita-cita tersebut.
Al-Farabi mengemukakan beberapa patokan penting dalam mendirikan negara. Pertama, negara harus dibentuk dari kemauan manusia yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Kedua, warga yang membentuk negara itu harus memiliki kecerdasan akal yang bisa digunakan untuk menguak rahasia alam baik alam materi maupun alam rohani. Ketiga, setiap warga negara harus memiliki tujuan hidup dan pandangan hidup. Pandangan hidup ini, menurut Al-Farabi harus tertanam dalam-dalam di lubuk hati setiap warga negara.[20]
Jenis-Jenis Negara Lain
Al-Farabi mengelompokkan jenis-jenis negara berdasarkan ideologi yang dianutnya. Ideologi yang benar dianut oleh negara utama. Ideologi yang salah dianut oleh negara-negara sebagai berikut. Pertama, negara yang bodoh (ignorant). Dalam negara bodoh, warga negara dan pemimpin pemerintahan tidak pernah tahu tentang keutamaan-keutamaan hidup dan arti kebahagiaan sejati. Mereka hidup begitu saja menikmati apa yang ada dan hanya sibuk mengusahakan pemenuhan kebutuhan dan keinginannya. Mereka bekerja keras dengan orientasi sekedar mendapatkan makanan, minuman, pakaian dan pemenuhan akan kebutuhan seksual. Intinya, negara bodoh adalah negara yang penuh dengan kesia-siaan hidup. Para pemimpin dan warga negara mengalami kerusakan moral yang parah. Mereka menginginkan kebebasan mutlak (democratic city) supaya dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada lembaga hukum yang berhak  menghalanginya.
Jenis negara kedua adalah negara jahat (the wicked city). Negara jahat adalah suatu negara dimana warga negaranya memiliki pengetahuan tentang keutamaan hidup sebagaimana warga di negara utama, tapi tindakan dan cara hidup mereka seperti warga di negara bodoh. Mereka mempunyai cita-cita dan kebijaksanaan luhur tapi tidak diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Jenis ketiga adalah negara yang mengalami kemerosotan (deliberately change). Menurut Al-Farabi, negara yang mengalami kemerosotan adalah negara utama yang terus menerus mengalami godaan demi godaan dan terlena dengan godaan-godaan tersebut. Kepercayaan menjadi sia-sia dan niat kebenaran menjadi cita-cita belaka tanpa realisasi. Maka, yang terjadi kemudian adalah kemerosotan moral yang memicu kejatuhan demi kejatuhan. Pemimpin negara merosot moralnya menjadi seorang penipu besar, warga negaranya melakukan tindakan yang berlawanan dengan yang dilakukan warga negara di negara utama.
Keempat, negara sesat (the erring city). Negara sesat menurut Al-Farabi adalah gambaran masyarakat yang masih berpegang pada pandangan-pandangan lama. Mereka belum tahu akan adanya pandangan baru dalam memahami kehidupan manusia dan penghargaan baru terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Mereka keliru dalam upaya mencapai kebahagiaan baik sekarang maupun nanti di kehidupan sesudah mati. Kekeliruan disebabkan ketidaktahuan. Ketidaktahuan berawal dari ketidakmampuan untuk tahu. Mereka ditiru oleh pemimpinnya yang mengaku berasal dari keturunan dewa-dewa dan harus ditaati secara mutlak dan absolut segala perintahnya. [21]
Hubungan Antar Negara (Internasionalisme)
Al-Farabi membedakan bentuk negara sempurna dan swasembada ke dalam tiga bentuk negara. Pertama, kamilah sugra (masyarakat kecil atau negara nasional). Al-Farabi hanya menjelaskan secara singkat bentuk negara seperti ini. Desa, kampung, kelompok rumah-rumah (pedukuhan) adalah negara tidak sempurna. Dan yang terkecil di antara bentuk negara tidak sempurna tersebut adalah keluarga.
Kedua, madinah wasta. Negara jenis kedua ini adalah negara kebangsaan yang terdiri dari kota-kota. Negara ini semacam persekutuan regional dimana masyarakat mendiami sebagian wilayah dunia. organisasi regional seperti ASEAN, Timur Tengah, Eropa, dan sebagainya boleh jadi merupakan bagian dari madinah wusta dalam konsepsi negara Al-Farabi.
Ketiga, kamilah uzma (masyarakat negara-negara / negara internasional). Contoh dari kamilah uzma dalam realita kontemporer adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Al-Farabi menyarankan kerjasama antar bangsa-bangsa sebagai jalan terbaik untuk perwujudan perdamaian dunia menuju asas akal yang berdaulat. Hal ini kemudian diadopsi Franklin Delano Roosevelt pasca perang dunia II dengan mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pembagian negara oleh Al-Farabi seperti yang dijabarkan di atas terjadi dalam masyarakat yang sudah sempurna dan lengkap yang disebut madinah kamilah (masyarakat kota yang sempurna) dan menurutnya negara semacam ini sudah berhak menjadi negara. Sedangkan madinah ghairu kamilah (masyarakat yang belum sempurna) belum berhak menjadi negara.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, Y. Rumanto menarik kesimpulan bahwa kamilah sugra dapat diartikan sebagai negara nasional seperti Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat, dll. Kamilah wasta adalah hubungan regional antar negara seperti Uni Eropa (EU), Asosiasi Negara-Negara di Asia Tenggara (ASEAN), Asia Timur, Timur Tengah, dll. Dan kamilah uzma adalah badan internasional seperti PBB. Al-Farabi adalah seorang pemikir besar Islam yang sangat serius membicarakan tentang internasionalisme.[22]
Al-Farabi mengatakan :
“Sebagaimana seluruh dunia diperintah oleh Tuhan yang maha tinggi, sebagaimana bintang-bintang dan seluruh cakrawala seumpama rantai-rantai yang saling berkaitan. Sebagaimana jiwa manusia adalah satu dalam kekuatan yang bermacam ragam. Sebagaimana tubuh manusia diatur oleh jantung. Maka hendaknya negara juga diatur mengkuti contoh-contoh yang paling baik itu.”
Pernyataan Al-Farabi menunjukkan bahwa beliau adalah seorang perenung alam semesta yang luar biasa. Ide internasionalisme Al-Farabi menurut Hamidullah, adalah berdasarkan pada ide internasionalisme Islam. Islam, mencita-citakan persaudaraan seluruh umat manusia. Menurutnya, dalam Islam telah ada 5 pokok terpenting dari cita-cita tersebut : manusia berasal dari penciptaan yang sama, [23] seluruh umat manusia adalah umat yang satu,[24] panggilan Islam untuk seluruh umat manusia,[25] perbedaan kulit dan bahasa dinyatakan hal yang lazim dan bukan untuk saling memisahkan justru untuk saling mengenal,[26] dan perintah hidup berlapang dada.[27]
Penutup
Al-Farabi adalah pemikir besar Islam yang berjasa besar membawa kebagkitan peradaban Islam. Al-Farabi membentangkan jalan intelektualisme dalam Islam. Melalui kajian filsafatnya, Al-Farabi membuat sintesis antara wahyu Illahi dan filsafat sehingga keduanya tidak saling bertentangan. Proyek filosofis Al-Farabi adalah penekanan yang sangat kuat terhadap rasionalitas dan ketakwaan yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Al-Farabi meyakini bahwa kehidupan rohani dan kehidupan manusia selalu bertemu dan berhubungan.
Gagasan filsafat politik Al-Farabi memang nampak sangat idealis atau bahkan utopis jika ditinjau dari perspektif politik modern. Tapi apa yang dijabarkan Al-Farabi sesungguhnya hanyalah kepanjangan dari Al-qur’an dan hadist Nabi itu sendiri. Tidak heran jika di zaman yang penuh dengan dekadensi moral dan kecendrungan adanya politik ‘menghalalkan segala cara’ pada hari ini, ide filsafat politik Al-Farabi menjadi sulit dibumikan. Ini adalah tugas cendekiawan muslim untuk membuktikan gagasan Al-Farabi sejauh sesuai dengan konteks kehidupan politik hari ini, bahwa Islam, bisa diaplikasikan dalam kehidupan perpolitikan dan kenegaraan. Bahwa Islam dapat membawa suatu masyarakat menuju kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun batin, di dunia maupun di akherat. Al-Farabi adalah contoh generasi terbaik yang pernah ada. Semoga di hari depan akan bermunculan Al-Farabi Al-Farabi yang lain. Amin.
Madina al-fadila sesungguhnya bukanlah utopia. Madina al-fadila bisa direalisasikan oleh umat Islam karena telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun untuk mewujudkannya harus melalui perjuangan panjang yang tiada henti-hentinya dan disesuaikan dengan konteks kekinian. Bukankah sudah jelas bahwa “Sesungguhnya dalam diri rasulullah terdapat teladan yang baik.”28
Wallahua’lam Bissawwab
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an.
Rumanto,Y. Jurnal Filsafat Driyarkara : Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jakarta : Salemba Bluntas, Edisi XXVI No. 2.
Murtiningsih, Wahyu. 2008. Biografi Para Ilmuwan Muslim. Jogjakarta : Insan Madani.
Natsir, M. 2008. Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara. Jakarta : Yayasan Bulan Bintang Abadi.
Al-Farabi, Al-Madina Al-Fadila (terjemahan R. Walzer), Oxford : Alden.
Bakker, JWM. 1986. Sejarah Filsafat dalam Islam. Jogjakarta : Kanisius.
Ahmad, H.Z. 1968. Negara Utama. Jakarta : Kinta.
Stuart Mill, John. 2005. On Liberty. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Machiavelli, Niccolo. 2002. Il Principe. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.


[1] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jurnal Filsafat Driyarkara Edisi XXVI No. 2, Hal : 35
[2] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Jamia’ah Arraniry, Filsafat Islam, Hal : 35
[3] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jurnal Filsafat Driyarkara Edisi XXVI No. 2,
   Hal 35-36.
[4] Wahyu Murtiningsih, Biografi Para Ilmuwan Muslim, Hal 170-171.
[5] Arti Agama dalam Negara. Capita Selecta 1. M. Natsir. Hal 532-533.
[6] Al-Farabi, Al-Madina Al-Fadila (terjemahan R. Walzer), Hal : 235.
[7] Ibid. Hal : 229
[8] Ibid. Hal 230-231
[9] Ibid. Hal : 234
[10] JWM. Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam, Hal : 39.
[11] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jurnal Filsafat Driyarkara Edisi XXVI No. 2,
   Hal :37-38.
[12] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jurnal Filsafat Driyarkara Edisi XXVI No. 2,
Hal : 39
[13] QS. Shaad : 43
[14] QS. Ali Imran :190-191
[15] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jurnal Filsafat Driyarkara Edisi XXVI No. 2,
Hal : 39.
[16] Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, Hal 135
[17] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jurnal Filsafat Driyarkara Edisi XXVI No. 2,
Hal : 40
[18] John Stuart Mill, On Liberty, ed. David Spitz, chapter 5, Hal : 106 . Publikasi orisinil tahun 1859.
[19] Niccolo Machiavelli, Il Principe, Hal : xxvii
[20] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jurnal Filsafat Driyarkara Edisi XXVI No. 2,
Hal : 41
[21] Ibid, hal : 42
[22] Ibid, Hal : 43
[23] QS. An-Nisa : 1 & QS. Al-Hujurat : 13
[24] QS. Al-Baqarah : 213 & QS. Yunus : 20
[25] QS. Takwir : 27, QS. Saba : 28,  & QS. Al-Anbiya : 107
[26] QS. Ar-Rum : 22 & QS. Al-Hujurat : 13
[27] Qs. Al-Baqarah : 62 & QS. Al-Maidah : 69
[28] QS. Al-Ahdzab : 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar