SURAT DARI NICCOLO MACHIAVELLI
KEPADA
YANG MULIA LORENZO DE’ MEDICI*
Sudah menjadi kebiasaan bagi orang yang ingin mengambil
hati seorang penguasa untuk menghadap penguasa tersebut dengan membawa barang
milik mereka yang paling berharga, atau membawa barang yang mereka ketahui akan
membuat sang penguasa berkenan di hati. Karenanya kita kerap kali menyaksikan
para penguasa menerima persembahan kuda, senjata, busana dari emas, intan
permata, dan perhiasan-perhiasan semacam itu yang sangat cocok bagi keluhuran
kedudukan seorang penguasa. Sekarang hamba ingin mempersembahkan diri hamba
sendiri kepada Yang Mulia dengan membawa beberapa tanda kesetiaan dan hormat
hamba kepada Yang Mulia. Tetapi hamba tidak dapat menemukan milik yang sangat
hamba cintai dan yang sangat hamba hargai selain pengetahuan hamba mengenai
karya-karya orang-orang besar, yang hamba peroleh setelah lama mempelajari
masalah-masalah zaman sekarang dan juga menekuni dunia masa silam. Lama
masalah-masalah ini hamba pelajari dan renungkan dengan penuh ketekunan, dan
kini telah dirangkum dalam sebuah buku kecil, hamba persembahkan ke hadapan
Paduka.
Walaupun saya berpendapat bahwa karya saya ini tidak
pantas dipersembahkan ke hadapan Paduka, namun, saya yakin sepenuhnya bahwa
Paduka akan berkenan menerimanya, karena saya tidak dapat mempersembahkan
pemberian yang lebih berharga selain ini yang dapat membantu Paduka dalam waktu
singkat memahami segala sesuatu yang telah bertahun-tahun saya pelajari dan
saya pahami dengan penuh penderitaan dan bahaya. Saya memang tidak menghiasi
buku ini dengan kata-kata yang memukau, atau dengan kalimat-kalimat yang
memikat atau hiasan yang berlebihan seperti yang biasa digunakan banyak penulis
dalam menguraikan atau menghias karya-karya yang mereka hasilkan. Saya tidak
ingin buku ini dipandang istimewa, atau dianggap berkenan semata-mata karena
keaneka-ragaman isinya dan pentingnya masalah yang dibahas. Saya yang berasal
dari kalangan yang rendah kedudukan sosialnya, tidak ingin dianggap terlalu
lancang membicarakan dan memberikan petunjuk bagaimana para raja harus
memerintah; karena seperti orang-orang yang sedang melukis pemandangan, mereka
akan duduk di suatu lembah untuk meneliti ciri-ciri gunung dan tanah-tanah yang
berada di tempat yang tinggi, dan untuk meneliti lembah-lembah mereka akan
mendaki gunung dan tanah-tanah yang berada di tempat yang tinggi, dan untuk
meneliti lembah-lembah mereka akan mendaki gunung; demikian juga, untuk dapat
memahami sepenuhnya sifat dan ciri rakyat, orang harus menjadi raja, dan untuk
memahami sepenuhnya ciri dan sifat raja-raja, orang harus menjadi seorang warga
biasa.
Karena itu, Paduka Yang Mulia, ambillah persembahan kecil ini sesuai dengan
maksud buku ini saya persembahkan; dan jika Paduka membaca dan merenungkannya
dengan tekun, Paduka akan menemukan dalam tulisan ini keinginan saya yang
membara agar Paduka mencapai puncak kemuliaan yang datang dari kekayaan dan
karya agung Paduka. Dan bila Paduka Yang
Mulia berkenan memandang ke bawah dari tahta Paduka, Paduka akan melihat betapa
besar kemalangan yang telah saya derita meskipun tidak saya harapkan karena
kekejaman nasib ini.
_______________
*Lorenzo
(1492-1519) adalah putra Piero De’ Medici dan kemenakan Giovanni De’ Medici
(Leo X), yang menjadikannya sebagai adipati Urbino pada tahun 1516. Ia raja
yang sedang berkuasa saat Machiavelli menyelesaikan Il Principe dan memutuskan untuk menghadiahkan kepadanya.
*********************************************************************************************************
STUDI KRITIS
TERHADAP MAHAKARYA NICCOLO MACHIAVELLI
IL PRINCIPE
Oleh :
Marlis Herni Afridah*
Pendahuluan
Sejak semula, kekuasaan selalu berwajah dua : mempesona sekaligus
menakutkan. Begitu tutur Franz Magnis Suseno dalam Kuasa dan Moral. Kekuasaan
selalu menjadi objek yang terus dikaji. Kajian-kajian tentang kekuasaan membawa
implikasi yang jauh melampau zamannya. Membawa dunia ke arah perubahan. Sejarah
mencatat seorang filosof politik, yang karyanya tentang kekuasaan telah merubah
paradigma banyak penguasa dunia hingga hari ini.
Pemikirannya membawa perubahan terhadap tata dunia. Banyak para penguasa
mendengar nasehat-nasehatnya. Ia adalah seorang filosof politik yang hidup pada
masa renaissance di Barat, Niccolo
Machiavelli yang dikenal dunia dengan masterpiece-nya
Il Principe –Sang Penguasa. Sebuah mahakarya
abad pertengahan yang berisi nasehat kepada para penguasa tentang seni mempertahankan
kekuasaan.
Biografi Singkat Niccolo Machiavelli
Machiavelli hidup pada tahun 1469-1527 di Florence, sebuah negara-kota di
Italia yang sangat terkenal dengan kebudayaannya. Florence tampak megah dengan
banyaknya bangunan gereja, biara, dan katedral sebagai lambang kebudayaan teosentris, ciri khas kebudayaan abad
pertengahan. Para penguasa tertinggi negara kota itu berasal dari
keluarga-keluarga aristokrat yang mengalami peningkatan status sosial karena
kecipratan hasil perniagaan negara-kota Florence yang maju.
Namun demikian, sejarah politik negara-kota Florence merupakan rentetan
pengalaman pasang surut perkembangan dan
perubahan hukum, undang-undang dan konstitusi negara yang berlangsung secara
cepat dan drastis. Sementara itu, eksistensi Florence selalu terancam dari luar
oleh serbuan pasukan militer Perancis dan Spanyol. Kota-kota di Italia selalu
menjadi sasaran empuk perampokan pasukan-pasukan militer tersebut. Sebuah
situasi yang tidak menyenangkan.
Kota kebudayaan Florence selalu dilanda situasi politik yang tidak stabil.
Carut marut. Para bangsawan berebut kekuasaan dengan berbagai intrik politik
yang melahirkan bentrokan-bentrokan politik di atas panggung kekuasaan[1].
Machiavelli hidup pada masa tersebut dalam pasang surut dinamika politik yang penuh
intrik untuk saling menjatuhkan. Machiavelli adalah seorang politikus praktis.
Apa yang ditulisnya dalam Il Principe
adalah sekian banyak pengalaman dan pengamatannya terhadap hiruk piruk dunia
politik selama hidupnya yang ia anggap bermuara pada satu cita-cita: kekuasaan.
Machiavelli muda kemudian terlibat dalam hiruk piruk dunia politik. Ia
bersinggungan dengan upaya-upaya para penguasa dalam membangun dan
mempertahankan kekuasaan. Ia berjaya, kemudian jatuh, berjaya lagi dan jatuh
kembali. Nasib buruk yang dirasakannya setelah tersingkir dari panggung politik
mendorongnya menulis dan menghadiahkan sebuah
karya kepada seorang raja yang sedang berkuasa di Florence, Lorenzo De’ Medici.
Karya yang kemudian hidup hingga berabab-abad setelah kematiannya: Il Principe.
Lorenzo De’
Medici adalah seorang raja yang terkenal sangat berjasa dalam membangun
kemakmuran negara-kota Florence. Ia bertindak sebagai sponsor besar
pengembangan kesenian baik sastra, seni pahat, seni rupa, dan seni bangunan. Ia
mengembangkan perdagangan sedemikian rupa hingga Florence bertumbuh menjadi
salah satu pusat perdagangan yang maju dan diperhitungkan. Ia membuat situasi
politik di Florence menjadi lebih stabil.
Pandangan Machiavelli dalam Il Principe
Il Principe berisi pembahasan beberapa pandangan Machiavelli tentang
politik dan kekuasaan. Pandangannya dalam Il
Principe dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu [1]realitas politik,
[2]politik dan moralitas, [3]angkatan bersenjata dan patriotisme, dan [4]sikap
terhadap agama.
[1]Realitas Politik
Machiavelli memahami realitas politik bertolak dari pengalamannya sebagai
seorang negarawan. Dalam kedudukannya sebagai duta besar, ia sering mengunjungi
negara-negara lain dan aktif dalam hubungan internasional yang menurutnya, ternyata
hanya diwarnai oleh kepentingan masing-masing negara. Tidak kurang tidak lebih.
Menurutnya, hubungan internasional saling memanipulasi demi kepentingan
nasional masing-masing bangsa. Wajah realitas politik dapat ditemukan terutama
pada profil para pemimpin bangsa dan pola manajemen yang digunakan untuk
mengatur bangsanya.
Machiavelli melihat praktek politik nyata dari suatu negara pada tingkah
laku penguasa dalam merebut kekuasaan dari rezim lama, yang kalau perlu
menggunakan kekerasan dan kekuatan (militer) untuk mempertahankan kekuasaan.
Bila ada peluang dan kesempatan, maka perlu memperluas ruang kekuasaannya ke
segala bidang kehidupan bangsa dan negara untuk melanggengkan dan melestarikan
kekuasaan itu sebelum kekuasaan merosot dan hancur karena muncul dan bangkitnya
rezim baru yang datang kemudian.
Ia menghimbau bahwa sebaiknya para penguasa tidak menenggelamkan diri dalam
mewujudkan cita-cita moral dan religius, melainkan penguasa harus secara lihai
memanfaatkan situasi untuk mempertahankan kekuasaan. Ia menyarankan tindakan
nyata yang harus diambil oleh para penguasa untuk mencapai –terutama- tujuan
jangka pendek yang lebih urgent bagi
seorang penguasa ketimbang tujuan jangka panjang yang lebih diminati golongan
moralis. Jangan sampai tujuan jangka panjang yang tidak pasti merusak
kepentingan jangka pendek negara yang jauh lebih pasti dan mendesak.
Machiavelli menyarankan para penguasa untuk memanfaatkan kekuatan nyata
seperti legalitas konstitusional guna melancarkan aksi-aksi politik. Ia juga
harus memanfaatkan bonafiditas lembaga-lembaga agama untuk membangun opini publik bahwa ia adalah seorang penguasa
pendukung moralitas. Untuk mengalihkan perhatian rakyat dari politik, seorang
penguasa perlu menyediakan hiburan publik dan sarana olahraga. Menurutnya, rakyat
sejatinya sangat mudah dibohongi dan dimanipulasi dukungannya melalui
penampilan seorang penguasa yang menarik dan persuasif, karena rakyat hanya
butuh ilusi yang kuat agar mudah diyakinkan. Dan itu tidaklah sulit.
[2]Politik dan Moralitas
Machiavelli
hidup saat kehidupan religius mengalami chaos
dan terjadi disintegrasi moralitas publik. Hal ini mempengaruhi pemikirannya
dalam memandang kehidupan, terutama kehidupan bernegara. Baginya, yang
terpenting bukanlah moral sebagai legitimasi kekuasaan, tapi bagaimana caranya
agar politik dan kekuasaan bisa stabil dan lestari.
Machavelli berpendapat bahwa penguasa bukanlah personifikasi dari
keutamaan-keutamaan moral. Ia menganut semacam sinisme moral. Baginya, politik
dan moralitas adalah dua hal yang terpisah dan tidak dapat disatukan. Tidak ada
tempat bagi moralitas dalam politik. Yang terpenting adalah bagaimana cara
meraih dan kemudian melestarikan kekuasaan. Inilah tujuan berpolitik bagi
Machiavelli. Maka, segala cara untuk mencapai tujuan tersebut dapat dibenarkan.
Menurutnya, seorang penguasa boleh saja melanggar perjanjian dengan negara
lain, bahkan dengan rakyatnya sendiri sejauh itu menguntungkan baginya. Dalam
situasi perang, negara tidak boleh bersikap netral, melainkan harus memihak
pada negara yang lebih kuat yang diperkirakan akan memenangkan peperangan.
Karena ini akan menguntungkan penguasa. Sebaliknya, menurutnya tidak ada
keuntungan yang didapat jika dalam situasi perang negara bersikap netral.
Machiavelli juga menekankan pentingnya oposisi dalam membangun negara yang
kuat. Baginya, negara yang kuat membutuhkan oposisi yang kuat untuk
menyempurnakan pola manajemen kekuasaannya. Karena baginya, tujuan akhir dari
perjuangan seorang penguasa adalah kemuliaan dirinya sendiri.
[3]Angkatan Bersenjata dan Patriotisme
Pemerintahan yang baik harus dibangun di atas dasar yang kuat agar stabil.
Dasar tersebut adalah sistem hukum yang baik dan angkatan bersenjata yang baik.
Namun bagi Machiavelli, tidak ada sistem hukum yang baik tanpa didahului pembangunan
angkatan bersenjata yang baik. Karena baginya, angkatan bersenjata yang baik
akan menjamin sistem hukum yang baik pula. Negara yang tangguh adalah negara
yang memiliki militer tangguh dan berdisiplin tinggi. Maka, dapat disimpulkan
bahwa Machiavelli berpandangan bahwa tumpuan perjuangan politik terletak pada
senjata. Senjata adalah sesuatu yang suci dalam perjuangan politik.
Untuk menjaga stabilitas keamanan negara, seorang penguasa dapat
memanfaatkan jasa tentara bayaran. Namun Machiavelli sangat menekankan untuk
menghindari penggunaan jasa tentara bayaran dan bantuan tentara asing karena
menurutnya penggunaan jasa tentara bayaran dan bantuan tentara asing sangat
berbahaya bagi eksistensi negara jika negara berada dalam keadaan darurat.
Bagaimanapun tentara bayaran bekerja demi uang. Mereka tidak akan rela menukar
nyawanya demi mengamankan kekuasaan seorang raja.
Machiavelli menyarankan para penguasa agar membentuk organisasi militer
secara baru, dan itu harus terdiri dari orang-orang pilihan dari rakyatnya
sendiri. Karena rakyat memiliki jiwa patriotisme. Semangat patriotisme yang
dimiliki rakyat tidak pernah dimiliki tentara bayaran. Dengan patriotisme,
kesatuan negara dapat dipelihara, dan kekuasaan dapat diamankan. Agar
organisasi militer yang terbentuk bisa sejalan dengan kehendak penguasa, Machiavelli
menyarankan penguasa untuk membatasi panglima militer dengan
undang-undang. Undang-undang tersebut
mencegah menyimpangnya kebijakan yang dibuat panglima militer dari apa yang
dikehendaki penguasa.
Untuk efektivitas terealisasinya tujuan politik, Machiavelli menyarankan
penguasa untuk mengembangkan doktrin militer yang diselaraskan dengan tujuan
politiknya. Ia adalah penggagas awal lahirnya praktek wajib militer yang
diaplikasikan beberapa negara dewasa ini. Menurutnya, wajib militer bisa
menjadi sarana yang efektif untuk melindungi negara dan mempertahankan
kekuasaan dibanding tentara bayaran. Tentara yang berasal dari rakyat akan
bertempur mati-matian untuk membela negara, apalagi jika mereka bisa diyakinkan
dengan doktrin perjuangan bahwa pemenang perang akan menentukan nasib bangsa
dan negara di masa depan. Itulah manfaat patriotisme dalam upaya melanggengkan
kekuasaan sang penguasa.
[4]Sikap Terhadap Agama
Italia pada masa Machiavelli hidup adalah bangsa yang sedang mengalami
kemerosotan moral. Menurut Machiavelli, kemerosotan moral berbahaya bagi masa
depan Italia. Faktor utama penyebab kemerosotan moral itu adalah
skandal-skandal moral yang dilakukan oleh pangeran-pangeran gereja pada masa
itu yang menyebabkan terjadinya disintegrasi moral publik. Skandal-skandal
dalam kehidupan gereja itu menimbulkan chaos
dalam kehidupan beragama. Faktor kedua adalah interpretasi dan penghayatan
kekristenan yang keliru. Selama ini Kristen ditafsirkan sebagai agama manusia
yang lembut, rendah hati dan cinta akan pengorbanan. Pendek kata, Machiavelli
memandang bahwa interpretasi terhadap iman Kristen hanya melahirkan orang-orang
yang lemah. Machiavelli ingin mengubah interpretasi tersebut. Ia ingin agar
agama bisa menunjang patriotisme. Membangkitkan kekuatan yang dapat
membangkitkan vitalitas masyarakat.
Machiavelli bercita-cita akan lahirnya reformasi religius dimana agama
menjadi sarana untuk meningkatkan semangat patriotisme, tak peduli apakah agama
itu benar atau tidak. Idelanya agama harus bisa mendukung lembaga-lembaga
publik. Lembaga-lembaga agama hanyalah sarana atau alat yang bisa digunakan dan
dimanfaatkan untuk menjaga tata tertib yang berlaku.
Studi Kritis Terhadap Il
Principe
Machiavelli sering dipahami sebagai seorang pemikir yang sinis, yang hanya
berkepentingan untuk mengamankan kekuasaan para penguasa. Banyak orang
menganggapnya amoral. Sebenarnya,
Machiavelli mengagumi Republik Romawi Kuno yang keras dan tinggi dalam tuntutan
etika politik. Ia menderita melihat politik Italia yang terombang-ambing
seperti buih di lautan, dikuasai oleh negara-negara tentangganya seperti
Jerman, Perancis dan Spanyol. Italia bahkan terpecah belah dalam bentuk
negara-kota (polis). Ia merindukan
suatu negara yang bersatu, sehat, kuat dan tidak korup. Ia mengharapkan
semangat tak mau kalah dan menuntut kesigapan militer warga negara.
Machiavelli bermimpi Italia dapat bersatu dan stabil. Namun, untuk dapat mencapai
tujuan tersebut, ia meyakini bahwa sang penguasa harus terlebih dahulu bisa mengamankan
kekuasaannya. Maka, ia memfokuskan pandangannya pada teknik merebut dan
mempertahankan kekuasaan yang mungkin dilakukan oleh seorang penguasa/raja.
Baginya, cara apapun bisa dibenarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Moralitas
harus ditanggalkan dari politik karena baginya menstandarkan perilaku politik
pada moralitas adalah sia-sia. Baginya, yang terpenting adalah kesuksesan,
dimana kekuasaan bisa direbut dan dipertahankan. Meskipun harus dengan
menghalalkan segala cara.
Inilah latar belakang dari nasehat-nasehat politik yang diberikan Machiavelli
dalam Il Principe. Ia berpendapat bahwa
tindakan jahat seorang raja pasti akan dimaafkan oleh masyarakat asalkan sang
raja bisa mencapai sukses. Kekejaman diperlukan asal digunakan dengan tepat dan
bisa menjadi sarana stabilisasi kekuasaan raja. Dalam pandangannya, seorang
raja lebih baik ditakuti daripada dicintai, selama dengan itu ia dapat mencapai
tujuan-tujuannya. Ia menyarankan agar seorang raja tidak menepati janjinya
apabila janji tersebut dapat merugikan kepentingannya. Ia juga menyarankan
seorang raja agar menunjukkan diri sebagai orang yang tegas dan brutal agar
tidak ada yang dengan seenaknya berani melawannya[2].
Franz Magnis Suseno dalam Kuasa dan
Moral mengkritisi pemikiran politik Machiavelli. Menurutnya, ada dua hal
yang dilupakan Machiavelli. Pertama, bahwa kekuasaan yang berdasarkan
kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya akan rapuh. Kekuatan yang hanya
berdasarkan faktor-faktor tersebut sepenuhnya hanya berasal dari kekuatan
pribadi raja, sementara faktor-faktor lain di luar raja selalu bersiap untuk
menyerangnya jika keadaan memungkinkan. Jika raja lengah sedikit saja, ia pasti
jatuh. Kekuasaan yang hanya berdasarkan intrik tidak akan pernah stabil.
Kedua, Machiavelli tidak melihat bahwa stabilitas kekuasaan tergantung dari
apakah kekuasaan dipandang sebagai sah atau tidak oleh masyarakat (legitimated). Ia memang menyadari bahwa
jika seorang raja ingin kekuasaannya lestari, maka sang raja harus memenuhi
harapan rakyat. Namun bukankah harapan rakyat akan selalu terus bertambah dan
bertambah?? Ini akan sangat menyulitkan raja. Raja tidak mungkin dapat memenuhi
semua harapan rakyat yang selalu bertambah itu. Raja akan lebih selamat jika ia
memadukan kekuasaannya dengan moralitas. Jika kekuasaan raja memiliki
legitimasi moral dan diakui sah oleh masyarakat secara suka rela, maka kekuasaannya
akan stabil[3].
Sejarah telah mencatat bagaimana perilaku seorang penguasa dapat memuliakan
atau menghinakan dirinya. Terkadang kejahatan memang terlihat kuat dan menonjol. Tidak
jarang mereka justru memenangkan pertarungan di berbagai bidang kehidupan.
Namun kemenangan tersebut toh sifatnya
hanya sementara, tidak permanen. Sejarah menjadi saksi bahwa siapa yang menanam angin, dia menuai badai.
Kita dapat melihat bagaimana akhir riwayat kekuasaan para penguasa dunia
yang tanpa kritis memuja dan membebek pada nasehat Machiavelli seperti Joseph
Stalin (Uni Soviet), Ne Win (Birma), Radovan Karadzic (Bosnia), Ferdinand
Marcos (Filipina), Yasuhiko Asaka (Jepang), Ion Antonescu (Rumania), Idi Amin
(Uganda), Francois Duvalier (Haiti), Adolf Hitler (Jerman), Leopold II (Belgia),
Slobodan Milosevic (Serbia), Ante Pavelic (Kroasia), Benito Mussolini (Italia),
Augusto Pinochet ugarte (Chili), Pol Pot (Kambodja), dan sosok yang sangat
tidak asing bagi rakyat Indonesia, Soeharto. Mereka adalah para penguasa yang
menjalankan kekuasaan dengan mengikuti nasehat politik Machiavelli yang
dituangkan dalam Il Principe.
Akhirnya, beberapa dari mereka dikudeta, sebagian mati terbunuh atau diasingkan
dari panggung politik. Sungguh akhir yang mengenaskan bagi seorang penguasa.
Sebaliknya, para penguasa yang tetap berpegang teguh pada moralitas seperti
Umar bin Abdul Aziz (682-720), Salahuddin Al-Ayubi (1138-1193), Mohammad
Al-Fatih (1432-1481), Priam Raja Troy, Hayam Wuruk, dll ditulis dengan tinta
emas sejarah. Rakyat mencintai mereka. Negara makmur. Pencapaian mereka
membuktikan bahwa kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari moralitas (akhlak).
Keduanya integral, tidak dapat dibagi-bagi. Shalahuddin Al-Ayubi dikenal
kemuliaan akhlaknya oleh kawan maupun lawan[4].
Mohammad Al- Fatih tetap mengedepankan akhlak meskipun berada dalam situasi
perang. Sebagai hasilnya, Konstantinopel yang sangat kokoh dapat ia taklukkan.
Sebuah prestasi luar biasa dalam sejarah peradaban manusia[5].
Machiavelli bahkan mengakui kebesaran militer Turki Utsmani. Ia mengagumi
tentara Turki Utsmani yang gagah perkasa. Tapi Machiavelli gagal memahami ruh
dari hebatnya tentara Janisari dan Sipahi Turki Utsmani yang tidak lain adalah
moralitas.
Thomas Aquinas, seorang filosof besar abad pertengahan di Eropa secara
radikal menuntut legitimasi moral dalam penggunaan kekuasaan. Dalam pandangannya,
kekuasaan tidak dapat membenarkan dirinya sendiri. Kekuasaan terbuka terhadap
kritik dan dituntut pertanggung jawaban. Menurutnya, Tuhan menghendaki agar
manusia hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah hukum kodrat. Artinya, hidup
sedemikian rupa hingga ia dapat berkembang, dapat membangun dan menemukan
identitas, dapat menjadi bahagia. Hukum kodrat menuntut agar manusia hidup
sesuai dengan martabatnya. Maka bagi Aquinas, hukum kodrat adalah tolok ukur
legitimasi segala tindakan kekuasaan. Sehingga kebijakan penguasa dalam bentuk
apapun, jika tidak sesuai dengan kodrat manusia, harus ditolak.
Menurutnya, kekuasaan hanyalah fungsional demi menciptakan kesejahteraan
bagi masing-masing orang. Jadi,
kekuasaan harus diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat umum. Untuk memanusiakan manusia. Seorang penguasa harus bersikap adil. Jika
seorang penguasa telah melenceng dan tidak mengusahakan kesejahteraan sosial
bagi masyarakatnya tetapi justru mencari keuntungan pribadi sebagaimana yang
dinasehatkan Machiavelli dalam Il
Principe, maka ia telah bertindak tidak adil dan bertentangan dari hukum
kodrat. Dengan demikian –menurut Aquinas- ia tidak layak disebut raja, tidak layak untuk
diikuti[6].
Karakterisistik Machiavelis dalam politik praktis kenegaraan digambarkan
dengan apik oleh Ajip Rosidi Dalam bukunya Rikmadenda
Mencari Tuhan. Dikisahkan bahwa Pandita Dorna merebut Astinapura dari
kekuasaan Prabu Suyudana (Kurawa) yang dahulu juga direbutnya dari Pandawa.
Dorna pernah menjadi guru dari para pandawa dan kurawa. Ia terkenal licik dan
suka mengadu domba Pandawa dan Kurawa hingga jadilah mereka terlibat dalam
perang saudara. Setelah berhasil merebut Astinapura, ia menggelari dirinya
sebagai Sang Baginda Sri Maha Prabu Catut Bawana Kemput.
Begitu kekuasaan berada dalam genggaman tangannya, yang pertama kali muncul
dalam pikirannya adalah gagasan bagaimana mempertahankan Astina tetap berada
dalam kekuasaannya –sekalipun sebenarnya Astina adalah hak Pandawa- dan
bagaimana cara memperluas kekuasaan dengan mendirikan koloni-koloni, menyatukan
kerajaan-kerajaan lain di bawah kekuasaannya[7].
Persis nasehat Machiavelli dalam Il
Principe. Dorna nampaknya seorang murid yang baik. Ia dengan cerdas
menyerap dan mengaplikasikan ajaran Machiavelli.
Langkah-langkah strategis kemudian diambil Dorna untuk mengokohkan
kekuasaannya. Pertama, ia membangun militer yang kuat, yang dikenal dengan nama
Wadiabala Astina. Pasukan militer ini
sangat kuat karena terdiri dari para raksasa yang sakti luar biasa. Yang ia
lakukan senada dengan nasehat Machiavelli, yaitu agar seorang penguasa
membangun kekuatan militer yang tangguh . Karena menurutnya, angkatan perang
merupakan harga mati yang harus dibayar seorang raja untuk mempertahankan
negaranya (kekuasaannya)[8].
Selanjutnya, Dorna mengunjungi Yudhistira, Raja Amartapura, Pandawa yang tertua
dan dikenal sangat bijaksana. Yudhistira sangat hormat kepada Dorna yang telah
menjadi gurunya. Begitu juga keempat adiknya, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Dorna dengan baik memanfaatkan keadaan ini. Ia kemudian mulai berkhutbah di
depan para pandawa dan kakak sepupunya, Batara Kresna.
Bicaralah ia “Kaum Kurawa berbuat tak jujur serta jahat kepada kaum Pandawa,
maka kerajaannya kurebut (padahal ia merebut kekuasaan Kurawa untuk kepentingan
dirinya sendiri). Suyudana tidak menurut perkataanku, maka ia kujatuhi ganjaran
setimpal dengan kelakuannya. Ia kumasukkan ke dalam penjara[9]”.
Ketika Pandawa bertanya kepadanya, apakah Astina akan diserahkan kepada mereka
sebagai orang yang berhak atas Astina, Dorna menjawab “Tidak, Sena! Kalau
Astina kuserahkan pada Pandawa tentu Kurawa tidak senang. Mereka tentu marah
dan akan merebutnya kembali. Peperangan besar tidak dapat dihindarkan.
Pertengkaran dan dendam tidak akan ada habisnya, sedangkan aku hendak menghapus
kebencian dan dendam di antara umat manusia” tuturnya penuh manipulasi.
Ia melanjutkan “ Dan untuk menjaga supaya jangan ada perang antar kaum,
bangsa dan negara, maka kekuasaan mesti dipusatkan pada satu tangan. Jangan ada
banyak negara, karena akan menimbulkan persaingan dan peperangan. Maka, aku
sebagai Raja Astina, hendak kupersatukan kerajaan-kerajaan dan negara-negara di
bawah panji-panji kekuasaanku. Supaya cita-citaku yang mulia hendak
mempersatukan seluruh umat manusia di bawah satu kekuasaan tercapai”. Ia hendak
membangun kerajaan gabungan. Jenis kerajaan gabungan juga menjadi bagian dari
nasehat Machiavelli dalam Il Principe[10].
“Dan untuk mencapai itu, pertama-tama, hendak kuminta Amartapura diserahkan
kepadaku. Bagaimana Yudhistira? Mau kau serahkan Amartapura kepadaku? Kau Bima,
maukah kau serahkan Mandalagiri kepadaku? Dan kau Nakula-Sadewa, maukah kalian
serahkan Titis Kendi dan Bumi Retawu kepadaku??[11]”.
Pada saat yang sama, di alun-alun Amartapura, tentara Wadiabala Astina telah siap dalam satu barisan yang teratur, siap
menggempur kapan saja jika titah sang Raja Astina yang baru tidak di-iyakan
oleh Pandawa. Dan ketika Batara Kresna, sang moralis membangkang perintahnya
karena tidak mau menyerahkan Dwarawati, perangpun berkobar di Amartapura. Tentara
Dorna menggempur dengan kekuatan penuh tanpa ampun. Amarta-pun hancur lebur.
Namun, kebenaran selalu menang melawan kejahatan. Itulah hukum alam.
Meskipun wadiabala Astina begitu
digdaya dan cukup membuat pasukan Pandawa kewalahan menghadapinya, namun wadiabala Astina tetap dapat dipukul
mundur oleh Pandawa dan pasukannya. Raja Tiran itu akhirnya harus mengecap
kekalahan. Ia juga dihujat rakyatnya sendiri akibat lakunya yang sangat lalim.
Kekuasaan tanpa moralitas (akhlak) tidak akan pernah bertahan lama.
Pemikiran politik Machiavelli yang menafikan moral dipengaruhi oleh keadaan
Florence pada khususnya, dan Eropa pada umumnya yang saat itu diliputi
kegelapan. Dekadensi moral, perebutan kekuasaan, problem religius dan berbagai
masalah di tengah masyarakat Eropa sangat mempengaruhi alur berpikir
Machiavelli dalam melihat kehidupan politik, sebuah dunia yang ia jalani.
Wawasan Machiavelli begitu luas, ia bukan hanya seorang negarawan alias
politikus praktis, ia juga seorang intelektual. Horison pengetahuannya sangat jauh,
melampaui batas-batas sejarah peradaban manusia. Melampaui orang-orang di
zamannya. Tapi, berdasarkan apa yang ia tulis dalam Il Principe, agaknya ada yang luput dari pengamatannya, yaitu kekuasaan
yang dijalankan di tanah seberang, Turki Utsmani.
Turki Utsmani pada masa Machiavelli hidup adalah kerajaan yang sedang
mencapai kejayaan. Wilayahnya luas, masyarakatnya makmur dan kekuatan
militernya luar biasa tangguh. Ia lahir enam belas tahun setelah penaklukan
konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453. Machiavelli
memang menyadari kekuatan militer Turki Utsmani yang tangguh. Ia bahkan
menyinggungnya dalam Il Principe
sebagai salah satu militer yang paling tangguh di dunia. Tapi Machiavelli hanya
melihat sebatas itu. Bagaimana Turki Utsmani bisa memperoleh kejayaan dan
memiliki militer yang tak terkalahkan (yang bersumber dari implementasi akhlak)
luput dari pengamatan Machiavelli. Turki Utsmani mulai mengalami kemunduran justru
setelah moralitas (akhlak) mulai diitanggalkan.
Ia tidak menyadari bahwa agama menjadi nafas dari pencapaian Turki Utsmani
yang gilang gemilang. Bahwa akhlak diimplementasikan dalam setiap sendi
kehidupan termasuk dalam pelaksanaan politik atau pemerintahan, militer, dan
perdagangan. Turki Utsmani pada waktu itu adalah contoh kongkrit bagaimana
akhlak menunjang terciptanya peradaban yang unggul dengan kehidupan yang baik
di segala lini. Seorang penguasa dengan implementasi moral sebagaimana yang
terjadi di Turki Utsmani pada masa kejayaannya, tidak perlu merasa takut akan
kehilangan kekuasaannya. Karena mereka melihat kekuasaan sekedar sebagai
fungsional bagi terciptanya kesejatheraan masyarakat. Kekuasaan adalah amanah
yang akan dimintai pertanggung jawaban sebagaimana yang dinyatakan Nabi Muhammad
SAW dan Aquinas. Rakyat mengakui kekuasaan sang raja sebagai kekuasaan yang sah
karena memiliki legitimasi moral yang kuat dan nyata. Maka, tidak ada
perlawanan dari rakyat terhadap penguasa. Rakyat merasa puas karena hidupnya
sejahtera. Sang penguasapun mendapat kemuliaan.
Jika Machiavelli sampai pada studi yang lebih mendalam tentang kehidupan
masyarakat Turki Utsmani pada waktu itu (saya mengambil contoh Turki Utsmani
karena masanya bersamaan dengan Florence pada saat Machiavelli hidup), mungkin
ia akan memahami bahwa kekuasaan, sekali-kali tidak terpisah dari moralitas.
Jika Machiavelli mempelajarinya secara objektif dan mau dengan legawa menirunya, yang terjadi mungkin
seperti apa yang terjadi tiga abad kemudian saat para restorator Meiji dengan legawa berlayar ke Barat untuk belajar
dan menemukan praktek-praktek kehidupan terbaik Barat untuk kemudian meniru dan
menciptakan kemajuan di Jepang[12].
Negara dan Kekuasaan dalam Perspektif Islam
Seorang orientalis, HAR. Gibb pernah mengatakan :
“ Islam is much more than a religious system.
It is a complete civilization”.
Artinya, Islam lebih dari sekedar sistem-sistem peribadatan. Ia adalah satu
peradaban yang lengkap dan sempurna[13].
Islam yang diturunkan sebagai din sejatinya
telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban[14].
Semua bidang kehidupan telah diatur dengan jelas dalam Islam. kekuasaan,
politik dan negara termasuk di dalamnya. Allah berfirman dalam Alqur’an “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat :
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui[15]."
Tuhan telah
menciptakan manusia dengan dua tugas. Pertama sebagai khalifah-Nya untuk
memakmurkan bumi . Dan kedua untuk beribadah hanya kepada-Nya. “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Ku[16]”.
Nabi Muhammad SAW bersabda “Setiap
dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung
jawaban dari apa yang dipimpinnya[17]”.
Kekuasaan
dalam perspektif Islam adalah amanah (tanggung jawab). Kekuasaan tidak pernah
sekali-kali berada di atas angin. Kekuasaan dalam Islam adalah suatu fungsional
dengan tujuan menciptakan kesejahteraan
hidup di dunia, dan kemenangan di akherat. Kekuasaan dalam Islam berdimensi rahmatan lil alamin.
Untuk mencapai tingkat yang mulia itu, Tuhan memberi
manusia beragam aturan. Aturan itu bersifat vertikal dan horizontal. Mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia. Dalam hubungannya
dengan sesama manusia, Tuhan telah memberikan kaidah-kaidah berkenaan dengan
hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban
masyarakat terhadap diri seseorang. Inilah yang disebut dengan urusan kenegaraan[18].
Untuk menjaga agar aturan dan kaidah-kaidah tersebut
dapat berjalan sebagaimana mestinya, harus ada kekuatan berupa kekuasaan dalam
negara. Maka kekuasaan perlu demi menegakkan aturan-aturan ilahiah tersebut. Dalam hal ini, Islam memang tidak mengatur secara
langsung bentuk negara atau pemerintahan seperti apa yang paling ideal. Maka
tidak masalah apakah negara tersebut berbentuk negara kesatuan, kerajaan, atau
apapun dengan sistem pemerintahan demokrasi, sosialis, atau apapun. Yang
terpenting adalah realisasi dari nilai-nilai Islam itu sendiri yang dijalankan
oleh seorang muslim dengan penuh kesadaran dan pengabdian kepada Rabb-Nya.
Dalam demokrasi misalnya. Demokrasi dalam Islam, menurut
M. Natsir adalah memberikan hak kepada rakyat untuk menegur, mengkritik, dan
meluruskan pemerintahan yang despotik.
Dan jika semua upaya itu tidak kunjung membawa perubahan terhadap pemerintah, maka
rakyat bisa menghilangkan kedzaliman pemerintahan itu dengan kekuatan dan
kekerasan jika dianggap perlu.
Ajaran yang dibawa Muhammad SAW berisi nilai-nilai yang
bisa dijadikan tolok ukur dalam mengatur negara sehingga negara dapat berfungsi
sebagai sarana yang dapat menciptakan kesejahteraan baik dalam kehidupan individu
maupun sosial, Al-Farabi menyebutnya Madina
Al-fadila atau negara utama[19]. Maka konsep negara tidak terpisah dari Islam. membangun negara harus
berdasarkan akhlak. Jika semua itu ditinggalkan, maka -menurut Al-Farabi- tidak
ada lagi negara utama, yang ada adalah negara jahat[20]. Mungkin fenomena inilah yang sedang terjadi di panggung perpolitikan
negara Indonesia dimana para penguasa mulai meninggalkan akhlak. Adalah tugas
generasi muda Islam untuk merekonstruksi segala kerusakan yang terjadi di
Indonesia tercinta ini.
Negara, dalam Islam, bukan merupakan tujuan, tetapi hanya
alat untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi, yaitu keridhaan Tuhan. Jadi, urusan kenegaraan pada hakekatnya adalah
satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Islam[21]. Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur dengan sempurna seluruh
sendi kehidupan termasuk di dalamnya urusan kenegaraan dan kekuasaan “Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu. Dan telah ku sempurnakan
nikmat-ku atas dirimu. Dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama bagimu”. Untuk
menegakkan Islam diperlukan usaha untuk mengatur kekuasaan dan negara dengan
cara yang baik. Karena menegakkan Islam tidak dapat dilepaskan dari menegakkan
masyarakat, menegakkan negara, dan menegakkan kemerdekaan[22].
Banyak yang salah
kaprah memahami negara Islam. Banyak yang mengira membangun negara dengan Islam
adalah dengan mendudukkan seorang khalifah di atas singgasana, dikelilingi harem-harem, menonton tarian
dayang-dayang dengan ditemani para menteri bersorban di dalam sebuah istana nan
megah. Sungguh salah besar!! Membangun negara dengan Islam bukanlah seperti
itu. Karena sesungguhnya cara-cara itu bukanlah Islam. Turki Utsmani sebelum
keruntuhannya –seperti yang distigmakan banyak orang sebagai contoh
pemerintahan Islam- bukanlah cermin pemerintahan Islam. Karena mereka, di
tengah dekadensi moralnya telah meninggalkan nilai-nilai Islam. Jadi, bukan negara seperti itu yang jadi
contoh ideal dari negara Islam.
Dalam konsep Islam, moral (akhlak) menempati peran yang
sangat penting dalam menjalankan roda kekuasaan atau pemerintahan dalam suatu
negara. Menjalankan kekuasaan bernilai ibadah. Kekuasaan tanpa moralitas adalah
sia-sia belaka. Ada contoh yang menarik tentang bagaimana kekuasaan dijalankan
dalam Islam. Suatu ketika, Abu Bakar RA sebagai khalifah, dikirimi sebuah
hadiah di dalam kotak oleh panglima yang baru pulang dari medan perang. Saat
dibuka, ternyata kotak itu berisi kepala
manusia dan sepucuk surat. Dalam surat itu dijelaskan bahwa kepala itu adalah
kepala musuh.
Abu Bakar RA tidak mau
menerima cara semacam itu. Lalu, kepada Abu Bakar mereka berkata “Wahai
khalifah, sesungguhnya mereka juga melakukan hal semacam itu kepada komandan
kami (mereka memotong dan mengirimkannya kepada raja mereka)”. Kemudian, dengan
nada penuh kemarahan, Abu Bakar menjawab “Apakah engkau akan meniru cara
tentara Persia dan Romawi? Demi Allah mulai hari ini kalian tidak boleh
melakukannya lagi. Sesungguhnya cukup bagi aku kalian mengabari lewat surat.[23]”
Begitulah, moralitas yang ditunjukkan oleh Abu Bakar RA.
Ia berkuasa tapi tidak menyalah gunakan kekuasaan yang dimilikinya. Akhlak
mulia semacam ini juga dapat dijumpai pada pribadi para penguasa yang
menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam setiap tindakannya seperti
Umar Bin Abdul Aziz, Harun Al-Rasyid, Al-Hakam, Al-Mansur, Nurrudin Mahmud,
Salahuddin Al-Ayubi, Baybars Al-Mansuri dan Al-Asraf. Para pemimpin besar yang
hari ini sudah banyak dilupakan oleh generasi muda Islam. Kemuliaan akhlak
mereka dalam menjalankan kekuasaan dilupakan.
Wajar jika generasi muda Islam kini kehilangan arah.
Bingung siapa yang hendak dijadikan teladan. Politik selalu identik dengan
kebusukan. Politik selalu dipahami sebagai sesuatu yang kotor dan harus
dijauhi. Karena tidak ada lagi bencmark
dalam dunia politik yang ideal. Yang berdengung justru nasehat-nasehat
Machiavelli. Padahal sesungguhnya, generasi Islam terdahulu sejak masa
Rasulullah SAW telah memberikan contoh dengan sangat jelas bagaimana kekuasaan
harus dijalankan sehingga menciptakan kesejahteraan bagi semua. Tapi sayang,
generasi hari ini terputus dari generasi terdahulu. Maka dari itu, adalah tugas
kita untuk menyambung kembali ikatan yang terputus itu.
Politik adalah sektor penting peradaban. Jika politik
ditinggalkan mereka yang mengenal Islam, maka secara otomatis kekuasaan akan
diisi oleh mereka yang tidak mengenal Islam. Akibatnya, Peradaban Islam tidak
akan pernah tegak berdiri. Jika umat Islam cuci
tangan dari masalah politik, dimana tanggung jawab kita terhadap Allah dan
Rasul-Nya sebagai umat manusia yang harus menegakkan kebenaran dan mencipta
kemakmuran di bumi??
Nama-nama di atas adalah teladan bagaimana seorang
penguasa yang tetap berpegang teguh pada agama dan akhlak. Bagi mereka, kekuasaan bukanlah tujuan, tapi
hanya alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Kekuasaan tidak dapat
dipisah-pisahkan dari moralitas. Keduanya padu, integral. Tujuan kekuasaan
tidak lain hanya untuk memakmurkan bumi, untuk menjalankan tugas kemanusiaan yang telah diamanahkan oleh
Allah di pundak para penguasa. Itulah
kekuasaan dalam perspektif Islam. dan itulah yang kiranya harus benar-benar
dipahami dan diimplementasikan oleh generasi muda Islam.
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS. Al-a’raf : 96)
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur : 55)
Penutup
Il Principe memang kontroversial. Tapi generasi muda Islam tidak perlu bingung melihat
Machiavelli jika mereka memahami dengan benar bagaimana konsep pilitik dalam
Islam. Memahaminya –mutlak- harus dengan
ilmu. Maka terus menerus belajar menjadi kewajiban setiap generasi Islam untuk
kemudian diimplementasikan dalam bentuk pergerakan. Sebagaimana tagline Harvard Kennedy School “Long
life learning is not longer an option, it is necessity”.
Politik dalam Islam adalah mulia. Berpolitik dengan
nilai-nilai Islam yang ditujukan hanya untuk meraih ridho-Nya adalah PR bagi
segenap generasi muda Islam yang memutuskan terjun dan berkiprah di bidang ini.
Namun semua itu harus dibangun dengan ilmu. Sehingga dengan demikian, generasi
muda Islam tidak bias identitas dan mengalami kebingungan dalam menelaah
berbagai wacana yang berkembang. Mereka juga tidak akan mudah dilibas badai
kebobrokan moral yang dewasa ini menimpa berbagai bangsa di dunia, bagai tsunami
kehidupan yang memporak-porandakan martabat bangsa.
Indonesia merindukan para pemimpin yang berwibawa secara
intelektual, anggun secara moral dan tangguh di era global. Siapkah kita
merealisasikan visi Indonesia jaya yang memimpin peradaban bukan hanya di Asia
tapi juga di dunia?? Inilah amanah di setiap pundak generasi muda Indonesia.
Let’s learn... Let’s action...!!
Pada akhirnya, Allah-lah pemilik segala kesempurnaan.
Hanya bagi-Nya segala puji.
Wallahua’lam
Bissawwab
*Disampaikan dalam Diksusi Komunitas Embun Pagi Semarang dengan tema Bedah Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli, Rabu, 20 Juni 2012. Dan diskusi rutin HMI Komisariat FTI Unissula, Kamis, 28 Juni 2012 dengan tema Diskusi Filsafat Politik dan Bedah Buku Il Principe Mahakarya Niccolo Machiavelli.
*Disampaikan dalam Diksusi Komunitas Embun Pagi Semarang dengan tema Bedah Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli, Rabu, 20 Juni 2012. Dan diskusi rutin HMI Komisariat FTI Unissula, Kamis, 28 Juni 2012 dengan tema Diskusi Filsafat Politik dan Bedah Buku Il Principe Mahakarya Niccolo Machiavelli.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-qur’an
Machiavelli, Niccolo. 2002. Il
Principe. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Magniz-Suseno, Franz. 2001. Kuasa
& Moral. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Rosidi, Ajip. 1991. Rikmadenda
Mencari Tuhan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Natsir, Mohammad. Capita Selecta.
Jakarta : Yayasan Bulan Bintang Abadi.
Pasha, Kamran. Kilatan Pedang Tuhan.
Jakarta : Penerbit Zaman
Muhammad Ash-Sahalabi, Ali. 2011. Sultan
Muhammad Al-Fatih Penakluk Konstantinopel. Solo : Pustaka Arafah
Fami Zarkasyi, Hamid. 2010. Ikhtiar
Membangun Kembali Peradaban Islam yang bermartabat. On Islamic civilization. Semarang :
Unissula Press.
Masihu Kamaluddin, Laode. Mujib El-Shirazy, Ahmad. 2011. The
Best Life. Jakarta : Ikhwah Publishing House.
Mahbubani, Kishore. 2011. The New Asian
Hemisphere-The Irresistible Shift of Global Power to The East. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Wikipedia. Org
[1] M.
Sastraprateja & Frans M. Papera, Pengantar Il Principe. Suatu Alternatif Kaidah Etika Politik
[4] Budi baik
Shalahuddin Al-Ayubi bisa diketahui dari buku-buku biografinya. Kebaikan
akhlaknya diakui baik kawan maupun lawan. Ia disebut-sebut sebagai generasi
Islam yang akhlaknya mendekati Muhammad SAW. Ex : Kilatan Pedang Tuhan karya Kamran Pasha.
[9] Machiavelli menasehatkan kepada
para penguasa agar menghukum atau menumpas habis penguasa sebelumnya beserta seluruh
kroni-kroninya. Bila perlu sampai ke keturunan-keturunannya, yang masih bayi
sekalipun. Hal ini perlu –menurutnya- untuk mengamankan kekuasaan penguasa yang
baru dari kemungkinan munculnya pemberontakan dari penguasa yang lama atau
kroni-kroninya. Jika penguasa yang lama diberi hukuman, kekuasaannya akan lebih
aman.
Dorna mengatakan seperti itu
bukan semata-mata karena niat baik. Ia hanya bersilat lidah demi memuluskan
tujuannya menguasai kerajaan-kerajaan lain. Machiavelli dalam Il Principe menasehati para penguasa
bahwa inti dari tujuannya dalam memerintah adalah mengamankan kekuasaan, bila
perlu memperluasnya. Dan upaya apapun untuk mencapainya dapat dibenarkan
meskipun harus dengan tipu muslihat. Untuk tujuan ‘mulia’ tersebut, segala cara
boleh dihalalkan. Menurutnya, Seorang raja demi kekuasaannya boleh menghasut,
menipu, mengumbar janji palsu, dan bahkan membantai jika itu dapat menunjang
kepentingan sang raja.
[12] Kishore
Mahbubani, The New Asian Hemisphere : The
Irresistible Shift of Global Power to The East, Hal 62.
[14] Hamid Fahmi
Zakasyi, On Islamic Civilization : Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam
yang Bermartabat, Hal 14.
[21] M. Natsir, Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara,
Hal 540.
[22]M. Natsir, Capita Selecta 2 : Agama dan Politik,
Hal 221-222.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar