Kamis, 28 Juni 2012

Studi Kritis Terhadap 'Il Principe' Mahakarya Niccolo Machiavelli

SURAT DARI NICCOLO MACHIAVELLI
KEPADA
YANG MULIA LORENZO DE’ MEDICI*
Sudah menjadi kebiasaan bagi orang yang ingin mengambil hati seorang penguasa untuk menghadap penguasa tersebut dengan membawa barang milik mereka yang paling berharga, atau membawa barang yang mereka ketahui akan membuat sang penguasa berkenan di hati. Karenanya kita kerap kali menyaksikan para penguasa menerima persembahan kuda, senjata, busana dari emas, intan permata, dan perhiasan-perhiasan semacam itu yang sangat cocok bagi keluhuran kedudukan seorang penguasa. Sekarang hamba ingin mempersembahkan diri hamba sendiri kepada Yang Mulia dengan membawa beberapa tanda kesetiaan dan hormat hamba kepada Yang Mulia. Tetapi hamba tidak dapat menemukan milik yang sangat hamba cintai dan yang sangat hamba hargai selain pengetahuan hamba mengenai karya-karya orang-orang besar, yang hamba peroleh setelah lama mempelajari masalah-masalah zaman sekarang dan juga menekuni dunia masa silam. Lama masalah-masalah ini hamba pelajari dan renungkan dengan penuh ketekunan, dan kini telah dirangkum dalam sebuah buku kecil, hamba persembahkan ke hadapan Paduka.
Walaupun saya berpendapat bahwa karya saya ini tidak pantas dipersembahkan ke hadapan Paduka, namun, saya yakin sepenuhnya bahwa Paduka akan berkenan menerimanya, karena saya tidak dapat mempersembahkan pemberian yang lebih berharga selain ini yang dapat membantu Paduka dalam waktu singkat memahami segala sesuatu yang telah bertahun-tahun saya pelajari dan saya pahami dengan penuh penderitaan dan bahaya. Saya memang tidak menghiasi buku ini dengan kata-kata yang memukau, atau dengan kalimat-kalimat yang memikat atau hiasan yang berlebihan seperti yang biasa digunakan banyak penulis dalam menguraikan atau menghias karya-karya yang mereka hasilkan. Saya tidak ingin buku ini dipandang istimewa, atau dianggap berkenan semata-mata karena keaneka-ragaman isinya dan pentingnya masalah yang dibahas. Saya yang berasal dari kalangan yang rendah kedudukan sosialnya, tidak ingin dianggap terlalu lancang membicarakan dan memberikan petunjuk bagaimana para raja harus memerintah; karena seperti orang-orang yang sedang melukis pemandangan, mereka akan duduk di suatu lembah untuk meneliti ciri-ciri gunung dan tanah-tanah yang berada di tempat yang tinggi, dan untuk meneliti lembah-lembah mereka akan mendaki gunung dan tanah-tanah yang berada di tempat yang tinggi, dan untuk meneliti lembah-lembah mereka akan mendaki gunung; demikian juga, untuk dapat memahami sepenuhnya sifat dan ciri rakyat, orang harus menjadi raja, dan untuk memahami sepenuhnya ciri dan sifat raja-raja, orang harus menjadi seorang warga biasa.
Karena itu, Paduka Yang Mulia, ambillah persembahan kecil ini sesuai dengan maksud buku ini saya persembahkan; dan jika Paduka membaca dan merenungkannya dengan tekun, Paduka akan menemukan dalam tulisan ini keinginan saya yang membara agar Paduka mencapai puncak kemuliaan yang datang dari kekayaan dan karya agung Paduka. Dan bila Paduka Yang Mulia berkenan memandang ke bawah dari tahta Paduka, Paduka akan melihat betapa besar kemalangan yang telah saya derita meskipun tidak saya harapkan karena kekejaman nasib ini.
_______________
*Lorenzo (1492-1519) adalah putra Piero De’ Medici dan kemenakan Giovanni De’ Medici (Leo X), yang menjadikannya sebagai adipati Urbino pada tahun 1516. Ia raja yang sedang berkuasa saat Machiavelli menyelesaikan Il Principe dan memutuskan untuk menghadiahkan kepadanya. 

*********************************************************************************************************
STUDI KRITIS TERHADAP MAHAKARYA NICCOLO MACHIAVELLI
IL PRINCIPE
Oleh : Marlis Herni Afridah*
Pendahuluan
Sejak semula, kekuasaan selalu berwajah dua : mempesona sekaligus menakutkan. Begitu tutur Franz Magnis Suseno dalam Kuasa dan Moral.  Kekuasaan selalu menjadi objek yang terus dikaji. Kajian-kajian tentang kekuasaan membawa implikasi yang jauh melampau zamannya. Membawa dunia ke arah perubahan. Sejarah mencatat seorang filosof politik, yang karyanya tentang kekuasaan telah merubah paradigma banyak penguasa dunia hingga hari ini.
Pemikirannya membawa perubahan terhadap tata dunia. Banyak para penguasa mendengar nasehat-nasehatnya. Ia adalah seorang filosof politik yang hidup pada masa renaissance di Barat, Niccolo Machiavelli yang dikenal dunia dengan masterpiece-nya Il Principe –Sang Penguasa. Sebuah mahakarya abad pertengahan yang berisi nasehat kepada para penguasa tentang seni mempertahankan kekuasaan.   
Biografi Singkat Niccolo Machiavelli
Machiavelli hidup pada tahun 1469-1527 di Florence, sebuah negara-kota di Italia yang sangat terkenal dengan kebudayaannya. Florence tampak megah dengan banyaknya bangunan gereja, biara, dan katedral sebagai lambang kebudayaan teosentris, ciri khas kebudayaan abad pertengahan. Para penguasa tertinggi negara kota itu berasal dari keluarga-keluarga aristokrat yang mengalami peningkatan status sosial karena kecipratan hasil perniagaan negara-kota Florence yang maju.
Namun demikian, sejarah politik negara-kota Florence merupakan rentetan pengalaman pasang surut  perkembangan dan perubahan hukum, undang-undang dan konstitusi negara yang berlangsung secara cepat dan drastis. Sementara itu, eksistensi Florence selalu terancam dari luar oleh serbuan pasukan militer Perancis dan Spanyol. Kota-kota di Italia selalu menjadi sasaran empuk perampokan pasukan-pasukan militer tersebut. Sebuah situasi yang tidak menyenangkan.
Kota kebudayaan Florence selalu dilanda situasi politik yang tidak stabil. Carut marut. Para bangsawan berebut kekuasaan dengan berbagai intrik politik yang melahirkan bentrokan-bentrokan politik di atas panggung kekuasaan[1]. Machiavelli hidup pada masa tersebut dalam pasang surut dinamika politik yang penuh intrik untuk saling menjatuhkan. Machiavelli adalah seorang politikus praktis. Apa yang ditulisnya dalam Il Principe adalah sekian banyak pengalaman dan pengamatannya terhadap hiruk piruk dunia politik selama hidupnya yang ia anggap bermuara pada satu cita-cita: kekuasaan.
Machiavelli muda kemudian terlibat dalam hiruk piruk dunia politik. Ia bersinggungan dengan upaya-upaya para penguasa dalam membangun dan mempertahankan kekuasaan. Ia berjaya, kemudian jatuh, berjaya lagi dan jatuh kembali. Nasib buruk yang dirasakannya setelah tersingkir dari panggung politik  mendorongnya menulis dan menghadiahkan sebuah karya kepada seorang raja yang sedang berkuasa di Florence, Lorenzo De’ Medici. Karya yang kemudian hidup hingga berabab-abad setelah kematiannya: Il Principe.
Lorenzo De’ Medici adalah seorang raja yang terkenal sangat berjasa dalam membangun kemakmuran negara-kota Florence. Ia bertindak sebagai sponsor besar pengembangan kesenian baik sastra, seni pahat, seni rupa, dan seni bangunan. Ia mengembangkan perdagangan sedemikian rupa hingga Florence bertumbuh menjadi salah satu pusat perdagangan yang maju dan diperhitungkan. Ia membuat situasi politik di Florence menjadi lebih stabil.

Pandangan Machiavelli dalam Il Principe
Il Principe berisi pembahasan beberapa pandangan Machiavelli tentang politik dan kekuasaan. Pandangannya dalam Il Principe dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu [1]realitas politik, [2]politik dan moralitas, [3]angkatan bersenjata dan patriotisme, dan [4]sikap terhadap agama.
[1]Realitas Politik
Machiavelli memahami realitas politik bertolak dari pengalamannya sebagai seorang negarawan. Dalam kedudukannya sebagai duta besar, ia sering mengunjungi negara-negara lain dan aktif dalam hubungan internasional yang menurutnya, ternyata hanya diwarnai oleh kepentingan masing-masing negara. Tidak kurang tidak lebih. Menurutnya, hubungan internasional saling memanipulasi demi kepentingan nasional masing-masing bangsa. Wajah realitas politik dapat ditemukan terutama pada profil para pemimpin bangsa dan pola manajemen yang digunakan untuk mengatur bangsanya.
Machiavelli melihat praktek politik nyata dari suatu negara pada tingkah laku penguasa dalam merebut kekuasaan dari rezim lama, yang kalau perlu menggunakan kekerasan dan kekuatan (militer) untuk mempertahankan kekuasaan. Bila ada peluang dan kesempatan, maka perlu memperluas ruang kekuasaannya ke segala bidang kehidupan bangsa dan negara untuk melanggengkan dan melestarikan kekuasaan itu sebelum kekuasaan merosot dan hancur karena muncul dan bangkitnya rezim baru yang datang kemudian.
Ia menghimbau bahwa sebaiknya para penguasa tidak menenggelamkan diri dalam mewujudkan cita-cita moral dan religius, melainkan penguasa harus secara lihai memanfaatkan situasi untuk mempertahankan kekuasaan. Ia menyarankan tindakan nyata yang harus diambil oleh para penguasa untuk mencapai –terutama- tujuan jangka pendek yang lebih urgent bagi seorang penguasa ketimbang tujuan jangka panjang yang lebih diminati golongan moralis. Jangan sampai tujuan jangka panjang yang tidak pasti merusak kepentingan jangka pendek negara yang jauh lebih pasti dan mendesak.
Machiavelli menyarankan para penguasa untuk memanfaatkan kekuatan nyata seperti legalitas konstitusional guna melancarkan aksi-aksi politik. Ia juga harus memanfaatkan bonafiditas lembaga-lembaga agama untuk membangun  opini publik bahwa ia adalah seorang penguasa pendukung moralitas. Untuk mengalihkan perhatian rakyat dari politik, seorang penguasa perlu menyediakan hiburan publik dan sarana olahraga. Menurutnya, rakyat sejatinya sangat mudah dibohongi dan dimanipulasi dukungannya melalui penampilan seorang penguasa yang menarik dan persuasif, karena rakyat hanya butuh ilusi yang kuat agar mudah diyakinkan. Dan itu tidaklah sulit.
[2]Politik dan Moralitas
Machiavelli hidup saat kehidupan religius mengalami chaos dan terjadi disintegrasi moralitas publik. Hal ini mempengaruhi pemikirannya dalam memandang kehidupan, terutama kehidupan bernegara. Baginya, yang terpenting bukanlah moral sebagai legitimasi kekuasaan, tapi bagaimana caranya agar politik dan kekuasaan bisa stabil dan lestari.

Machavelli berpendapat bahwa penguasa bukanlah personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Ia menganut semacam sinisme moral. Baginya, politik dan moralitas adalah dua hal yang terpisah dan tidak dapat disatukan. Tidak ada tempat bagi moralitas dalam politik. Yang terpenting adalah bagaimana cara meraih dan kemudian melestarikan kekuasaan. Inilah tujuan berpolitik bagi Machiavelli. Maka, segala cara untuk mencapai tujuan tersebut dapat dibenarkan.
Menurutnya, seorang penguasa boleh saja melanggar perjanjian dengan negara lain, bahkan dengan rakyatnya sendiri sejauh itu menguntungkan baginya. Dalam situasi perang, negara tidak boleh bersikap netral, melainkan harus memihak pada negara yang lebih kuat yang diperkirakan akan memenangkan peperangan. Karena ini akan menguntungkan penguasa. Sebaliknya, menurutnya tidak ada keuntungan yang didapat jika dalam situasi perang negara bersikap netral.
Machiavelli juga menekankan pentingnya oposisi dalam membangun negara yang kuat. Baginya, negara yang kuat membutuhkan oposisi yang kuat untuk menyempurnakan pola manajemen kekuasaannya. Karena baginya, tujuan akhir dari perjuangan seorang penguasa adalah kemuliaan dirinya sendiri.
[3]Angkatan Bersenjata dan Patriotisme
Pemerintahan yang baik harus dibangun di atas dasar yang kuat agar stabil. Dasar tersebut adalah sistem hukum yang baik dan angkatan bersenjata yang baik. Namun bagi Machiavelli, tidak ada sistem hukum yang baik tanpa didahului pembangunan angkatan bersenjata yang baik. Karena baginya, angkatan bersenjata yang baik akan menjamin sistem hukum yang baik pula. Negara yang tangguh adalah negara yang memiliki militer tangguh dan berdisiplin tinggi. Maka, dapat disimpulkan bahwa Machiavelli berpandangan bahwa tumpuan perjuangan politik terletak pada senjata. Senjata adalah sesuatu yang suci dalam perjuangan politik.
Untuk menjaga stabilitas keamanan negara, seorang penguasa dapat memanfaatkan jasa tentara bayaran. Namun Machiavelli sangat menekankan untuk menghindari penggunaan jasa tentara bayaran dan bantuan tentara asing karena menurutnya penggunaan jasa tentara bayaran dan bantuan tentara asing sangat berbahaya bagi eksistensi negara jika negara berada dalam keadaan darurat. Bagaimanapun tentara bayaran bekerja demi uang. Mereka tidak akan rela menukar nyawanya demi mengamankan kekuasaan seorang raja.
Machiavelli menyarankan para penguasa agar membentuk organisasi militer secara baru, dan itu harus terdiri dari orang-orang pilihan dari rakyatnya sendiri. Karena rakyat memiliki jiwa patriotisme. Semangat patriotisme yang dimiliki rakyat tidak pernah dimiliki tentara bayaran. Dengan patriotisme, kesatuan negara dapat dipelihara, dan kekuasaan dapat diamankan. Agar organisasi militer yang terbentuk bisa sejalan dengan kehendak penguasa, Machiavelli menyarankan penguasa untuk membatasi panglima militer dengan undang-undang.  Undang-undang tersebut mencegah menyimpangnya kebijakan yang dibuat panglima militer dari apa yang dikehendaki penguasa.
Untuk efektivitas terealisasinya tujuan politik, Machiavelli menyarankan penguasa untuk mengembangkan doktrin militer yang diselaraskan dengan tujuan politiknya. Ia adalah penggagas awal lahirnya praktek wajib militer yang diaplikasikan beberapa negara dewasa ini. Menurutnya, wajib militer bisa menjadi sarana yang efektif untuk melindungi negara dan mempertahankan kekuasaan dibanding tentara bayaran. Tentara yang berasal dari rakyat akan bertempur mati-matian untuk membela negara, apalagi jika mereka bisa diyakinkan dengan doktrin perjuangan bahwa pemenang perang akan menentukan nasib bangsa dan negara di masa depan. Itulah manfaat patriotisme dalam upaya melanggengkan kekuasaan sang penguasa.
[4]Sikap Terhadap Agama
Italia pada masa Machiavelli hidup adalah bangsa yang sedang mengalami kemerosotan moral. Menurut Machiavelli, kemerosotan moral berbahaya bagi masa depan Italia. Faktor utama penyebab kemerosotan moral itu adalah skandal-skandal moral yang dilakukan oleh pangeran-pangeran gereja pada masa itu yang menyebabkan terjadinya disintegrasi moral publik. Skandal-skandal dalam kehidupan gereja itu menimbulkan chaos dalam kehidupan beragama. Faktor kedua adalah interpretasi dan penghayatan kekristenan yang keliru. Selama ini Kristen ditafsirkan sebagai agama manusia yang lembut, rendah hati dan cinta akan pengorbanan. Pendek kata, Machiavelli memandang bahwa interpretasi terhadap iman Kristen hanya melahirkan orang-orang yang lemah. Machiavelli ingin mengubah interpretasi tersebut. Ia ingin agar agama bisa menunjang patriotisme. Membangkitkan kekuatan yang dapat membangkitkan vitalitas masyarakat.
Machiavelli bercita-cita akan lahirnya reformasi religius dimana agama menjadi sarana untuk meningkatkan semangat patriotisme, tak peduli apakah agama itu benar atau tidak. Idelanya agama harus bisa mendukung lembaga-lembaga publik. Lembaga-lembaga agama hanyalah sarana atau alat yang bisa digunakan dan dimanfaatkan untuk menjaga tata tertib yang berlaku.      
Studi Kritis Terhadap Il Principe
Machiavelli sering dipahami sebagai seorang pemikir yang sinis, yang hanya berkepentingan untuk mengamankan kekuasaan para penguasa. Banyak orang menganggapnya amoral.  Sebenarnya, Machiavelli mengagumi Republik Romawi Kuno yang keras dan tinggi dalam tuntutan etika politik. Ia menderita melihat politik Italia yang terombang-ambing seperti buih di lautan, dikuasai oleh negara-negara tentangganya seperti Jerman, Perancis dan Spanyol. Italia bahkan terpecah belah dalam bentuk negara-kota (polis). Ia merindukan suatu negara yang bersatu, sehat, kuat dan tidak korup. Ia mengharapkan semangat tak mau kalah dan menuntut kesigapan militer warga negara.
Machiavelli bermimpi Italia dapat bersatu dan stabil. Namun, untuk dapat mencapai tujuan tersebut, ia meyakini bahwa sang penguasa harus terlebih dahulu bisa mengamankan kekuasaannya. Maka, ia memfokuskan pandangannya pada teknik merebut dan mempertahankan kekuasaan yang mungkin dilakukan oleh seorang penguasa/raja. Baginya, cara apapun bisa dibenarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Moralitas harus ditanggalkan dari politik karena baginya menstandarkan perilaku politik pada moralitas adalah sia-sia. Baginya, yang terpenting adalah kesuksesan, dimana kekuasaan bisa direbut dan dipertahankan. Meskipun harus dengan menghalalkan segala cara.
Inilah latar belakang dari nasehat-nasehat politik yang diberikan Machiavelli dalam Il Principe. Ia berpendapat bahwa tindakan jahat seorang raja pasti akan dimaafkan oleh masyarakat asalkan sang raja bisa mencapai sukses. Kekejaman diperlukan asal digunakan dengan tepat dan bisa menjadi sarana stabilisasi kekuasaan raja. Dalam pandangannya, seorang raja lebih baik ditakuti daripada dicintai, selama dengan itu ia dapat mencapai tujuan-tujuannya. Ia menyarankan agar seorang raja tidak menepati janjinya apabila janji tersebut dapat merugikan kepentingannya. Ia juga menyarankan seorang raja agar menunjukkan diri sebagai orang yang tegas dan brutal agar tidak ada yang dengan seenaknya berani melawannya[2].
Franz Magnis Suseno dalam Kuasa dan Moral mengkritisi pemikiran politik Machiavelli. Menurutnya, ada dua hal yang dilupakan Machiavelli. Pertama, bahwa kekuasaan yang berdasarkan kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya akan rapuh. Kekuatan yang hanya berdasarkan faktor-faktor tersebut sepenuhnya hanya berasal dari kekuatan pribadi raja, sementara faktor-faktor lain di luar raja selalu bersiap untuk menyerangnya jika keadaan memungkinkan. Jika raja lengah sedikit saja, ia pasti jatuh. Kekuasaan yang hanya berdasarkan intrik tidak akan pernah stabil.
Kedua, Machiavelli tidak melihat bahwa stabilitas kekuasaan tergantung dari apakah kekuasaan dipandang sebagai sah atau tidak oleh masyarakat (legitimated). Ia memang menyadari bahwa jika seorang raja ingin kekuasaannya lestari, maka sang raja harus memenuhi harapan rakyat. Namun bukankah harapan rakyat akan selalu terus bertambah dan bertambah?? Ini akan sangat menyulitkan raja. Raja tidak mungkin dapat memenuhi semua harapan rakyat yang selalu bertambah itu. Raja akan lebih selamat jika ia memadukan kekuasaannya dengan moralitas. Jika kekuasaan raja memiliki legitimasi moral dan diakui sah oleh masyarakat secara suka rela, maka kekuasaannya akan stabil[3].  
Sejarah telah mencatat bagaimana perilaku seorang penguasa dapat memuliakan atau menghinakan dirinya. Terkadang kejahatan  memang terlihat kuat dan menonjol. Tidak jarang mereka justru memenangkan pertarungan di berbagai bidang kehidupan. Namun kemenangan tersebut toh sifatnya hanya sementara, tidak permanen. Sejarah menjadi saksi bahwa siapa yang menanam angin, dia menuai badai.
Kita dapat melihat bagaimana akhir riwayat kekuasaan para penguasa dunia yang tanpa kritis memuja dan membebek pada nasehat Machiavelli seperti Joseph Stalin (Uni Soviet), Ne Win (Birma), Radovan Karadzic (Bosnia), Ferdinand Marcos (Filipina), Yasuhiko Asaka (Jepang), Ion Antonescu (Rumania), Idi Amin (Uganda), Francois Duvalier (Haiti), Adolf Hitler (Jerman), Leopold II (Belgia), Slobodan Milosevic (Serbia), Ante Pavelic (Kroasia), Benito Mussolini (Italia), Augusto Pinochet ugarte (Chili), Pol Pot (Kambodja), dan sosok yang sangat tidak asing bagi rakyat Indonesia,  Soeharto. Mereka adalah para penguasa yang menjalankan kekuasaan dengan mengikuti nasehat politik Machiavelli yang dituangkan dalam Il Principe. Akhirnya, beberapa dari mereka dikudeta, sebagian mati terbunuh atau diasingkan dari panggung politik. Sungguh akhir yang mengenaskan bagi seorang penguasa.
Sebaliknya, para penguasa yang tetap berpegang teguh pada moralitas seperti Umar bin Abdul Aziz (682-720), Salahuddin Al-Ayubi (1138-1193), Mohammad Al-Fatih (1432-1481), Priam Raja Troy, Hayam Wuruk, dll ditulis dengan tinta emas sejarah. Rakyat mencintai mereka. Negara makmur. Pencapaian mereka membuktikan bahwa kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari moralitas (akhlak). Keduanya integral, tidak dapat dibagi-bagi. Shalahuddin Al-Ayubi dikenal kemuliaan akhlaknya oleh kawan maupun lawan[4]. Mohammad Al- Fatih tetap mengedepankan akhlak meskipun berada dalam situasi perang. Sebagai hasilnya, Konstantinopel yang sangat kokoh dapat ia taklukkan. Sebuah prestasi luar biasa dalam sejarah peradaban manusia[5]. Machiavelli bahkan mengakui kebesaran militer Turki Utsmani. Ia mengagumi tentara Turki Utsmani yang gagah perkasa. Tapi Machiavelli gagal memahami ruh dari hebatnya tentara Janisari dan Sipahi Turki Utsmani yang tidak lain adalah moralitas.
Thomas Aquinas, seorang filosof besar abad pertengahan di Eropa secara radikal menuntut legitimasi moral dalam penggunaan kekuasaan. Dalam pandangannya, kekuasaan tidak dapat membenarkan dirinya sendiri. Kekuasaan terbuka terhadap kritik dan dituntut pertanggung jawaban. Menurutnya, Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah hukum kodrat. Artinya, hidup sedemikian rupa hingga ia dapat berkembang, dapat membangun dan menemukan identitas, dapat menjadi bahagia. Hukum kodrat menuntut agar manusia hidup sesuai dengan martabatnya. Maka bagi Aquinas, hukum kodrat adalah tolok ukur legitimasi segala tindakan kekuasaan. Sehingga kebijakan penguasa dalam bentuk apapun, jika tidak sesuai dengan kodrat manusia, harus ditolak.
Menurutnya, kekuasaan hanyalah fungsional demi menciptakan kesejahteraan bagi  masing-masing orang. Jadi, kekuasaan harus diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan  masyarakat umum. Untuk memanusiakan manusia. Seorang penguasa harus bersikap adil. Jika seorang penguasa telah melenceng dan tidak mengusahakan kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya tetapi justru mencari keuntungan pribadi sebagaimana yang dinasehatkan Machiavelli dalam Il Principe, maka ia telah bertindak tidak adil dan bertentangan dari hukum kodrat. Dengan demikian –menurut Aquinas-  ia tidak layak disebut raja, tidak layak untuk diikuti[6].
Karakterisistik Machiavelis dalam politik praktis kenegaraan digambarkan dengan apik oleh Ajip Rosidi Dalam bukunya Rikmadenda Mencari Tuhan. Dikisahkan bahwa Pandita Dorna merebut Astinapura dari kekuasaan Prabu Suyudana (Kurawa) yang dahulu juga direbutnya dari Pandawa. Dorna pernah menjadi guru dari para pandawa dan kurawa. Ia terkenal licik dan suka mengadu domba Pandawa dan Kurawa hingga jadilah mereka terlibat dalam perang saudara. Setelah berhasil merebut Astinapura, ia menggelari dirinya sebagai Sang Baginda Sri Maha Prabu Catut Bawana Kemput.
Begitu kekuasaan berada dalam genggaman tangannya, yang pertama kali muncul dalam pikirannya adalah gagasan bagaimana mempertahankan Astina tetap berada dalam kekuasaannya –sekalipun sebenarnya Astina adalah hak Pandawa- dan bagaimana cara memperluas kekuasaan dengan mendirikan koloni-koloni, menyatukan kerajaan-kerajaan lain di bawah kekuasaannya[7]. Persis nasehat Machiavelli dalam Il Principe. Dorna nampaknya seorang murid yang baik. Ia dengan cerdas menyerap dan mengaplikasikan ajaran Machiavelli.
Langkah-langkah strategis kemudian diambil Dorna untuk mengokohkan kekuasaannya. Pertama, ia membangun militer yang kuat, yang dikenal dengan nama Wadiabala Astina. Pasukan militer ini sangat kuat karena terdiri dari para raksasa yang sakti luar biasa. Yang ia lakukan senada dengan nasehat Machiavelli, yaitu agar seorang penguasa membangun kekuatan militer yang tangguh . Karena menurutnya, angkatan perang merupakan harga mati yang harus dibayar seorang raja untuk mempertahankan negaranya (kekuasaannya)[8]. Selanjutnya, Dorna mengunjungi Yudhistira, Raja Amartapura, Pandawa yang tertua dan dikenal sangat bijaksana. Yudhistira sangat hormat kepada Dorna yang telah menjadi gurunya. Begitu juga keempat adiknya, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dorna dengan baik memanfaatkan keadaan ini. Ia kemudian mulai berkhutbah di depan para pandawa dan kakak sepupunya, Batara Kresna.
Bicaralah ia “Kaum Kurawa berbuat tak jujur serta jahat kepada kaum Pandawa, maka kerajaannya kurebut (padahal ia merebut kekuasaan Kurawa untuk kepentingan dirinya sendiri). Suyudana tidak menurut perkataanku, maka ia kujatuhi ganjaran setimpal dengan kelakuannya. Ia kumasukkan ke dalam penjara[9]”. Ketika Pandawa bertanya kepadanya, apakah Astina akan diserahkan kepada mereka sebagai orang yang berhak atas Astina, Dorna menjawab “Tidak, Sena! Kalau Astina kuserahkan pada Pandawa tentu Kurawa tidak senang. Mereka tentu marah dan akan merebutnya kembali. Peperangan besar tidak dapat dihindarkan. Pertengkaran dan dendam tidak akan ada habisnya, sedangkan aku hendak menghapus kebencian dan dendam di antara umat manusia” tuturnya penuh manipulasi.
Ia melanjutkan “ Dan untuk menjaga supaya jangan ada perang antar kaum, bangsa dan negara, maka kekuasaan mesti dipusatkan pada satu tangan. Jangan ada banyak negara, karena akan menimbulkan persaingan dan peperangan. Maka, aku sebagai Raja Astina, hendak kupersatukan kerajaan-kerajaan dan negara-negara di bawah panji-panji kekuasaanku. Supaya cita-citaku yang mulia hendak mempersatukan seluruh umat manusia di bawah satu kekuasaan tercapai”. Ia hendak membangun kerajaan gabungan. Jenis kerajaan gabungan juga menjadi bagian dari nasehat Machiavelli dalam Il Principe[10].
“Dan untuk mencapai itu, pertama-tama, hendak kuminta Amartapura diserahkan kepadaku. Bagaimana Yudhistira? Mau kau serahkan Amartapura kepadaku? Kau Bima, maukah kau serahkan Mandalagiri kepadaku? Dan kau Nakula-Sadewa, maukah kalian serahkan Titis Kendi dan Bumi Retawu kepadaku??[11]”. Pada saat yang sama, di alun-alun Amartapura, tentara Wadiabala Astina telah siap dalam satu barisan yang teratur, siap menggempur kapan saja jika titah sang Raja Astina yang baru tidak di-iyakan oleh Pandawa. Dan ketika Batara Kresna, sang moralis membangkang perintahnya karena tidak mau menyerahkan Dwarawati, perangpun berkobar di Amartapura. Tentara Dorna menggempur dengan kekuatan penuh tanpa ampun. Amarta-pun hancur lebur.
Namun, kebenaran selalu menang melawan kejahatan. Itulah hukum alam. Meskipun wadiabala Astina begitu digdaya dan cukup membuat pasukan Pandawa kewalahan menghadapinya, namun wadiabala Astina tetap dapat dipukul mundur oleh Pandawa dan pasukannya. Raja Tiran itu akhirnya harus mengecap kekalahan. Ia juga dihujat rakyatnya sendiri akibat lakunya yang sangat lalim. Kekuasaan tanpa moralitas (akhlak) tidak akan pernah bertahan lama.
Pemikiran politik Machiavelli yang menafikan moral dipengaruhi oleh keadaan Florence pada khususnya, dan Eropa pada umumnya yang saat itu diliputi kegelapan. Dekadensi moral, perebutan kekuasaan, problem religius dan berbagai masalah di tengah masyarakat Eropa sangat mempengaruhi alur berpikir Machiavelli dalam melihat kehidupan politik, sebuah dunia yang ia jalani.
Wawasan Machiavelli begitu luas, ia bukan hanya seorang negarawan alias politikus praktis, ia juga seorang intelektual. Horison pengetahuannya sangat jauh, melampaui batas-batas sejarah peradaban manusia. Melampaui orang-orang di zamannya. Tapi, berdasarkan apa yang ia tulis dalam Il Principe, agaknya ada yang luput dari pengamatannya, yaitu kekuasaan yang dijalankan di tanah seberang, Turki Utsmani.
Turki Utsmani pada masa Machiavelli hidup adalah kerajaan yang sedang mencapai kejayaan. Wilayahnya luas, masyarakatnya makmur dan kekuatan militernya luar biasa tangguh. Ia lahir enam belas tahun setelah penaklukan konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453. Machiavelli memang menyadari kekuatan militer Turki Utsmani yang tangguh. Ia bahkan menyinggungnya dalam Il Principe sebagai salah satu militer yang paling tangguh di dunia. Tapi Machiavelli hanya melihat sebatas itu. Bagaimana Turki Utsmani bisa memperoleh kejayaan dan memiliki militer yang tak terkalahkan (yang bersumber dari implementasi akhlak) luput dari pengamatan Machiavelli. Turki Utsmani mulai mengalami kemunduran justru setelah moralitas (akhlak) mulai diitanggalkan.
Ia tidak menyadari bahwa agama menjadi nafas dari pencapaian Turki Utsmani yang gilang gemilang. Bahwa akhlak diimplementasikan dalam setiap sendi kehidupan termasuk dalam pelaksanaan politik atau pemerintahan, militer, dan perdagangan. Turki Utsmani pada waktu itu adalah contoh kongkrit bagaimana akhlak menunjang terciptanya peradaban yang unggul dengan kehidupan yang baik di segala lini. Seorang penguasa dengan implementasi moral sebagaimana yang terjadi di Turki Utsmani pada masa kejayaannya, tidak perlu merasa takut akan kehilangan kekuasaannya. Karena mereka melihat kekuasaan sekedar sebagai fungsional bagi terciptanya kesejatheraan masyarakat. Kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban sebagaimana yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW dan Aquinas. Rakyat mengakui kekuasaan sang raja sebagai kekuasaan yang sah karena memiliki legitimasi moral yang kuat dan nyata. Maka, tidak ada perlawanan dari rakyat terhadap penguasa. Rakyat merasa puas karena hidupnya sejahtera. Sang penguasapun mendapat kemuliaan.
Jika Machiavelli sampai pada studi yang lebih mendalam tentang kehidupan masyarakat Turki Utsmani pada waktu itu (saya mengambil contoh Turki Utsmani karena masanya bersamaan dengan Florence pada saat Machiavelli hidup), mungkin ia akan memahami bahwa kekuasaan, sekali-kali tidak terpisah dari moralitas. Jika Machiavelli mempelajarinya secara objektif dan mau dengan legawa menirunya, yang terjadi mungkin seperti apa yang terjadi tiga abad kemudian saat para restorator Meiji dengan legawa berlayar ke Barat untuk belajar dan menemukan praktek-praktek kehidupan terbaik Barat untuk kemudian meniru dan menciptakan kemajuan di Jepang[12].  
Negara dan Kekuasaan dalam Perspektif Islam
Seorang orientalis, HAR. Gibb pernah mengatakan :
Islam is much more than a religious system. It is a complete civilization”.
Artinya, Islam lebih dari sekedar sistem-sistem peribadatan. Ia adalah satu peradaban yang lengkap dan sempurna[13].
Islam yang diturunkan sebagai din sejatinya telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban[14]. Semua bidang kehidupan telah diatur dengan jelas dalam Islam. kekuasaan, politik dan negara termasuk di dalamnya. Allah berfirman dalam Alqur’an “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui[15]."
Tuhan telah menciptakan manusia dengan dua tugas. Pertama sebagai khalifah-Nya untuk memakmurkan bumi . Dan kedua untuk beribadah hanya kepada-Nya. “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku[16]”.
Nabi Muhammad SAW  bersabda “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya[17]”.
Kekuasaan dalam perspektif Islam adalah amanah (tanggung jawab). Kekuasaan tidak pernah sekali-kali berada di atas angin. Kekuasaan dalam Islam adalah suatu fungsional dengan tujuan menciptakan kesejahteraan hidup di dunia, dan kemenangan di akherat. Kekuasaan dalam Islam  berdimensi rahmatan lil alamin.
Untuk mencapai tingkat yang mulia itu, Tuhan memberi manusia beragam aturan. Aturan itu bersifat vertikal dan horizontal. Mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, Tuhan telah memberikan kaidah-kaidah berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Inilah yang disebut dengan urusan kenegaraan[18].
Untuk menjaga agar aturan dan kaidah-kaidah tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya, harus ada kekuatan berupa kekuasaan dalam negara. Maka kekuasaan perlu demi menegakkan aturan-aturan ilahiah tersebut. Dalam hal ini, Islam memang tidak mengatur secara langsung bentuk negara atau pemerintahan seperti apa yang paling ideal. Maka tidak masalah apakah negara tersebut berbentuk negara kesatuan, kerajaan, atau apapun dengan sistem pemerintahan demokrasi, sosialis, atau apapun. Yang terpenting adalah realisasi dari nilai-nilai Islam itu sendiri yang dijalankan oleh seorang muslim dengan penuh kesadaran dan pengabdian kepada Rabb-Nya.
Dalam demokrasi misalnya. Demokrasi dalam Islam, menurut M. Natsir adalah memberikan hak kepada rakyat untuk menegur, mengkritik, dan meluruskan  pemerintahan yang despotik. Dan jika semua upaya itu tidak kunjung membawa perubahan terhadap pemerintah, maka rakyat bisa menghilangkan kedzaliman pemerintahan itu dengan kekuatan dan kekerasan jika dianggap perlu.
Ajaran yang dibawa Muhammad SAW berisi nilai-nilai yang bisa dijadikan tolok ukur dalam mengatur negara sehingga negara dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat menciptakan kesejahteraan baik dalam kehidupan individu maupun sosial, Al-Farabi menyebutnya Madina Al-fadila atau negara utama[19]. Maka konsep negara tidak terpisah dari Islam. membangun negara harus berdasarkan akhlak. Jika semua itu ditinggalkan, maka -menurut Al-Farabi- tidak ada lagi negara utama, yang ada adalah negara jahat[20]. Mungkin fenomena inilah yang sedang terjadi di panggung perpolitikan negara Indonesia dimana para penguasa mulai meninggalkan akhlak. Adalah tugas generasi muda Islam untuk merekonstruksi segala kerusakan yang terjadi di Indonesia tercinta ini.
Negara, dalam Islam, bukan merupakan tujuan, tetapi hanya alat  untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu keridhaan Tuhan. Jadi, urusan kenegaraan pada hakekatnya adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Islam[21]. Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur dengan sempurna seluruh sendi kehidupan termasuk di dalamnya urusan kenegaraan dan kekuasaan  “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu. Dan telah ku sempurnakan nikmat-ku atas dirimu. Dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama bagimu”. Untuk menegakkan Islam diperlukan usaha untuk mengatur kekuasaan dan negara dengan cara yang baik. Karena menegakkan Islam tidak dapat dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan negara, dan menegakkan kemerdekaan[22].
Banyak yang salah kaprah memahami negara Islam. Banyak yang mengira membangun negara dengan Islam adalah dengan mendudukkan seorang khalifah di atas singgasana, dikelilingi harem-harem, menonton tarian dayang-dayang dengan ditemani para menteri bersorban di dalam sebuah istana nan megah. Sungguh salah besar!! Membangun negara dengan Islam bukanlah seperti itu. Karena sesungguhnya cara-cara itu bukanlah Islam. Turki Utsmani sebelum keruntuhannya –seperti yang distigmakan banyak orang sebagai contoh pemerintahan Islam- bukanlah cermin pemerintahan Islam. Karena mereka, di tengah dekadensi moralnya telah meninggalkan nilai-nilai Islam.  Jadi, bukan negara seperti itu yang jadi contoh ideal dari negara Islam.
Dalam konsep Islam, moral (akhlak) menempati peran yang sangat penting dalam menjalankan roda kekuasaan atau pemerintahan dalam suatu negara. Menjalankan kekuasaan bernilai ibadah. Kekuasaan tanpa moralitas adalah sia-sia belaka. Ada contoh yang menarik tentang bagaimana kekuasaan dijalankan dalam Islam. Suatu ketika, Abu Bakar RA sebagai khalifah, dikirimi sebuah hadiah di dalam kotak oleh panglima yang baru pulang dari medan perang. Saat dibuka, ternyata kotak itu berisi  kepala manusia dan sepucuk surat. Dalam surat itu dijelaskan bahwa kepala itu adalah kepala musuh.
Abu Bakar RA tidak mau menerima cara semacam itu. Lalu, kepada Abu Bakar mereka berkata “Wahai khalifah, sesungguhnya mereka juga melakukan hal semacam itu kepada komandan kami (mereka memotong dan mengirimkannya kepada raja mereka)”. Kemudian, dengan nada penuh kemarahan, Abu Bakar menjawab “Apakah engkau akan meniru cara tentara Persia dan Romawi? Demi Allah mulai hari ini kalian tidak boleh melakukannya lagi. Sesungguhnya cukup bagi aku kalian mengabari lewat surat.[23]
Begitulah, moralitas yang ditunjukkan oleh Abu Bakar RA. Ia berkuasa tapi tidak menyalah gunakan kekuasaan yang dimilikinya. Akhlak mulia semacam ini juga dapat dijumpai pada pribadi para penguasa yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam setiap tindakannya seperti Umar Bin Abdul Aziz, Harun Al-Rasyid, Al-Hakam, Al-Mansur, Nurrudin Mahmud, Salahuddin Al-Ayubi, Baybars Al-Mansuri dan Al-Asraf. Para pemimpin besar yang hari ini sudah banyak dilupakan oleh generasi muda Islam. Kemuliaan akhlak mereka dalam menjalankan kekuasaan dilupakan.
Wajar jika generasi muda Islam kini kehilangan arah. Bingung siapa yang hendak dijadikan teladan. Politik selalu identik dengan kebusukan. Politik selalu dipahami sebagai sesuatu yang kotor dan harus dijauhi. Karena tidak ada lagi bencmark dalam dunia politik yang ideal. Yang berdengung justru nasehat-nasehat Machiavelli. Padahal sesungguhnya, generasi Islam terdahulu sejak masa Rasulullah SAW telah memberikan contoh dengan sangat jelas bagaimana kekuasaan harus dijalankan sehingga menciptakan kesejahteraan bagi semua. Tapi sayang, generasi hari ini terputus dari generasi terdahulu. Maka dari itu, adalah tugas kita untuk menyambung kembali ikatan yang terputus itu.
Politik adalah sektor penting peradaban. Jika politik ditinggalkan mereka yang mengenal Islam, maka secara otomatis kekuasaan akan diisi oleh mereka yang tidak mengenal Islam. Akibatnya, Peradaban Islam tidak akan pernah tegak berdiri. Jika umat Islam cuci tangan dari masalah politik, dimana tanggung jawab kita terhadap Allah dan Rasul-Nya sebagai umat manusia yang harus menegakkan kebenaran dan mencipta kemakmuran di bumi??
Nama-nama di atas adalah teladan bagaimana seorang penguasa yang tetap berpegang teguh pada agama dan akhlak.  Bagi mereka, kekuasaan bukanlah tujuan, tapi hanya alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Kekuasaan tidak dapat dipisah-pisahkan dari moralitas. Keduanya padu, integral. Tujuan kekuasaan tidak lain hanya untuk memakmurkan bumi, untuk menjalankan  tugas kemanusiaan yang telah diamanahkan oleh Allah di pundak para penguasa.  Itulah kekuasaan dalam perspektif Islam. dan itulah yang kiranya harus benar-benar dipahami dan diimplementasikan oleh generasi muda Islam.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-a’raf : 96)
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur : 55)
Penutup
Il Principe memang kontroversial. Tapi generasi muda Islam tidak perlu bingung melihat Machiavelli jika mereka memahami dengan benar bagaimana konsep pilitik dalam Islam.  Memahaminya –mutlak- harus dengan ilmu. Maka terus menerus belajar menjadi kewajiban setiap generasi Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam bentuk pergerakan.  Sebagaimana tagline Harvard Kennedy School “Long life learning is not longer an option, it is necessity”.
Politik dalam Islam adalah mulia. Berpolitik dengan nilai-nilai Islam yang ditujukan hanya untuk meraih ridho-Nya adalah PR bagi segenap generasi muda Islam yang memutuskan terjun dan berkiprah di bidang ini. Namun semua itu harus dibangun dengan ilmu. Sehingga dengan demikian, generasi muda Islam tidak bias identitas dan mengalami kebingungan dalam menelaah berbagai wacana yang berkembang. Mereka juga tidak akan mudah dilibas badai kebobrokan moral yang dewasa ini menimpa berbagai bangsa di dunia, bagai tsunami kehidupan yang memporak-porandakan martabat bangsa.  
Indonesia merindukan para pemimpin yang berwibawa secara intelektual, anggun secara moral dan tangguh di era global. Siapkah kita merealisasikan visi Indonesia jaya yang memimpin peradaban bukan hanya di Asia tapi juga di dunia?? Inilah amanah di setiap pundak generasi muda Indonesia. Let’s learn... Let’s action...!!
Pada akhirnya, Allah-lah pemilik segala kesempurnaan. Hanya bagi-Nya segala puji.
Wallahua’lam Bissawwab
*Disampaikan dalam Diksusi Komunitas Embun Pagi Semarang dengan tema Bedah Pemikiran  Politik Niccolo Machiavelli, Rabu, 20 Juni 2012. Dan diskusi rutin HMI Komisariat FTI Unissula, Kamis, 28 Juni 2012 dengan tema Diskusi Filsafat Politik dan Bedah Buku Il Principe Mahakarya Niccolo Machiavelli.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an
Machiavelli, Niccolo. 2002. Il Principe. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Magniz-Suseno, Franz. 2001. Kuasa & Moral. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Rosidi, Ajip. 1991. Rikmadenda Mencari Tuhan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Natsir, Mohammad. Capita Selecta. Jakarta : Yayasan Bulan Bintang Abadi.
Pasha, Kamran. Kilatan Pedang Tuhan. Jakarta : Penerbit Zaman
Muhammad Ash-Sahalabi, Ali. 2011. Sultan Muhammad Al-Fatih Penakluk Konstantinopel. Solo : Pustaka Arafah
Fami Zarkasyi, Hamid. 2010. Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang bermartabat. On Islamic civilization. Semarang : Unissula Press.
Masihu Kamaluddin, Laode. Mujib El-Shirazy, Ahmad.  2011. The Best Life. Jakarta : Ikhwah Publishing House.
Mahbubani, Kishore. 2011. The New Asian Hemisphere-The Irresistible Shift of Global Power to The East. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Wikipedia. Org


[1] M. Sastraprateja & Frans M. Papera, Pengantar Il Principe. Suatu Alternatif Kaidah Etika Politik
[2] Franz Magniz Suseno, Kuasa dan Moral, Hal 7-8.
[3] Ibid, Hal 9
[4] Budi baik Shalahuddin Al-Ayubi bisa diketahui dari buku-buku biografinya. Kebaikan akhlaknya diakui baik kawan maupun lawan. Ia disebut-sebut sebagai generasi Islam yang akhlaknya mendekati Muhammad SAW. Ex : Kilatan Pedang Tuhan karya Kamran Pasha.     
[5] DR. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Sultan Muhammad Al-Fatih Penakluk Konstantinopel, Hal 176-179.
[6]Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, hal 4-7.
[7] Il Principe, Hal 10-11.
[8] Il Principe, Hal 49.
[9] Machiavelli menasehatkan kepada para penguasa agar menghukum atau menumpas habis  penguasa sebelumnya beserta seluruh kroni-kroninya. Bila perlu sampai ke keturunan-keturunannya, yang masih bayi sekalipun. Hal ini perlu –menurutnya- untuk mengamankan kekuasaan penguasa yang baru dari kemungkinan munculnya pemberontakan dari penguasa yang lama atau kroni-kroninya. Jika penguasa yang lama diberi hukuman, kekuasaannya akan lebih aman.
[10] Il Principe. Hal 6-16.
[11] Ajip Rosidi, Rikmadenda Mencari Tuhan, Hal 99-101.
Dorna mengatakan seperti itu bukan semata-mata karena niat baik. Ia hanya bersilat lidah demi memuluskan tujuannya menguasai kerajaan-kerajaan lain. Machiavelli dalam Il Principe menasehati para penguasa bahwa inti dari tujuannya dalam memerintah adalah mengamankan kekuasaan, bila perlu memperluasnya. Dan upaya apapun untuk mencapainya dapat dibenarkan meskipun harus dengan tipu muslihat. Untuk tujuan ‘mulia’ tersebut, segala cara boleh dihalalkan. Menurutnya, Seorang raja demi kekuasaannya boleh menghasut, menipu, mengumbar janji palsu, dan bahkan membantai jika itu dapat menunjang kepentingan sang raja.
[12] Kishore Mahbubani, The New Asian Hemisphere : The Irresistible Shift of Global Power to The East, Hal 62.
[13] M. Natsir, Capita Selecta 2 : Agama dan Politik, Hal 221.
[14] Hamid Fahmi Zakasyi, On Islamic Civilization : Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang Bermartabat,  Hal 14.
[15] QS. Al-Baqarah.30
[16] QS. Ad-dzariyat.56
[17] Hadist
[18] M. Natsir, Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara,  Hal 532-533
[19] Ibid. Hal 541.
[20] Al-Farabi, Aro’ Ahla Al-Madinah
[21] M. Natsir, Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara, Hal 540.
[22]M. Natsir, Capita Selecta 2 : Agama dan Politik, Hal 221-222.
[23] Prof. Laode M. Kamaluddin & Ahmad Mujib El-Shirazy, The Best Life, Hal 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar