Beberapa waktu lalu media ramai karena Wapres Boediono
sedikit ‘terpleset’ dalam pidatonya di sebuah acara Pertemuan Takmir Masjid Indonesia
berkaitan dengan kemungkinan ‘diperhalusnya’ pengeras suara di masjid demi
kenyamanan masyarakat sekitar. Media pagi ini kembali heboh dengan ‘curhatan’
SBY dalam pidatonya yang membela partai Demokrat (PD) yang dianggapnya selalu menjadi
sasaran serangan pemberitaan-pemberitaan miring oleh media.
Dalam pidatonya beliau menyampaikan berbagai data tentang
tingkat korupsi kader-kader partai. Beliau membela PD dengan menyatakan bahwa
ada empat partai lain dengan kapasitas korupsi kadernya di atas PD (Intinya SBY ingin mengatakan bahwa PD masih lebih baik dari empat partai
tersebut). Pidato SBY tentu saja dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina
PD, namun sebagai pemangku tertinggi kebijakan RI, beliau tak bisa serta merta
bebas berbicara tanpa disorot posisinya sebagai presiden RI.
Media Indonesia-pun bereaksi terhadap pidato SBY. Pagi
ini Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV mengangkat topik ‘Kegalauan
Yudhoyono” untuk mengkritisi pidato SBY yang dianggap kekanak-kanakan. Pidato
pembelaannya dinilai kontroversial karena seolah-olah –secara tidak langsung-
SBY hendak melegitimasi praktek korupsi (walaupun sangat sedikit) dengan cara membela
PD dan kadernya yang korup dengan membeberkan data bahwa PD bukan satu-satunya
partai yang memiliki kader korup. Lebih lanjut SBY bahkan membeberkan bahwa ada
empat partai lain dengan frekuensi korupsi jauh di atas PD.
Beliau berkeberatan dan merasa bahwa PD terus-menerus
diserang media dengan berbagai pemberitaan dan kasus yang dilakukan para
kadernya. Padahal menurutnya, kebobrokan yang terjadi di tubuh PD masih ‘jauh
lebih baik’ dari pada kebobrokan yang terjadi di tubuh partai lainnya.
Media Indonesia (MI) bereaksi keras dalam Bedah Editorial
Metro TV edisi Jum’at 15 Juni 2012. Keberatan MI diaminkan oleh para komentator
yang menelfon dari berbagai penjuru Indonesia. Dalam perspektif MI, tidak selayaknya
SBY (yang juga presiden RI) berbicara demikian dalam pidatonya. Menurut MI, SBY
seolah-olah mencari pembenaran dari berbagai kebobrokan di tubuh PD dengan
membeberkan kebobrokan pihak lain. Padahal –masih menurut MI- borok di tubuh
sendiri tidak akan pernah sembuh dengan kita mengurus borok di tubuh orang
lain.
Pidato SBY dinilai bersifat kekanak-kanakan karena salah
satu karakteristik anak adalah mencari pembenaran dari kesalahannya dengan
menuding anak lain yang bersalah (seperti mencari teman untuk menanggung
kesalahan yang dilakukan olehnya). Menurut MI, dalam kapasitasnya sebagai
presiden RI, SBY tidak seharusnya bersikap sedemikian partisan. Idealnya, beliau harus mengobati ‘borok’ di tubuh partainya sendiri baru kemudian mengobati
borok ditubuh partai lain.
Adalah wajar jika PD sering disorot. Dibelahan bumi
manapun, sorotan tajam media selalu diarahkan kepada pihak yang sedang
berkuasa. Dalam ranah perpolitikan Indonesia, PD adalah salah satu partai ‘paling
berkuasa’ dimana ketua dewan pembinanya memegang jabatan tertinggi sebagai
kepala negara RI. Konon, semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin yang
berhembus menerpanya. SBY kiranya mengerti dengan sangat baik tentang hukum
alam yang satu ini. MI menyatakan bahwa SBY seharusnya memahami bahwa sorotan
publik terhadap dirinya dan PD sebagai sinyal positif mulai tumbuh suburnya demokrasi
yang dicita-citakan Indonesia.
Menurut MI, media dan publik adalah kontrol agar tidak
terjadi penyalah-gunaan kekuasaan oleh siapapun pihak yang sedang berkuasa. Hal
ini sangat lazim di negara-negara dengan praktek demokrasi terbaik di seluruh
dunia. Maka bagi MI, ‘curhat’ SBY tersebut kurang bijaksana.
Bangsa Indonesia boleh sejenak bernostalgia flashback ke masa lalu. Dalam kampanyenya
sebagai capres pra pemilu, SBY mengusung jargon “War Against Corruption”. Beliau
berjanji untuk tidak mentolerir praktek korupsi hingga sekecil-kecilnya. Beliau
berjanji sekuat hati, tenaga dan pikiran untuk melakukan perang melawan
korupsi. Dengan adanya ‘curhat’ SBY dalam pidatonya tersebut, beliau –sadar
atau tidak sadar- telah melegitimasi praktek korupsi walau dalam skala yang
sangat kecil dan halus. Pembelaannya terhadap kader-kader PD yang terlibat
korupsi dan dianggapnya “tidak seberapa” dibanding kader-kader partai lain menuai
kritik tajam. Pidato itu mungkin tidak terlalu kontroversial jika SBY bukan
presiden RI. Namun sebagai seorang presiden, pidatonya menuai kritik dan
dinilai kekanak-kanakan.
Mengobati borok di tubuh sendiri tidak dapat dilakukan dengan
–semata-mata- membeberkan borok di tubuh orang lain. Segalanya harus dimulai
dari diri sendiri dari hal yang sekecil-kecilnya. SBY harus membereskan PD
sebelum membereskan partai lain. Saya melihat bahwa senjata yang paling ampuh untuk
menyelesaikan segala bentuk ketimpangan di Indonesia adalah dengan keteladanan -di samping juga penegakan hukum yang penuh keadilan.
Bicara soal keteladanan, saya teringat dengan obrolan
ringan bersama Prof. H. Laode M. Kamaluddin, Ph.D di kantor Kedutaan Amerika
Serikat di Jakarta awal Februari lalu. Waktu itu saya bertanya, “Prof, kenapa
buat program Cerdas Sultra-ku??
Kenapa tidak Cerdas Jawa Tengah atau daerah lain di sekitar Jawa Tengah sebagai
daerah lokasi kampus kita??”. Beliau kemudian menjawab dengan enteng “Saya
aslinya dari mana?”. “Sulawesi Tenggara, Prof” Jawab saya. “Nah itu dia, saya
harus mulai program ini dari kampung saya sendiri untuk membuktikan kepada para
pemimpin daerah lain bahwa program ini adalah program bagus. Apa kata orang
kalau saya promosikan program semacam ini ke daerah lain sedang saya tidak
memulai dari daerah saya sendiri??! Apa mereka tidak akan bertanya, Lah daerahmu sendiri bagaimana?? Daerahmu
sendiri saja tidak berhasil kau rangkul masa kau ajak kami??” tutur Prof. Kata-kata
beliau waktu itu sederhana tapi sangat membekas di hati saya. Segalanya memang harus dimulai dari diri sendiri. Itu adalah bentuk keteladanan
terbaik. Itu pula cara terbaik yang mungkin bisa dilakukan SBY dalam kapasitasnya sebagai presiden RI sekaligus
Ketua Dewan Pembina PD. Beliau memiliki kapasitas yang lebih dari cukup untuk
menunjukkan keteladanan. Beliau memiliki potensi untuk mewujudkan perbaikan di
Indonesia yang kita cintai, sesungguhnya.
Contoh lain dari keteladanan dapat kita lihat dari kisah
Mahatma Gandhi. Gandhi adalah seorang tokoh yang kebijaksanaannya dikenal
sangat luas melampau batas-batas teritori negaranya yang waktu itu dilibas
kemiskinan dan derita berkepanjangan : India. Tutur kata Gandhi bak oase di
tengah gersangnya kehidupan rakyat India yang miskin dan tertindas. Ia dicintai
banyak orang. Kata-katanya didengar dan dilaksanakan dengan senang hati. Beliau
mendapat simpati luar biasa dari dunia internasional. Anak-anak maupun dewasa,
semua mencintai Gandhi.
Suatu hari seorang ibu membawa anaknya ke rumah Gandhi
setelah melalui perjalanan jauh dari satu daerah di pedalaman India. Ia
mengeluh bahwa anaknya sangat hobi makan permen dan tidak pernah mempan
dinasehati. Sang ibu khawatir jika gigi-giginya rusak akibat terlalu sering makan
permen. Berkali-kali nasehat dan gertakan sang ibu tak digubrisnya. Si anak
masih saja tak bisa lepas dari hobinya makan permen meskipun giginya terus
meranggas. Sang ibu putus asa. Ia memohon kepada Gandhi untuk menasehati si anak agar
mau berhenti makan permen. Ia sadar betul bahwa anaknya akan menurut nasehat Gandhi
tanpa tawar.
Tak disangka, Gandhi memintanya pulang ke rumah dan
mengatakan bahwa ia boleh datang lagi minggu depan bersama anaknya[1].
Sang ibupun pulang dengan rasa kecewa dan penasaran yang tak terjawab. Tapi toh
ia menurut saja permintaan Gandhi. Ia-pun pulang. Seminggu kemudian sang ibu
kembali datang ke rumah Gandhi dengan membawa serta anaknya. Setelah
menyilahkan masuk, sembari memandang sang anak dan mengelus kepalanya, Gandhi berujar
“Berhentilah makan permen nak...”. Hanya itu. Sang ibu bingung, kecewa. Jauh-jauh
ia menempuh perjalanan menemui Gandhi dan hanya mendengar nasehat sesederhana
itu. Sang ibu kemudian membawa anaknya pulang ke rumah dengan rasa tidak puas.
Apa yang kemudian terjadi?? Ajaib!!! Begitu sampai di rumah si anak berhenti dari
kebiasaannya makan permen. Berhari-hari kemudian ia tetap tidak memakan permen.
Ia benar-benar berhenti dari kebiasannya!! Si anak menuruti nasehat sederhana
dari Gandhi. Sang ibupun tak bisa berdamai dengan rasa penasaran yang
berkelebat di pikirannya. Ia kembali mengunjungi Gandhi dan bertanya, “Mengapa
Guru menunda mengatakan nasehat itu minggu kemarin jika ternyata yang hendak
guru sampaikan hanyalah sebuah nasehat sederhana semacam itu??” Gandhi menjawab
“Karena minggu lalu saya masih makan permen”. Sang ibupun pulang ke rumahnya
dengan hati penuh kekaguman terhadap pribadi Gandhi.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah seorang founding father India di atas?? Cukup
satu kata : Keteladanan. Gandhi menunda nasehatnya hanya karena beliau belum
melaksanakan apa yang hendak beliau nasehatkan. Meskipun yang hendak beliau
beri nasehat hanya seorang anak kecil yang jamak menjadi objek kebohongan orang
dewasa. Gandhi tidak menganggap remeh anak kecil. Gandhi memahami betul bahwa nasehat terbaik adalah teladan.
Keteladanan berbicara seribu kali lebih baik ketimbang kata-kata. Dalam ranah
ke-Indonesiaan dewasa ini, perang melawan korupsi bisa dilakukan dengan cara
yang sama. SBY harus lebih dahulu membersihkan kader-kadernya dari praktek korupsi
sebelum menyeru yang lain. Ia harus membersihkan rumahnya sebelum membersihkan
rumah orang lain. Bukankah akan menjadi hal yang sangat aneh bila kita membiarkan
rumah kita tetap kotor dengan alasan bahwa rumah orang lain jauh lebih kotor
dari rumah kita.
Ada kisah lain yang juga menggambarkan betapa penting
keteladanan. Pada masa tabiin
hiduplah seorang imam yang sangat dihormati oleh seluruh masyarakat. Pada masa
itu adalah hal yang sangat lazim jika seorang tuan menyiksa budaknya sesuka
hati. Melihat keadaan seperti itu, muncul dorongan dari orang-orang yang jernih
nuraninya untuk meminta sang imam mengeluarkan fatwa dalam satu kali khotbah
Jum’at agar masyarakat rela memerdekakan para budak. Mereka ingin sang
imam mengatakan pada masyarakat bahwa
memerdekakan budak adalah perbuatan yang sangat mulia dan dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Mereka yakin, jika sang imam mau mengatakannya, semua orang akan
berbondong-bondong mengikuti nasehatnya mengingat beliau adalah seorang imam yang
sangat disegani.
Sayang seribu sayang, mereka seperti menuai harapan
hampa. Sang imam tak kunjung mengabulkan permintaan mereka. Di setiap khotbah
Jum’atnya tak sekalipun beliau menyinggung soal memerdekakan budak. Mereka
geram, gemas, tak habis pikir. Mereka terus mendesak sang imam. Sang imam tetap
tak bergeming. Hingga pada minggu kelima, sang imam berkhotbah tentang
keutamaan memerdekakan budak. Masyarakatpun seketika itu langsung berbondong-bondong
memerdekakan budak-budaknya.
Orang-orang itu sangat gembira bercampur penasaran.
Merekapun bertanya “Mengapa Imam harus menunggu sampai minggu kelima untuk
mengabulkan permohonan kami??” Sang imam menjawab “Kemarin uangku belum cukup
untuk memerdekakan budak. Aku masih harus terus menabung hingga minggu kelima
uangku cukup dan aku bisa memerdekakan budak. Setelah itu barulah aku bis a
mengajak masyarakat”. Subhanallah, merekapun tercengang melihat kemuliaan
akhlak sang imam. Itulah kekuatan yang menggerakkan masyarakat mengikuti nasehatnya
: teladan. Tanpa teladan, segala nasehat hanyalah omong kosong tak berguna.
Dan satu kisah yang tak mungkin saya tinggalkan dalam
tulisan ini tentang begitu dahsyatnya kekuatan sebuah teladan. Adalah Ummu
Salamah, umu al-mu’minin yang
terkenal dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya dalam mendampingin perjuangan
Rasullullah. Suatu ketika setelah perjanjian Hudaibiyah, Nabi meminta para
sahabat dan kaum muslimin untuk menyembelih hewan kurban. Nabi harus menelan
rasa kecewa ketika ternyata tidak ada satupun yang mau melaksanakan perintah
nabi tersebut. Konon mereka masih merasa kecewa dengan adanya perjanjian
Hudaibiyah yang dianggap lebih banyak merugikan kaum muslimin. Nabi kemudian
menemui Ummu Salamah dan menceritakan bahwa tidak ada satupun orang yang mau
menyembelih hewan kurban. Sebagai seorang istri yang cerdas dan tahu persis
arti keteladanan beliau meminta nabi untuk keluar rumah, memotong hewan kurban
dan ber-tahalul. Ternyata cara ini
sangat efektif untuk mengajak kaum muslimin melakukan hal yang sama. Mereka
berbondong-bondong menyembelih kurban dan ber-tahalul setelah melihat nabi melakukannya sendiri.
Teladan : itulah hikmah dari beberapa kisah di Atas. MI
dalam Bedah Editorial Metro TV menawarkan solusi bahwa pengurus partai dan
pejabat negara harus dipisahkan. Tidak boleh ada jabatan rangkap yang membuat
seorang pemimpin negara menjadi seolah-olah bias identitas dan berakibat pada
‘kecelakaan’ seperti yang dialami SBY dalam pidatonya. Saya melihat fenomena semacam
ini bukan semata-mata disebabkan oleh masalah teknis seperti jabatan rangkap. Tidak sekedar
itu dan tidak sesederhana itu. Solusi yang ditawarkan media Indonesia mungkin
nampak efektif, tapi itu baru solusi teknis semata. Bagi saya, solusi terbaik
adalah keteladanan. Artinya reformasi karakter dan moral (akhlak) mendahului segala bentuk
reformasi teknis dalam upaya membangun kembali Indonesia tercinta.
Indonesia memiliki banyak tunas bangsa dengan kualitas
bibit unggul. Bibit unggul adalah kekayaan yang memiliki arti penting sebagai
pilar utama lahirnya kebangkitan peradaban suatu Bangsa. Prof. Laode suatu
ketika berkata demikian kepada saya. Beliau bertanya “Apa inti dari buku The New Asian Hemisphere[2]
yang kamu baca?” Saya dengan ribet menjawab bla bla bla... Ternyata pemahaman
beliau yang telah arif jauh lebih sederhana dan mengena dari pada saya yang
muda dan mungkin dihinggapi sindrom-sindrom keangkuhan tertentu layaknya
kebanyakan para intelektual muda sehingga saya tidak bisa menemukan hal
sesederhana itu sebagai inti dari keseluruhan isi buku.
Beliau berkata “Intinya ada di halaman depan tentang
orang-orang Tamil Nadu yang tersebar di seluruh penjuru dunia sebagi para
pemangku kebijakan baik pendidikan, ekonomi maupun politik. Mereka yang bukan
siapa-siapa dari salah satu kawasan paling miskin di dunia kini mengendalikan
jaringan intelektual global. Apa artinya?? Hanya satu kata : bibit unggul.
Bibit unggul adalah pilar kebangkitan peradaban. Begitu juga dalam ranah ke-Indonesia-an,
jika kau ingin bangsa ini bangkit pastikan kau dan teman-temanmu menjadi bibit
unggul. Mulailah membangun itu dari dalam pikiranmu. Tak peduli kau anak siapa
dan berasal dari mana, kalau kau unggul kau bisa membawa Indonesia jadi lebih
baik”. Saya termenung. Sesederhana itu.
Indonesia yang kini teralienasi dari jatidirinya yang
luhur sesungguhnya memiliki segalanya. Indonesia adalah surga dunia dengan kekayaan
alam yang melimpah dan manusia yang tidak kalah cerdas dengan manusia manapun
di seluruh penjuru dunia. Indonesia menyimpan potensi sangat besar bagi
kemajuan dunia di masa depan jika bibit-bibit unggul ini dipersiapkan dengan
benar untuk memimpin Indonesia di masa yang akan datang. SBY dalam essaynya Indonesia in 2045 : A Centennial Journey of
Progress di jurnal Strategic Review
edisi pertama menyatakan :
“Our
1945 generation created the nation with unwavering belief. Our leaders on
Indonesia’s 100th birthday must do the same – and more”
Bahwa para pemimpin Indonesia pada tahun 2045 akan
memiliki karakter sekuat para founding
father Indonesia di tahun 1945. Jika yang diprediksi SBY benar tentu hal
ini akan menjadi kabar gembira bagi Indonesia mengingat para founding father kita adalah orang-orang dengan
karakter yang sangat luar biasa. Hanya saja, generasi semacam itu tentu tidak
lahir dalam semalam. Generasi dengan karakter sekuat generasi 1945 pastilah
generasi yang telah ditempa dengan begitu matang sebagaimana generasi 1945
ditempa oleh pedihnya penjajahan dan penindasa. Para pemimpin yang kuat di
tahun 2045 tidak mungkin lahir hanya dengan sulap dan sihir Harry Potter.
Pemimpin Indonesia di tahun 2045 adalah mereka para generasi
muda hari ini. Jika kita merindukan para pemimpin Indonesia di tahun 2045
benar-benar sekuat para pemimpin Indonesia di tahun 1945 atau bahkan lebih,
artinya Indonesia harus fokus dengan segenap kesungguhan hati membangun
generasi muda hari ini. Generasi muda yang akan memimpin Indonesia di ulang
tahunnya ke-100 dan seterusnya. Bibit
unggul sudah banyak tersebar di seluruh penjuru nusantara. Mereka cerdas,
dinamis dan percara diri. Mereka yakin bahwa mereka bisa memperoleh kehidupan yang
lebih baik di hari depan. Tapi apa yang sangat diperlukan sebagai bekal para
bibit unggul ini?? Yang bisa dijadikan pegangan untuk mengawal langkah para
calon pemimpin Indonesia 2045 ini? Menurut saya yang terpenting adalah
pendidikan karakter dan moral (akhlak). Sehebat apapun pendidikan akal jika tidak
ditunjang dengan pendidikan karakter dan moral (akhlak) yang baik hanya akan melahirkan
mafia-mafia baru. Hanya akan melahirkan para perusak yang akan menggerogoti tubuh
bangsa Indonesia sedikit demi sedikit dengan kedok inteketualitas dan
kebijakan.
Jika Indonesia merindukan para pemimpin terbaik di masa
depan, generasi muda harus dididik sebaik-baiknya di hari ini. Siapa yang
bertanggung jawab untuk mendidik mereka??
Di luar keluarga , guru, dan lingkungan sekitar, tentu saja yang bertanggung jawab
adalah mereka para pemimpin Indonesia hari ini. Cara kepemimpinan presiden,
cara kerja Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah ke pusat dan semua yang terlibat dalam birokrasi
negeri ini, sesungguhnya adalah contoh dan 'pendidikan' yang mereka berikan kepada generasi
muda negeri ini -sadar atau tidak sadar. Sikap mereka dalam mengelola negara
terus ‘ditonton’ oleh generasi muda yang akan menjadi para pemimpin di masa
depan. Apa yang mereka lihat menentukan bagaimana cara mereka mengendalikan
kepemimpinan kelak di masanya. Itulah mengapa keteladanan begitu penting. Bukan
hanya bagi Indonesia hari ini, tapi juga untuk Indonesia di masa depan.
Indonesia harus berbenah dari sekarang untuk menjemput
hari depan yang lebih baik. Indonesia harus secara masif mengambil peran untuk
ikut aktif memperbaiki kehidupan global dengan memulai memperbaiki dirinya
sendiri di segala bidang. Indonesia harus mempersiapkan para pemimpin terbaik
di masa depan dengan sebaik-baik teladan dari kepemimpinan hari ini.
Tulisan ini sama sekali tidak mengandung muatan politis
atau sentimen tertentu terhadap SBY atau PD yang dipimpinnya. Tulisan ini juga
tidak bermaksud membela MI sebagai media yang mengkritik tajam pidato pembelaan
SBY terhadap partainya dan praktek korupsi yang dilakukan kader-kadernya.
Tulisan ini hanya berarti bahwa para pemimpin Indonesia hari ini harus
benar-benar sadar arti penting peran mereka bagi Indonesia di masa depan. Mereka
harus membela kepentingan bangsa di atas segala kepentingan golongan. Apa yang
mereka lakukan sekarang menentukan tata Indonesia dan berpengaruh terhadap apa
yang akan dilakukan para pemimpin di masa depan. Maka dari itu, keteladanan
adalah praktek terbaik yang tidak dapat ditawar. Dan itu harus dimulai oleh
para pemimpin bangsa ini hingga ke lingkup sekecil-kecilnya.
Wallahua’lam Bissawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar