Senin, 18 Juni 2012

Dilema Indonesia


Media kembali ramai. Setelah berbagai fenomena ‘menarik’ silih berganti mewarnai kehidupan masyarakat di negeri Indonesia tercinta, pagi ini kita kembali disuguhi sebuah drama menarik dari nadi utama kehidupan bangsa, pemimpin tertinggi Republik Indonesia (RI). Susilo Bambang Yudhoyono.
Beberapa waktu lalu media ramai karena Wapres Boediono sedikit ‘terpleset’ dalam pidatonya di sebuah acara Pertemuan Takmir Masjid Indonesia berkaitan dengan kemungkinan ‘diperhalusnya’ pengeras suara di masjid demi kenyamanan masyarakat sekitar. Media pagi ini kembali heboh dengan ‘curhatan’ SBY dalam pidatonya yang membela partai Demokrat (PD)  yang dianggapnya selalu menjadi sasaran serangan pemberitaan-pemberitaan miring oleh media.
Dalam pidatonya beliau menyampaikan berbagai data tentang tingkat korupsi kader-kader partai. Beliau membela PD dengan menyatakan bahwa ada empat partai lain dengan kapasitas korupsi kadernya di atas PD (Intinya SBY ingin mengatakan bahwa PD masih lebih baik dari empat partai tersebut). Pidato SBY tentu saja dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina PD, namun sebagai pemangku tertinggi kebijakan RI, beliau tak bisa serta merta bebas berbicara tanpa disorot posisinya sebagai presiden RI.
Media Indonesia-pun bereaksi terhadap pidato SBY. Pagi ini Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV mengangkat topik ‘Kegalauan Yudhoyono” untuk mengkritisi pidato SBY yang dianggap kekanak-kanakan. Pidato pembelaannya dinilai kontroversial karena seolah-olah –secara tidak langsung- SBY hendak melegitimasi praktek korupsi (walaupun sangat sedikit) dengan cara membela PD dan kadernya yang korup dengan membeberkan data bahwa PD bukan satu-satunya partai yang memiliki kader korup. Lebih lanjut SBY bahkan membeberkan bahwa ada empat partai lain dengan frekuensi korupsi jauh di atas PD.
Beliau berkeberatan dan merasa bahwa PD terus-menerus diserang media dengan berbagai pemberitaan dan kasus yang dilakukan para kadernya. Padahal menurutnya, kebobrokan yang terjadi di tubuh PD masih ‘jauh lebih baik’ dari pada kebobrokan yang terjadi di tubuh partai lainnya.
Media Indonesia (MI) bereaksi keras dalam Bedah Editorial Metro TV edisi Jum’at 15 Juni 2012. Keberatan MI diaminkan oleh para komentator yang menelfon dari berbagai penjuru Indonesia. Dalam perspektif MI, tidak selayaknya SBY (yang juga presiden RI) berbicara demikian dalam pidatonya. Menurut MI, SBY seolah-olah mencari pembenaran dari berbagai kebobrokan di tubuh PD dengan membeberkan kebobrokan pihak lain. Padahal –masih menurut MI- borok di tubuh sendiri tidak akan pernah sembuh dengan kita mengurus borok di tubuh orang lain.
Pidato SBY dinilai bersifat kekanak-kanakan karena salah satu karakteristik anak adalah mencari pembenaran dari kesalahannya dengan menuding anak lain yang bersalah (seperti mencari teman untuk menanggung kesalahan yang dilakukan olehnya). Menurut MI, dalam kapasitasnya sebagai presiden RI, SBY tidak seharusnya bersikap sedemikian partisan. Idealnya, beliau harus mengobati ‘borok’ di tubuh partainya sendiri baru kemudian mengobati borok ditubuh partai lain.
Adalah wajar jika PD sering disorot. Dibelahan bumi manapun, sorotan tajam media selalu diarahkan kepada pihak yang sedang berkuasa. Dalam ranah perpolitikan Indonesia, PD adalah salah satu partai ‘paling berkuasa’ dimana ketua dewan pembinanya memegang jabatan tertinggi sebagai kepala negara RI. Konon, semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin yang berhembus menerpanya. SBY kiranya mengerti dengan sangat baik tentang hukum alam yang satu ini. MI menyatakan bahwa SBY seharusnya memahami bahwa sorotan publik terhadap dirinya dan PD sebagai sinyal positif mulai tumbuh suburnya demokrasi yang dicita-citakan Indonesia.

Menurut MI, media dan publik adalah kontrol agar tidak terjadi penyalah-gunaan kekuasaan oleh siapapun pihak yang sedang berkuasa. Hal ini sangat lazim di negara-negara dengan praktek demokrasi terbaik di seluruh dunia. Maka bagi MI, ‘curhat’ SBY tersebut kurang bijaksana.
Bangsa Indonesia boleh sejenak bernostalgia flashback ke masa lalu. Dalam kampanyenya sebagai capres pra pemilu, SBY mengusung jargon “War Against Corruption”.  Beliau berjanji untuk tidak mentolerir praktek korupsi hingga sekecil-kecilnya. Beliau berjanji sekuat hati, tenaga dan pikiran untuk melakukan perang melawan korupsi. Dengan adanya ‘curhat’ SBY dalam pidatonya tersebut, beliau –sadar atau tidak sadar- telah melegitimasi praktek korupsi walau dalam skala yang sangat kecil dan halus. Pembelaannya terhadap kader-kader PD yang terlibat korupsi dan dianggapnya “tidak seberapa” dibanding kader-kader partai lain menuai kritik tajam. Pidato itu mungkin tidak terlalu kontroversial jika SBY bukan presiden RI. Namun sebagai seorang presiden, pidatonya menuai kritik dan dinilai kekanak-kanakan.
Mengobati borok di tubuh sendiri tidak dapat dilakukan dengan –semata-mata- membeberkan borok di tubuh orang lain. Segalanya harus dimulai dari diri sendiri dari hal yang sekecil-kecilnya. SBY harus membereskan PD sebelum membereskan partai lain. Saya melihat bahwa senjata yang paling ampuh untuk menyelesaikan segala bentuk ketimpangan di Indonesia adalah dengan keteladanan -di samping juga penegakan hukum yang penuh keadilan.
Bicara soal keteladanan, saya teringat dengan obrolan ringan bersama Prof. H. Laode M. Kamaluddin, Ph.D di kantor Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta awal Februari lalu. Waktu itu saya bertanya, “Prof, kenapa buat program Cerdas Sultra-ku?? Kenapa tidak Cerdas Jawa Tengah atau daerah lain di sekitar Jawa Tengah sebagai daerah lokasi kampus kita??”. Beliau kemudian menjawab dengan enteng “Saya aslinya dari mana?”. “Sulawesi Tenggara, Prof” Jawab saya. “Nah itu dia, saya harus mulai program ini dari kampung saya sendiri untuk membuktikan kepada para pemimpin daerah lain bahwa program ini adalah program bagus. Apa kata orang kalau saya promosikan program semacam ini ke daerah lain sedang saya tidak memulai dari daerah saya sendiri??! Apa mereka tidak akan bertanya, Lah daerahmu sendiri bagaimana?? Daerahmu sendiri saja tidak berhasil kau rangkul masa kau ajak kami??” tutur Prof. Kata-kata beliau waktu itu sederhana tapi sangat membekas di hati saya. Segalanya memang harus dimulai dari diri sendiri. Itu adalah bentuk keteladanan terbaik. Itu pula cara terbaik yang mungkin bisa dilakukan SBY  dalam kapasitasnya sebagai presiden RI sekaligus Ketua Dewan Pembina PD. Beliau memiliki kapasitas yang lebih dari cukup untuk menunjukkan keteladanan. Beliau memiliki potensi untuk mewujudkan perbaikan di Indonesia yang kita cintai, sesungguhnya.    
Contoh lain dari keteladanan dapat kita lihat dari kisah Mahatma Gandhi. Gandhi adalah seorang tokoh yang kebijaksanaannya dikenal sangat luas melampau batas-batas teritori negaranya yang waktu itu dilibas kemiskinan dan derita berkepanjangan : India. Tutur kata Gandhi bak oase di tengah gersangnya kehidupan rakyat India yang miskin dan tertindas. Ia dicintai banyak orang. Kata-katanya didengar dan dilaksanakan dengan senang hati. Beliau mendapat simpati luar biasa dari dunia internasional. Anak-anak maupun dewasa, semua mencintai Gandhi.
Suatu hari seorang ibu membawa anaknya ke rumah Gandhi setelah melalui perjalanan jauh dari satu daerah di pedalaman India. Ia mengeluh bahwa anaknya sangat hobi makan permen dan tidak pernah mempan dinasehati. Sang ibu khawatir jika gigi-giginya rusak akibat terlalu sering makan permen. Berkali-kali nasehat dan gertakan sang ibu tak digubrisnya. Si anak masih saja tak bisa lepas dari hobinya makan permen meskipun giginya terus meranggas. Sang ibu putus asa. Ia memohon  kepada Gandhi untuk menasehati si anak agar mau berhenti makan permen. Ia sadar betul bahwa anaknya akan menurut nasehat Gandhi tanpa tawar.
Tak disangka, Gandhi memintanya pulang ke rumah dan mengatakan bahwa ia boleh datang lagi minggu depan bersama anaknya[1]. Sang ibupun pulang dengan rasa kecewa dan penasaran yang tak terjawab. Tapi toh ia menurut saja permintaan Gandhi. Ia-pun pulang. Seminggu kemudian sang ibu kembali datang ke rumah Gandhi dengan membawa serta anaknya. Setelah menyilahkan masuk, sembari memandang sang anak dan mengelus kepalanya, Gandhi berujar “Berhentilah makan permen nak...”. Hanya itu. Sang ibu bingung, kecewa. Jauh-jauh ia menempuh perjalanan menemui Gandhi dan hanya mendengar nasehat sesederhana itu. Sang ibu kemudian membawa anaknya pulang ke rumah dengan rasa tidak puas.
Apa yang kemudian terjadi?? Ajaib!!! Begitu sampai di rumah si anak berhenti dari kebiasaannya makan permen. Berhari-hari kemudian ia tetap tidak memakan permen. Ia benar-benar berhenti dari kebiasannya!! Si anak menuruti nasehat sederhana dari Gandhi. Sang ibupun tak bisa berdamai dengan rasa penasaran yang berkelebat di pikirannya. Ia kembali mengunjungi Gandhi dan bertanya, “Mengapa Guru menunda mengatakan nasehat itu minggu kemarin jika ternyata yang hendak guru sampaikan hanyalah sebuah nasehat sederhana semacam itu??” Gandhi menjawab “Karena minggu lalu saya masih makan permen”. Sang ibupun pulang ke rumahnya dengan hati penuh kekaguman terhadap pribadi Gandhi.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah seorang founding father India di atas?? Cukup satu kata : Keteladanan. Gandhi menunda nasehatnya hanya karena beliau belum melaksanakan apa yang hendak beliau nasehatkan. Meskipun yang hendak beliau beri nasehat hanya seorang anak kecil yang jamak menjadi objek kebohongan orang dewasa. Gandhi tidak menganggap remeh anak kecil. Gandhi memahami betul bahwa nasehat terbaik adalah teladan. Keteladanan berbicara seribu kali lebih baik ketimbang kata-kata. Dalam ranah ke-Indonesiaan dewasa ini, perang melawan korupsi bisa dilakukan dengan cara yang sama. SBY harus lebih dahulu membersihkan kader-kadernya dari praktek korupsi sebelum menyeru yang lain. Ia harus membersihkan rumahnya sebelum membersihkan rumah orang lain. Bukankah akan menjadi hal yang sangat aneh bila kita membiarkan rumah kita tetap kotor dengan alasan bahwa rumah orang lain jauh lebih kotor dari rumah kita.
Ada kisah lain yang juga menggambarkan betapa penting keteladanan. Pada masa tabiin hiduplah seorang imam yang sangat dihormati oleh seluruh masyarakat. Pada masa itu adalah hal yang sangat lazim jika seorang tuan menyiksa budaknya sesuka hati. Melihat keadaan seperti itu, muncul dorongan dari orang-orang yang jernih nuraninya untuk meminta sang imam mengeluarkan fatwa dalam satu kali khotbah Jum’at agar masyarakat rela memerdekakan para budak. Mereka ingin sang imam  mengatakan pada masyarakat bahwa memerdekakan budak adalah perbuatan yang sangat mulia dan dicintai Allah dan Rasul-Nya. Mereka yakin, jika sang imam mau mengatakannya, semua orang akan berbondong-bondong mengikuti nasehatnya mengingat beliau adalah seorang imam yang sangat disegani.
Sayang seribu sayang, mereka seperti menuai harapan hampa. Sang imam tak kunjung mengabulkan permintaan mereka. Di setiap khotbah Jum’atnya tak sekalipun beliau menyinggung soal memerdekakan budak. Mereka geram, gemas, tak habis pikir. Mereka terus mendesak sang imam. Sang imam tetap tak bergeming. Hingga pada minggu kelima, sang imam berkhotbah tentang keutamaan memerdekakan budak. Masyarakatpun seketika itu langsung berbondong-bondong memerdekakan budak-budaknya.
Orang-orang itu sangat gembira bercampur penasaran. Merekapun bertanya “Mengapa Imam harus menunggu sampai minggu kelima untuk mengabulkan permohonan kami??” Sang imam menjawab “Kemarin uangku belum cukup untuk memerdekakan budak. Aku masih harus terus menabung hingga minggu kelima uangku cukup dan aku bisa memerdekakan budak. Setelah itu barulah aku bis a mengajak masyarakat”. Subhanallah, merekapun tercengang melihat kemuliaan akhlak sang imam. Itulah kekuatan yang menggerakkan masyarakat mengikuti nasehatnya : teladan. Tanpa teladan, segala nasehat hanyalah omong kosong tak berguna.
Dan satu kisah yang tak mungkin saya tinggalkan dalam tulisan ini tentang begitu dahsyatnya kekuatan sebuah teladan. Adalah Ummu Salamah, umu al-mu’minin yang terkenal dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya dalam mendampingin perjuangan Rasullullah. Suatu ketika setelah perjanjian Hudaibiyah, Nabi meminta para sahabat dan kaum muslimin untuk menyembelih hewan kurban. Nabi harus menelan rasa kecewa ketika ternyata tidak ada satupun yang mau melaksanakan perintah nabi tersebut. Konon mereka masih merasa kecewa dengan adanya perjanjian Hudaibiyah yang dianggap lebih banyak merugikan kaum muslimin. Nabi kemudian menemui Ummu Salamah dan menceritakan bahwa tidak ada satupun orang yang mau menyembelih hewan kurban. Sebagai seorang istri yang cerdas dan tahu persis arti keteladanan beliau meminta nabi untuk keluar rumah, memotong hewan kurban dan ber-tahalul. Ternyata cara ini sangat efektif untuk mengajak kaum muslimin melakukan hal yang sama. Mereka berbondong-bondong menyembelih kurban dan ber-tahalul setelah melihat nabi melakukannya sendiri.
Teladan : itulah hikmah dari beberapa kisah di Atas. MI dalam Bedah Editorial Metro TV menawarkan solusi bahwa pengurus partai dan pejabat negara harus dipisahkan. Tidak boleh ada jabatan rangkap yang membuat seorang pemimpin negara menjadi seolah-olah bias identitas dan berakibat pada ‘kecelakaan’ seperti yang dialami SBY dalam pidatonya. Saya melihat fenomena semacam ini bukan semata-mata disebabkan oleh masalah teknis seperti jabatan rangkap. Tidak sekedar itu dan tidak sesederhana itu. Solusi yang ditawarkan media Indonesia mungkin nampak efektif, tapi itu baru solusi  teknis semata. Bagi saya, solusi terbaik adalah keteladanan. Artinya reformasi karakter dan moral (akhlak) mendahului segala bentuk reformasi teknis dalam upaya membangun kembali Indonesia tercinta.
Indonesia memiliki banyak tunas bangsa dengan kualitas bibit unggul. Bibit unggul adalah kekayaan yang memiliki arti penting sebagai pilar utama lahirnya kebangkitan peradaban suatu Bangsa. Prof. Laode suatu ketika berkata demikian kepada saya. Beliau bertanya “Apa inti dari buku The New Asian Hemisphere[2] yang kamu baca?” Saya dengan ribet menjawab bla bla bla... Ternyata pemahaman beliau yang telah arif jauh lebih sederhana dan mengena dari pada saya yang muda dan mungkin dihinggapi sindrom-sindrom keangkuhan tertentu layaknya kebanyakan para intelektual muda sehingga saya tidak bisa menemukan hal sesederhana itu sebagai inti dari keseluruhan isi buku.
Beliau berkata “Intinya ada di halaman depan tentang orang-orang Tamil Nadu yang tersebar di seluruh penjuru dunia sebagi para pemangku kebijakan baik pendidikan, ekonomi maupun politik. Mereka yang bukan siapa-siapa dari salah satu kawasan paling miskin di dunia kini mengendalikan jaringan intelektual global. Apa artinya?? Hanya satu kata : bibit unggul. Bibit unggul adalah pilar kebangkitan peradaban. Begitu juga dalam ranah ke-Indonesia-an, jika kau ingin bangsa ini bangkit pastikan kau dan teman-temanmu menjadi bibit unggul. Mulailah membangun itu dari dalam pikiranmu. Tak peduli kau anak siapa dan berasal dari mana, kalau kau unggul kau bisa membawa Indonesia jadi lebih baik”. Saya termenung. Sesederhana itu.
Indonesia yang kini teralienasi dari jatidirinya yang luhur sesungguhnya memiliki segalanya. Indonesia adalah surga dunia dengan kekayaan alam yang melimpah dan manusia yang tidak kalah cerdas dengan manusia manapun di seluruh penjuru dunia. Indonesia menyimpan potensi sangat besar bagi kemajuan dunia di masa depan jika bibit-bibit unggul ini dipersiapkan dengan benar untuk memimpin Indonesia di masa yang akan datang. SBY dalam essaynya Indonesia in 2045 : A Centennial Journey of Progress di jurnal Strategic Review edisi pertama menyatakan :
“Our 1945 generation created the nation with unwavering belief. Our leaders on Indonesia’s 100th birthday must do the same – and more”
Bahwa para pemimpin Indonesia pada tahun 2045 akan memiliki karakter sekuat para founding father Indonesia di tahun 1945. Jika yang diprediksi SBY benar tentu hal ini akan menjadi kabar gembira bagi Indonesia mengingat para founding father kita adalah orang-orang dengan karakter yang sangat luar biasa. Hanya saja, generasi semacam itu tentu tidak lahir dalam semalam. Generasi dengan karakter sekuat generasi 1945 pastilah generasi yang telah ditempa dengan begitu matang sebagaimana generasi 1945 ditempa oleh pedihnya penjajahan dan penindasa. Para pemimpin yang kuat di tahun 2045 tidak mungkin lahir hanya dengan sulap dan sihir Harry Potter.
Pemimpin Indonesia di tahun 2045 adalah mereka para generasi muda hari ini. Jika kita merindukan para pemimpin Indonesia di tahun 2045 benar-benar sekuat para pemimpin Indonesia di tahun 1945 atau bahkan lebih, artinya Indonesia harus fokus dengan segenap kesungguhan hati membangun generasi muda hari ini. Generasi muda yang akan memimpin Indonesia di ulang tahunnya ke-100 dan seterusnya.  Bibit unggul sudah banyak tersebar di seluruh penjuru nusantara. Mereka cerdas, dinamis dan percara diri. Mereka yakin bahwa mereka bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik di hari depan. Tapi apa yang sangat diperlukan sebagai bekal para bibit unggul ini?? Yang bisa dijadikan pegangan untuk mengawal langkah para calon pemimpin Indonesia 2045 ini? Menurut saya yang terpenting adalah pendidikan karakter dan moral (akhlak). Sehebat apapun pendidikan akal jika tidak ditunjang dengan pendidikan karakter dan moral (akhlak) yang baik hanya akan melahirkan mafia-mafia baru. Hanya akan melahirkan para perusak yang akan menggerogoti tubuh bangsa Indonesia sedikit demi sedikit dengan kedok inteketualitas dan kebijakan.
Jika Indonesia merindukan para pemimpin terbaik di masa depan, generasi muda harus dididik sebaik-baiknya di hari ini. Siapa yang bertanggung jawab untuk  mendidik mereka?? Di luar keluarga , guru, dan lingkungan sekitar, tentu saja yang bertanggung jawab adalah mereka para pemimpin Indonesia hari ini. Cara kepemimpinan presiden, cara kerja Dewan Perwakilan Rakyat  dari daerah ke pusat dan semua yang terlibat dalam birokrasi negeri ini, sesungguhnya adalah contoh dan  'pendidikan' yang mereka berikan kepada generasi muda negeri ini -sadar atau tidak sadar. Sikap mereka dalam mengelola negara terus ‘ditonton’ oleh generasi muda yang akan menjadi para pemimpin di masa depan. Apa yang mereka lihat menentukan bagaimana cara mereka mengendalikan kepemimpinan kelak di masanya. Itulah mengapa keteladanan begitu penting. Bukan hanya bagi Indonesia hari ini, tapi juga untuk Indonesia di masa depan.
Indonesia harus berbenah dari sekarang untuk menjemput hari depan yang lebih baik. Indonesia harus secara masif mengambil peran untuk ikut aktif memperbaiki kehidupan global dengan memulai memperbaiki dirinya sendiri di segala bidang. Indonesia harus mempersiapkan para pemimpin terbaik di masa depan dengan sebaik-baik teladan dari kepemimpinan hari ini.
Tulisan ini sama sekali tidak mengandung muatan politis atau sentimen tertentu terhadap SBY atau PD yang dipimpinnya. Tulisan ini juga tidak bermaksud membela MI sebagai media yang mengkritik tajam pidato pembelaan SBY terhadap partainya dan praktek korupsi yang dilakukan kader-kadernya. Tulisan ini hanya berarti bahwa para pemimpin Indonesia hari ini harus benar-benar sadar arti penting peran mereka bagi Indonesia di masa depan. Mereka harus membela kepentingan bangsa di atas segala kepentingan golongan. Apa yang mereka lakukan sekarang menentukan tata Indonesia dan berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan para pemimpin di masa depan. Maka dari itu, keteladanan adalah praktek terbaik yang tidak dapat ditawar. Dan itu harus dimulai oleh para pemimpin bangsa ini hingga ke lingkup sekecil-kecilnya.  
Wallahua’lam Bissawwab.    


[1] Waktu dalam kisah ini kontroversif. Ada yang mengisahkan satu minggu, 3 bulan, dll.
[2] The New Asian Hemisphere karya Kishore Mahbubani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar