Selasa, 10 Juli 2012

Teknologi Informasi & Kebangkitan Peradaban

TEKNOLOGI INFORMASI DAN KEBANGKITAN PERADABAN
STUDI KASUS DI ASIA : KOREA SELATAN DAN INDIA
 Oleh : Marlis Herni Afridah*
 
Pulau Jeju - Objek wisata di Korea Selatan
Banyak orang sekarang menganggap Korea Selatan sebagai masyarakat modern yang berhasil. Tapi beberapa orang sadar akan skala kemiskinan yang dipikulnya 50 tahun silam. Dalam bukunya The Korean, Michael Breen, menggambarkan percakapan seorang mahasiswa asing dengan mahasiswa Korea di tahun 1980-an : “Tidak banyak orang asing di kampus ini dan orang selalu bertanya padaku dari mana aku datang dan apa yang sedang aku pelajari. Jawabku ‘aku sedang mempelajari pemikiran Korea’ dan mereka memberi saya sebuah gambar teka-teki dan berkata ‘tapi kami tidak punya otak.’”[1]   
Itu Korea tempo dulu. Korea selatan hari ini memiliki wajah yang berbeda dengan cita-cita yang meyakinkan untuk menyambut kebangkitan peradaban yang gemilang. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa Korea Selatan menaikkkan dana riset dari 9,8 Milliar dolar AS di tahun 1994 menjadi 19,4 milliar dolar AS di tahun 2004. Pengucuran dana sebesar ini praktis menarik pulang banyak peneliti Asia berpengalaman yang selama ini bekerja di Barat, dimana dana untuk sains disana mulai mengalami stagnasi bahkan merosot. Korea Selatan kini menjadi bintang dalam pentas kemajuan teknologi dunia dengan salah satu icon-nya Digital Multimedia Broadcasting (DMB).
Dorongan sains dan teknologi telah memberikan hasil nyata bagi perkembangan ekonomi –sebagai salah satu pilar penting peradaban- negara-negara Asia : Andilnya dalam ekspor produk-produk high-tech global naik dari 7% di tahun 1980 menjadi 25% di tahun 2001 sementara AS turun dari 31% menjadi 18%, menurut US National Science Foundation.
Di saat yang sama, jurnal-jurnal ilmiah dari Asia yang dipublikasikan naik dari 16% di tahun 1990 menjadi 25% di tahun 2004[2]. Charles Leadbeater of Demos, lembaga pengkajian (think tank) yang berbasis di London, pernah mengorganisir sebuah konferensi internasional dengan tren sains dan teknologi global pada 2007, mengatakan “Keunggulan AS dan Eropa dalam inovasi berbasis-sains tidak dapat lagi diterima begitu saja. Barangkali terlalu pagi untuk mengatakan betapa cepatnya semua ini berubah, sebab pusat gravitasi untuk inovasi teknologi mulai bergeser dari Barat ke Timur”.
Indian Institute of Technology - Delhi India
Ledakan sains dan teknologi (Terutama teknologi informasi) di Asia tak lepas dari keputusan visioner yang dibuat India beberapa dekade lalu. Perdana menteri pertama India, Jawaharlal Nehru adalah sosok pemimpin yang karismatik dan brilian, yang mendorong pertama kali pendirian Indian Institute of Technology (IIT) di Kharagpur dekat Calcutta tahun 1951. Kemudian menyusul 6 lembaga IIT di Mumbai, Chennai, Kanpur, New Delhi, Guwahati, dan Rourkee. Izin masuk IIT semata-mata berdasarkan prestasi akademik. Dan terbentuklah kelompok anak muda yang sangat berbakat di India (1 dari 50 pelamar diizinkan masuk ke salah satu dari 5 IIT itu). Hal ini meyakinkan bahwa IIT telah melakukan rekrutmen terbaik di dunia yang mengumpulkan otak-otak cemerlang dari berbagai penjuru.
Ujian di IIT adalah salah satu ujian yang paling banyak menuntut di India. Di tahun 2002, ketika Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang merupakan lembaga paling bergengsi di AS, meloloskan 10,5% dan 16,2% dari para pelamarnya, hanya 2,3% dari pelamar itu yang berhasil lolos ke lembaga-lembaga IIT. Stasiun TV CBS menggambarkan IIT dalam program beritanya yang pasti ditonton luas oleh pemirsa, 60 minutes, sebagai “Universitas paling penting yang belum pernah kau dengar sebelumnya”. Salah satu host program itu, Leslie Stahl, sampai mengatakan “Taruh Harvard, MIT, dan Princeton berjajar, dan Anda akan mendapat ide tentang status sekolah-sekolah itu di India”[3]. India dengan bangkitnya informasi, sains dan teknologi telah berjalan untuk mewujudkan kembali kejayaannya di masa silam 1000 tahun yang lalu.
Salah satu cara melihat dampak besar yang manusiawi tentang penggunaan teknologi informasi ialah melihat apa dampak gadget –peralatan modern- terhadap India, yakni telepon selular alias ponsel. Penulis india yang cukup terkenal, Shashi Tharoor, melukiskan dengan sangat baik bagaimana ponsel merevolusi India. Ia mencatat, dalam bulan Desember 2006, untuk pertama kalinya, 7 juta orang India menjadi pelanggan baru dalam sebulan. Ia mengatakan “Ini rekor dunia!”. dalam bulan September 2006, India menyusul China untuk pertama kalinya dalam jumlah pelanggan telepon baru dalam sebulan. Pada tahun 2010, pemerintah India mengatakan India telah mencapai 500 juta pengguna telepon selular.
Tersebar luasnya penggunaan ponsel di India memperlihatkan betapa besar perubahan cara berpikir orang India tentang alat komunikasi modern. Tharoor mengutip pandangan Mantan Menteri Komunikasi India C.M Stephen yang mengatakan di parlemen tahun 1970-an, saat menanggapi kritik-kritik yang menentang kebijakannya yang gencar membuka sambungan telepon baru di negeri itu, bahwa telepon itu barang mewah sehingga ini bukan kebijakan yang tepat, dan bahwa setiap orang india yang tidak puas dengan layanan telepon dapat mengembalikan teleponnya –karena disana ada calon pelanggan yang sudah masuk daftar tunggu selama 8 tahun mencari produk ini yang diandaikan tidak tepat.
Tharoor menekankan bahwa para penerima manfaat dari revolusi ponsel ini bukanlah para kapitalis, melainkan sebaliknya,
“Apa yang sungguh menakjubkan dari mobile miracle (dan saya tidak malu menyebutnya demikian) adalah bahwa alat itu melengkapi sesuatu dalam kebijakan sosialis kita yang telah banyak omong saja, tapi gagal mencapainya –yakni ponsel telah memberdayakan orang-orang yang kurang beruntung. Penerima manfaat terbesar dari ponsel itu bukan hanya golongan yang sudah makmur, tapi rakyat jelata yang sudah sejak lama tak kunjung mampu mewujudkan mimpinya setelah masuk dalam daftar tunggu 20 tahun. Inilah sumber kegembiraan saya : menemukan ponsel di tangan the unlikeliest of my fellow citizens : para sopir taksi, paan wallahs [mereka yang menjual manisan daun sirih], kelompok tani dan nelayan. Sejauh kebijakan pajak kita tetap mempertahankan biaya rendah dan murah bagi rakyat untuk menggunakan ponselnya, maka pertumbuhan terbesar dari penggunaannya akan diraih di sektor ini. Komunikasi, dalam India yang baru adalah lompatan besar.”[4]
Sebuah artikel yang terbit di The Washington Post, Oktober 2006 memperkuat gagasan kunci Tharoor. Bahwa massa yang miskin di India adalah penerima manfaat terbesar dari merebaknya revolusi ponsel.
“Dengan harga kurang dari satu Penny permenit –harga panggil ponsel termurah di dunia- para petani India di pedalaman dapat mengecek harga-harga untuk produk mereka. Mereka dapat memonitor pula pasar-pasar lokal untuk mendapatkan harga yang bagus. Mereka juga dapat mencari tahu kecenderungan global dengan ponsel berbasis internet yang memperlihatkan harga labu siyam atau pisang di London atau Chicago. Para petani India menggunakan kamera ponselnya untuk memotret gambar-gambar hama tanaman, kemudian mengirim foto-foto itu dengan ponsel kepada para pakar biologi untuk diidentifikasi dan cara-cara yang dianjurkan untuk membasminya. Di kota-kota, para tukang pipa leding, yang selalu menawarkan kerja dari pintu ke pintu sekarang dapat berkata bahwa mereka dapat meraih pekerjaan tanpa kesulitan karena konsumen dapat memanggil mereka langsung dengan ponsel. “Ini semua telah mengubah dinamika komunikasi dan bagaimana mereka mengorganisir hidup”, kata C.K prahalad, seorang profesor bisnis kelahiran India di University of Michigan yang telah banyak menulis tentang bagaimana perdagangan dan ponsel dapat memerangi kemiskinan. “Salah satu elemen kemiskinan adalah kurangnya informasi” tambahnya. “Ponsel memberi kepada orang miskin informasi sebanyak kelas menengah”. Bagi Rajan, salah seorang nelayan jutawan yang bekerja 4.350 mil dari garis pantai India, pendapatan bulanannya naik sekurang-kurangnya tiga kali lipat menjadi rata-rata 150 dollar AS sejak tahun 2000 ketika ponsel mulai booming di India. “Agen sekarang terpaksa memberi kami lebih banyak uang karena ada kompetisi,” katanya, sambil menambahkan ia sekarang bisa menghidupi keluarganya dengan cara yang tak pernah dapat dibayangkan ayahnya, termasuk sebuah rumah dengan listrik dan sebuah televisi.”[5]
Bollywood - Duta informasi budaya India
Di samping revolusi ponsel, satu duta informasi India adalah Bollywood. Bollywood adalah senjata rahasia kebudayaan India yang mampu berproduksi 5 kali jumlah film-film Hollywood –yang mengantarkan India ke pentas dunia, tidak hanya bagi orang India diaspora di AS atau Inggris, tetapi juga ke layar-layar lebar Suriah dan Senegal. Seorang ibu di Senegal yang buta huruf setiap bulan naik bus ke Dakar hanya untuk menonton film India. Meskipun ia tidak mengerti dialognya yang berbahasa Hindi, apalagi terjemahnya yang berbahasa Perancis, tapi ia dapat menangkap semangat dan jalan cerita film-film itu. Orang seperti ibu itu melihat India dengan mata berbinar. Di Suriah, satu-satunya foto yang dipajang secara publik disana sebesar foto Presiden Hafez Al-Assad adalah foto Amitabh Bachan (Marlon Brando-nya India).
Daya tarik film-film India di kalangan penduduk dunia Islam juga mengagumkan –terutama di Pakistan -dan Indonesia. Padahal dalam sejarahnya India punya masalah Hindu-Islam yang menyebabkan dua anak benua memisahkan diri –India dan Pakistan- pada tahun 1947. Yang menakjubkan, sesungguhnya film-film India ditujukan untuk menghibur masyarakatnya yang mayoritas Hindu. Dan menariknya, ibu negara Pakistan ternyata juga penggemar film-film Hindi. Ada kebijaksanaan yang terkandung dalam eksistensi Bollywood. Salah satu kekuatan Bollywood adalah kemampuannya dalam mengatasi perbedaan Hindu-Muslim. Produser dan aktor-aktor terdepannya datang dari kalangan Hindu dan Muslim dan mereka dapat bekerjasama dengan baik. Mereka memproduksi film yang menggugah imajinasi Hindu dan Muslim, Taaj Mahal dan Joda Akbar misalnya. Ini bertentangan dengan kenyataan di Hollywood dimana mereka gagal menjembatani dunia Kristen-Muslim, dan sedihnya justru memperkuat prasangka komunitas Kristen terhadap Muslim dan bukan mengikisnya, yang kemudian sangat merugikan citra Islam di dunia internasional.
India hari ini adalah pusat studi dan pengembangan teknologi informasi di dunia. pakar-pakar IT yang brilian berkumpul di India dan menciptakan produk-produk teknologi informasi yang mensuplai kebutuhan global akan teknologi informasi. Bangalore dan sekitarnya adalah ibukota teknologi informasi dunia. Mimpi India adalah menjadi pusat teknologi informasi dunia. Mimpi ini agaknya direalisasikan India dengan sangat serius. Dengan penguasaannya terhadap informasi dan teknologi informasi, peradaban India mulai beranjak naik.[6]
***
India dan Korea Selatan adalah dua contoh ideal bagaimana penguasaan terhadap informasi dan teknologi informasi dapat memicu kebangkitan peradaban. Korea Selatan dan India memiliki sejarah yang sama-sama gelap, korban kolonialisme yang miskin dan tertindas. Tapi dengan kesadaran dan semangat baja keduanya bangkit memimpin kebangkitan peradaban di Asia. India dan Korea Selatan adalah contoh yang harus dipahami sebagai pelajaran berharga oleh dunia Islam, bagaiamana mendayagunakan informasi dan teknologi informasi untuk menunjang kebangkitan peradaban Islam. karena siapa yang menguasai informasi, dia menguasai dunia. Adagium ini telah terbukti kebenarannya selama berabad-abad.
Wallahua’lam Bissawwab. 
*Disampaikan dalam Diskusi Akhir Tahun HMJ-Tikom Unissula dengan tema "Peran Teknologi Informasi untuk Kebangkitan Peradaban Islam. Kamis, 05 Juli 2012 di Taman Baca Perpustakaan Pusat Unissula.

[1] Michael Breen, The Koreans : Who They Are, What They Want, Where Their Future Lies (London : Orion Business Book, 1998), Hal 5.
[2] Hannah Beech,  Asia’s Great Science Experiment. Time. 23 Oktober 2006
[3] Kanta Murali, The IIT Story : Issues and Concern. Frontline 20 No.3 1-14 Februari 2003
[4] Shashi Tharoor, Meanwhile : India’s Chellphone Revolution, International Herald Tribune, 2 Februari 2007
[5] Kishore Mahbubani, The New Asian Hemisphere : The Irresistable Shift of Global Power to The East, hal 27-29
[6] Oleh-oleh Prof. Laode M. Kamaluddin, Ph.D dari India.

2 komentar: