Indahnya
hidup jika kita belajar memandang kehidupan dengan meniru perspektif Baginda
Nabi Muhammad saw. Tentu saja kita tidak mungkin bisa mendekati apalagi menyamai
perspektif beliau yang begitu agung. Tapi sebagai umatnya, kita boleh berusaha
mendekatinya, meneladaninya semaksimal mungkin semampu kita sebagai manusia
biasa, yang sesungguhnya begitu mudah tergelincir, baik dalam urusan hati,
pikiran, ucapan maupun laku. Hanya dengan mengikat diri kepada Allah dan
Rasul-Nya, kita inshaallah bisa
selamat dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan gelombang cobaan.
Dalam
kehidupan kita selalu diuji oleh Allah dengan berbagai macam hal seperti kesenangan dan kesusahan atau kelapangan dan
kesempitan. Tidak ada satupun manusia yang bebas dari ujian ini, sekalipun seorang
pribadi agung sepanjang sejarah umat manusia, Baginda Nabi Muhammad saw. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an “Apakah kamu
mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum nyata orang-orang yang
berjihad diantara kamu dan belum nyata orang-orang yang sabar”[1]
Konon,
ujian Allah berupa kesenangan dan kelapangan sering melenakan umat manusia dan tak jarang ujian berupa kesusahan dan
kesempitan membuat hati kita marah, bahkan dalam tingkat yang lebih akut dapat
menyebabkan kekufuran –Naudzubillah min
dzalik. Padahal jika kita mau merenungkan, sejatinya kesenangan dan
kesusahan atau kelapangan dan kesempitan hanyalah makhluk Allah, keduanya
bersifat oposisi dan dipergilirkan Allah kepada semua manusia untuk menguji
mereka. Entah kesenangan maupun kesusahan, atau kelapangan maupun kesempitan, keduanya
sama saja di hadapan Allah.
Kemudian
kita mengetahui bahwa Allah mengirim dua karakter agung kepada manusia, yaitu
syukur dan sabar untuk bekerjasama, bersijalin di dalam diri sebagai bekal
dalam mengarungi dinamika kehidupan. Syukur dan sabar adalah dua sisi mata uang
dalam Islam, yang tidak boleh berjalan
sendiri-sendiri. Keduanya harus beriringan di segala situasi yang dihadapi
seorang hamba.
Saat
kita dikaruniai kesenangan dan kelapangan hidup kita harus bersyukur. Tapi
syukur saja tidak cukup, kita juga harus bersabar. Sudah jamak bahwa kesenangan
dan kelapangan berpotensi membawa seseorang pada kelalaian. Disini, sabar
berfungsi sebagai kontrol agar kita tetap ingat, tetap sadar, tetap waspada dan
tetap terhindar dari kelalaian, sikap berlebihan, rasa sombong karena merasa
nikmat itu kita peroleh sebagai keberhasilan pribadi dan bukan semata-mata
karena kasih sayang Allah. Dalam konteks inilah sabar harus tetap ada dalam kondisi
senang dan lapang. Agar kita tetap ingat bahwa semua nikmat itu asalnya dari
Allah sehingga kita tetap tawadhu dan tidak menyombongkan diri atas segala
sesuatu yang sejatinya bukan milik kita, tapi sekedar ujian Allah bagi kita
sebagai manusia.
Dalam
kesusahan dan kesempitan kita harus bersabar. Tapi sabar saja tidak cukup, kita
juga harus bersyukur. Mengapa bersyukur..?? Karena di dalam kesusahan dan
kesempitan Allah memberi kita kesempatan untuk memperbaharui diri. Dengan
kesusahan dan kesempitan Allah memberi kita ujian penghapus dosa. Rasulullah
saw bersabda “Tidaklah seorang muslim
ditimpa kegelisahan, atau kesempitan, atau sekedar tertusuk duri kecuali Allah
pasti akan mengampuni dosa-dosanya”. Kita harus bersyukur karena dengan
kesusahan dan kesempitan kita diingatkan bahwa kita sesungguhnya adalah lemah,
tidak berdaya tanpa pertolongan Allah sehingga membuat hati kian ingat kepada
Allah untuk kemudian bertaubat dan memperbaiki diri dalam rangka mengharap
ampunan dan rahmat Allah.
Dengan
kesusahan dan kesempitan Allah menghapus dosa-dosa kita. Ini penting bagi kita karena
dosa kita yang menggunung. Jika saja setiap hari sepanjang hidup kita terus
menunaikan shalat taubat misalnya, niscaya ia tak akan mampu menghapuskan
dosa-dosa kita karena begitu besarnya dosa-dosa yang terus kita perbuat,
kecuali jika Allah berkenan melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua.
Itulah
mengapa, jika kita mau merenungkan kehidupan dengan segala dinamikanya dengan mencoba
meneladani perspektif Rasulullah saw. Maka segala kesenangan ataupun kesusahan,
kelapangan ataupun kesempitan, sehat ataupun sakit, kemudahan ataupun
kesulitan, sesungguhnya semua adalah
indah, semua adalah nikmat, semua adalah rahmat.
Dalam
kehidupan ini sering kita melihat orang yang kaya sejak lahir karena mewarisi
kekayaan orang tuanya, atau orang yang mulia sejak lahir karena mewarisi
kemuliaan leluhurnya, atau orang yang ditakdirkan lahir dengan otak super
cerdas sehingga begitu mudah menyerap ilmu pengetahuan tanpa perjuangan yang berarti,
mudah menyelesaikan soal-soal matematika yang rumit, mudah mempelajari
bahasa-bahasa asing, dan segala kemudahan lainnya. Sering kita melihat orang
dengan ribuan kesempatan membentang di depan matanya dengan akses luar biasa
untuk meraih masa depan cemerlang.
Sebaliknya,
tidak jarang kita melihat orang yang sudah bekerja keras sepanjang hayat tapi
tak kunjung sejahtera. Tidak sedikit seorang bayi lahir dengan mewarisi aib
orang tuanya dan menanggungnya sebagai beban seumur hidup. Tidak jarang kita melihat
orang yang begitu sulit memahami ilmu pengetahuan betapapun ia sudah belajar
siang dan malam. Atau orang-orang yang begitu sulit mendapat akses untuk meraih
masa depan disebabkan himpitan kehidupan.
Mengapa
hal-hal kontradiktif di atas harus mewujud dalam kehidupan manusia?? Mengapa
kehidupan seolah memanjakan sebagian orang dan tak adil pada sebagian yang
lain?? Mengapa dan mengapa..?? Pertanyaan semacam ini tentu wajar, konsekwensi dari
fitrah manusia sebagai makhluk yang berakal. Tapi pernahkan kita berpikir bahwa
semua realita tersebut adalah bagian dari hukum Allah yang memang harus ada dan
terjadi?? Tidak mungkin ada kekayaan jika Allah menghendaki kekayaan itu tiada.
Tidak mungkin ada kemiskinan jika Allah menghendaki kemiskinan itu tiada. Tidak
ada yang terjadi kecuali segalanya atas izin Allah. Sebagaimana Allah ridho
dengan adanya kelapangan, Allah juga ridho dengan adanya kesempitan. Begitu
juga Allah ridho atas segala realita yang terjadi di muka bumi ini.
Semua
realita tersebut adalah rangkaian ujian tak berkesudahan yang harus kita hadapi
sepanjang hayat masih di kandung badan. Benar bahwa Allah memberi kita
kemerdekaan untuk berikhtiar dan itulah alasan mengapa kita begitu istimewa di
hadapan Allah. Namun ikhtiar bukan satu-satunya parameter kehidupan untuk
kemudian ‘dituhankan’. Ikhtiar semata-mata sebagai prasyarat dan konsekwensi
logis dari kehidupan yang pada akhirnya, toh,
semua kembali pada ketetapan Allah Sang Pemilik Kehidupan.
Yang
sesungguhnya harus benar-benar kita upayakan sebagai hamba adalah bagaimana
cara agar kita sukses melalui setiap jengkal tahapan ujian kehidupan baik
senang ataupun susah, lapang ataupun sempit dengan segala dinamikanya sehingga
kita mampu mencapai puncak tertinggi dari keseluruhan tujuan hidup ini, yaitu
ridho Allah sehingga Allah berkenan menghimpun kita di Jannah-Nya yang diberkahi. Dan tidaklah kita mampu melewatinya,
kecuali dengan selalu menggantungkan diri kepada Allah dengan berpegang teguh
pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Tidaklah kita bisa selamat melewati
kehidupan ini kecuali dengan selalu menstandarkan diri pada Rasulullah saw
dalam setiap gerak kehidupan. Memang begitu berat dan tidak mudah. Siapa yang
mengatakan mudah pasti dia telah berbohong. Karena jika gunung diberi amanah atas
apa yang diamanahkan pada manusia, niscaya ia hancur berkeping-keping
disebabkan rasa takutnya kepada Allah. Menjadi manusia memang tidak pernah
mudah.
Dalam
kehidupan, sering kita mendengar para motivator berkata “Jika engkau terlahir miskin itu bukan salahmu, namun jika engkau mati
dalam keadaan miskin, itu baru salahmu”. Ya, dalam konteks memotivasi
seseorang untuk menjadi lebih baik boleh sih.
Tapi secara kritis statemen ini tidak adil dimana kemiskinan merupakan bagian
dari realitas-realitas kehidupan. Tidak adil karena sudah menderita, miskin,
masih disalahkan pula. Kaya atau miskin adalah bagian dari ujian Allah kepada
hamba-hamba-Nya. Jika kekayaan dan kemiskinan semata-mata dibedakan karena
ikhtiar manusia, niscaya tidak mungkin Ali bin Abi Thalib ra dan Fatimah binti
Muhammad ra miskin. Tidak mungkin Rasulullah saw, Abu Bakar ra, dan Umar bin
Khattab ra keluar tengah malam karena menanggung rasa lapar yang melilit. Tidak
mungkin umul mu’minin Aisyah ra tak
punya menu berbuka puasa sama sekali meskipun hanya sebiji kurma. Sedang mereka
adalah pribadi-pribadi unggul dalam sejarah peradaban manusia yang jika mau,
dunia pasti tunduk dalam genggaman tangannya.
Kehebatan
Rasulullah saw sebagai utusan Allah, kecerdasan Ali bin Abi Thalib,
keterampilan Abu Bakar dan integritas Umar bin Khattab lebih dari cukup untuk
menjadikan dunia berada di bawah telapak kakinya jika mereka mau dan Allah
menghendaki. Dan memang mereka pernah menjadi sosok kaya raya sampai pada titik
dimana mereka tidak lagi membutuhkan harta benda. Tapi toh, mereka yang agung
juga diuji Allah dengan kesempitan. Artinya, kehidupan ini bukan semata-mata hasil
hitungan matematika manusia, bukan semata-mata urusan sebab akibat. Lebih dari
itu, Allah bebas berkehendak menguji hambanya dalam kapasitas apapun dengan
ujian apapun yang dikehendakinya meskipun logika kita tidak dapat menerimanya. Ujian
Allah tidak pernah membeda-bedakan manusia. Semakin tinggi derajat seseorang di
hadapan Allah, semakin berat ujian kehidupan yang harus dilaluinya. Tapi sungguh
begitu belas kasihnya Allah kepada kita, sehingga Allah tidak akan menguji kita
dengan sesuatu di luar kemampuan kita.
Jadi,
manakah dari kehidupan ini yang bukan rahmat?? Kesenangan atau kesusahan adalah
rahmat. Kelapangan atau kesempitan adalah rahmat. Sehat atau sakit adalah
rahmat. Kekasih atau musuh adalah rahmat. Kaya atau miskin adalah rahmat.
Semuanya indah, semuanya nikmat, semuanya rahmat.
Semoga
Allah selalu memberi kita kekuatan untuk terus memfokuskan diri semata-mata
hanya kepada Allah dan Rasul-Nya meskipun kehidupan menjanjikan gemerlap kenikmatan
yang melenakan atau bahkan derita yang menyakitkan. Semoga Allah membuka
pintu-pintu ilmu yang bermanfaat dan hikmah agar kita mampu memahami Islam
dengan kaffah untuk kemudian berislam
secara kaffah. Semoga Allah mengikat
hati kita dengan kekasih kita Rasulullah Muhammad saw, sang cahaya abadi. Semoga
Allah memberi kita kekuatan untuk selalu menjadikannya sebagai standar hidup
dan pedoman di segala situasi. Ialah pedoman dan teladan yang paling sempurna. Dan
akhirnya, semoga Allah mengumpulkan kita semua bersama Rasulullah saw di Jannah-Nya. Terimakasih Allah atas
Rasulullah saw. Kami diberkahi karena Rasulullah saw J
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama
dengan orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhoannya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena
mengharapkan perhiasan kehidupan ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya.
Dan adalah keadaannya itu melewati batas”
-QS.
Kahfi :28-
Wallahua’lam Bissawwab..
[1] QS.
Al-Imran : 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar