Asrama Mahasiswa UNISSULA, 20 April 2013
22.24 WIB
PRESIDEN DAN AKHLAK RAKYAT INDONESIA
Tulisan ini terinspirasi oleh fenomena di Indonesia, yang
terus memanas khususnya sejak memasuki periode 2013 dengan Presiden Republik
Indonesia sebagai ikon utamanya. Berbagai isu terkait presiden begitu ramai di
media, pro dan kontra terhadap kebijakan presiden tidak dapat dihindarkan.
Inilah konsekwensi demokrasi. Budaya yang sangat baik sesungguhnya, ketika
semua orang dapat menyuarakan isi hati dan kepalanya dengan bebas tanpa takut
adanya tekanan dari pihak tertentu yang sedang berkuasa. Tapi toh, demokrasi juga memiliki konsekwensi
lain yang jika tidak dikawal dengan bijaksana, akan menimbulkan kerusakan yang
lebih buruk daripada totalitarianisme sekalipun.
Oleh karena itu, semua orang dalam lingkup Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib mengawal proses demokrasi tersebut. Dalam
pandangan saya, kaum tercerahkan, atau
yang akan saya sebut dengan istilah kaum
akademisi pada baris-baris selanjutnya[1],
memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar dalam hal ini untuk mengawal dan mengedukasi
masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang cerdas, beradab, dan bermartabat.
Kaum akademisi dengan keilmuannya harus mampu menjadi pencerah masyarakat untuk
dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana
yang buruk, mana yang pantas, dan mana yang tidak pantas.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengupas sedikit isu yang
hari ini begitu ramai di media berkaitan dengan presiden kita yang terhormat,
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Untuk tidak memperlebar topik bahasan, saya
akan membatasi tulisan ini pada isu Akun
Twitter SBY. Tulisan ini saya buat dalam kapasitas saya sebagai bagian dari
kaum akademisi (mahasiswa) yang independen, non-politis dan non-partisan. Dan
tentunya, sebagai warga negara Indonesia, yang insyallah sangat merindukan
Indonesia menjadi lebih baik di masa depan dan bermartabat di mata dunia
internasional. Saya juga menekankan posisi SBY dalam tulisan ini sebagai pemimpin
tertinggi NKRI, presiden Indonesia dan bukan sebagai satu entitas dari golongan
(partai politik) tertentu.
Baru-baru ini, presiden SBY me-launcing akun twitternya dengan username
@SBYudhoyono. Sebenarnya jika ditinjau dari aspek perkembangan teknologi
informasi, fenomena ini biasa-biasa saja, sangat wajar, dan sudah dilakukan
oleh banyak para pemimpin bangsa di berbagai belahan dunia, termasuk Presiden
Amerika Serikat Barack Obama dan ibu negaranya, Michele Obama. Memiliki akun di
sosial media memang penting bagi seorang pemimpin negara karena peran
strategisnya untuk mengetahui realitas masyarakat yang dipimpinnya. Dalam
konteks ini, SBY, justru ‘terlambat’
karena baru memutuskan untuk membuka akun di salah satu media sosial yang
merupakan media sosial terbesar kedua di dunia setelah Facebook.
Hari ini, teknologi informasi telah merevolusi dunia,
menjadikan dunia layaknya sebuah layar datar sebagaimana dituturkan oleh Thomas
Friedman “The World is Flat”. Karena
hal inilah, kemudian interaksi manusia juga mengalami banyak perubahan baik
dalam level personal maupun organisasi (dari organisasi terkecil hingga negara
bahkan antar negara di dunia). Dunia hari ini adalah dunia yang sama sekali
lain dari dunia yang dilihat oleh para pendahulu kita di abad-abad sebelumnya.
Siapa yang menolak realitas teknologi informasi yang sudah menjadi nicaya ini,
dia akan terisolir dari dinamika pergaulan dunia baik dalam ranah lokal,
regional, maupun internasional.
Sosial media semacam Facebook dan Twitter telah menjadi
fasilitas cyber yang secara efektif
mampu menghubungkan begitu banyak orang tanpa batasan ruang dan waktu. Sosial
media berbasis cyber juga berjasa menghubungkan
begitu banyak orang tanpa mempermasalahkan latar belakang sosial golongan
tertentu. Hal ini merupakan hikmah terbesar dari perkembangan teknologi
informasi yang akan membawa umat manusia mencapai sesuatu yang lebih baik dari
apa yang mungkin dipikirkan oleh para pendahulunya.
Hari ini, semua manusia di kolong langit, di daerah manapun,
dari kelas ekonomi apapun, dan anak siapapun, boleh mengakses informasi
sebanyak-banyaknya dari internet. Ini memungkinan setiap orang bisa
mengembangkan potensi individunya untuk kemudian mampu menciptakan
kesejahteraan bagi dirinya dan masyarakat. Karena jalan naik seseorang bukan
semata-mata ditentukan oleh siapa anak siapa, tapi lebih ditentukan oleh akses
terhadap informasi[2].
Sebuah adagium kuno menyatakan bahwa siapa
menguasai informasi dia menguasai dunia. Perkembangan teknologi informasi di awal abad
21 ini telah berhasil mengangkat lebih dari 500juta warga dunia dari kelas
bawah yang seolah hidup tanpa harapan ke level kelas menengah yang mampu
menolong diri sendiri dan keluarganya. Kaum apatis tidak pernah melihat
fenomena ini sebagai sebuah prestasi gemilang suatu zaman yang bahkan usianya
belum lebih dari dua dekade.
Dengan teknologi informasi, seorang anak miskin yang
dalam dunia nyata begitu sulit untuk mendapat akses, bisa dengan leluasa
berguru pada para motivator adiluhung seperti Dalai Lama, Mario Teguh, Tung
Desem Waringin, Bong Chandra, Andri Wongso, John C. Maxwell, Antonio Robin, dll
untuk mengembangkan kualitas pribadinya. Di era teknologi informasi, semua
orang bisa belajar dari para pemimpin besar dunia seperti Ban Ki-moon, Barack
Obama, Hugo Chavez, Abdurrahman Wahid, Mahmoud Ahmadinejad, Toni Blair, Aung
San Suu-kyi, Mahmoud Abbas, dan rekan-rekan sejawatnya dalam kuliah umum yang
mereka sampaikan di berbagai tempat hanya dengan streaming via Youtobe. Di era informasi, semua orang, tanpa peduli
apapun latar belakangnya, dapat berguru kepada para intelektual terkemuka di
berbagai penjuru dunia seperti Muhammad Fethullah Gulen, Muhammad Yunus, Kishore
Mahbubani, Martin Luther King dan rekan-rekannya, lagi-lagi cukup dengan
Youtobe. Di era ini, kita bisa mengakses media-media ternama di dunia seperti The Jakarta Globe, The Economist, Harvard
Business Review, Foreign Affairs,
The Wall Street Journal, Al-Jazeera,
BBC London, dll. Kita bisa mengakses segala macam hiburan, peluang, dan kesempatan
yang bertebaran di seluruh dunia, dalam level apapun yang membuka peluang untuk
meningkatkan kesejahteraan masing-masing individu.
Sungguh, tidak pernah ada masa sebelum era teknologi
informasi di abad 21 ini dimana setiap orang benar-benar memiliki kesempatan
yang sama untuk mengembangkan diri sampai batas maksimal yang bisa dicapainya
tak peduli apapun latar belakang ekonominya. Era teknologi informasi adalah
milik semua orang, dari rakyat jelata hingga pemimpin tertinggi suatu negara
sekalipun. Setiap mereka memiliki hak yang sama untuk mengakses informasi dan
memanfaatkan seluas-luasnya untuk menunjang tujuan dan kepentingan dari
masing-masing individu yang bersangkutan.
Mengingat peran sentral teknologi informasi sebagai
primadona abad 21, maka, fenomena mencemooh, memaki, mengolok-olok seorang
presiden hanya karena twitter-an –entah dari negara manapun yang dilakukan oleh
siapapun- tentu bukan suatu hal yang bijaksana. Hal itu hanya akan menguatkan fakta bahwa seseorang yang
bersangkutan belum benar-benar memahami esensi dari zaman (Abad 21) dimana dia
hidup. Begitulah hukum Tuhan berlaku, siapa mencemooh orang lain, sesungguhnya
dia sedang mencemooh dirinya sendiri. Orang yang mencemooh, selamanya tidak
pernah lebih baik dari yang dicemooh kecuali jika dia bertaubat dan meminta
maaf kepada yang dicemoohnya lalu mau memperbaiki diri dan tidak mengulangi
perbuatannya.
Bagi saya, fenomena akun Twitter SBY membawa hikmah
tersendiri, yang sedikit banyak bisa ditarik benang merah untuk memproyeksikan realitas
akhlak rakyat Indonesia secara umum[3] khususnya mereka yang hobi mencela, mencaci maki dan mengolok-olok para pemimpin.
Dalam konteks ini, saya sebagai muslim, ingin menyoroti fenomena akhlak rakyat
suatu negeri dari perkataan seorang pemimpin negara terbaik sepanjang masa, Rasulullah Muhammad saw. Jika dipikir
lebih dalam, perkataan itu sungguh jenius dan berlaku universal tapi sayangnya
banyak dilupakan khususnya oleh kita, rakyat Indonesia. Perkataan jenius itu
adalah sabda Nabi saw “Kalian akan
dipimpin sebagaimana adanya kalian”[4].
Menurut Fethullah Gulen dalam bukunya Muhammad
saw Cahaya Abadi Kebanggaan Umat Manusia, topik ini menciptakan dimensi baru
dalam ranah aturan sosial. Setidaknya ada 3 dimensi dari sabda Nabi di atas
yang dibedah oleh Gulen dalam bukunya. Gulen menulis :
Pertama, hadist ini
menjelaskan kepada siapapun yang berposisi sebagai rakyat bahwa sebenarnya
posisi mereka sangat penting. Penyebabnya karena siapapun yang menjadi pemimpin
pasti membutuhkan rakyat. Rakyatlah yang memilih pemimpin, dan bahkan
menentukan jalan yang akan ditempuh oleh seorang pemimpin.
Seperti yang kita tahu, sosiologi memiliki aturan yang tidak bisa diubah.
Sebagaimana halnya ilmu-ilmu lain seperti fisika, kimia, dan astronomi juga
memiliki aturan baku yang prinsipnya tidak dapat berubah. Dan prinsip dalam
sosiologi itu bahkan tidak akan berubah sampai hari kiamat. Jadi, jika kita
melihat sebuah komunitas membiarkan kejahatan merajalela di tengah mereka maka
itu pasti terjadi karena mereka membiarkan kejahatan yang serupa bersemayam di
dalam hati mereka. Komunitas itu pasti biasa melakukan dan menetapkan hukum
dengan cara-cara jahat. Demikianlah aturan Illahi yang tidak akan berubah.
Ya, ada baiknya sekarang kita bertanya, apakah kejahatan tengah hidup di
dalam jiwa umat manusia? Apakah kejahatan menemukan lahan subur di dalam jiwa manusia untuk tumbuh-kembang?
Apakah kerusakan merajalela di dalam jiwa mereka?
Jika jawaban atas semua itu adalah “YA”, maka Allah pasti akan memberi
orang-orang itu pemimpin yang sama busuknya dengan mereka untuk memerintah
mereka.
Kedua, hadist ini
menyatakan bahwa peraturan atau undang-undang apapun yang tertulis tidak
memiliki arti apa-apa. Jika sebuah bangsa bersepakat untuk menulis sebuah
undang-undang atau peraturan terbaik yang pernah ada maka itu sama sekali tidak
penting. Karena yang jauh lebih penting adalah implementasi undang-undang
tersebut dalam kehidupan nyata. Jadi, jelaslah bahwa apa yang terpenting bagi umat
manusia adalah akhlak mereka. Jika mereka memiliki akhlak yang baik
sehingga mereka mampu menyikapi segala kesulitan dengan akhlak luhur, pastilah
akan muncul orang-orang yang memerintah mereka dengan akhlak yang luhur pula.
Berikut ini saya ketengahkan sebuah kisah nyata untuk memperjelas masalah
yang sedang kita bicarakan ini.
Tahir Efendi adalah seorang wakil rakyat di parlemen Turki. Dia dikenal
sebagai tokoh yang cerdas dan terpandang. Ketika para wakil rakyat
berlomba-lomba untuk berpidato di berbagai kesempatan, Tahir Efendi justru
selalu berusaha untuk diam. Padahal para pendukungnya selalu memintanya agar
mau menyampaikan pidato pada suatu kesempatan. Karena Tahir Efendi tidak mau
ribut, maka diapun akhirnya mengabulkan permintaan para pendukungnya dengan
menyampaikan sebuah pidato singkat, tapi padat. Berikut ini pidato Tahir Efendi
itu :
“Hadirin sekalian, ketahuilah bahwa kalian adalah para pemilih sedangkan
kami di parlemen adalah orang-orang yang dipilih, sebab parlemen ini memang
hasil pilihan rakyat. Pada kata pemilihan umum atau “pemilihan” (intikhab) itu
sendiri berasal dari kata “pilihan” (nakhbah) yang berarti inti dari segala
sesuatu. Jadi, jangan sampai kalian lupa, bahwa kualitas inti dari segala
sesuatu pastilah tidak akan jauh berbeda kualitas sesuatu itu. Dari susu kita
dapat mengambil intinya yang juga berupa susu, sebagaimana juga dari tawas kita
dapat mengambil intinya yang berupa tawas.”
Cobalah anda renungkan jawaban yang dilontarkan Al-Hajjaj bin Yusuf
Ats-Tsaqofi kepada seseorang yang menyinggungnya dengan menceritakan keadilan
Umar bin Khattab r.a. Al-Hajjaj berkata, “Seadainya kalian semua seperti
sahabat-sahabat Umar bin Khattab, pastilah aku juga menjadi seperti Umar bin
Khattab!!”
Ketiga, setiap
orang harus mencari kekurangan dalam diri masing-masing. Selama setiap orang
terus bersikukuh membela dan membenarkan diri mereka sendiri sembari mengorek
kesalahan orang lain, tidak akan pernah ada kemajuan yang terjadi. Jika setiap
individu enggan mengubah pribadi mereka masing-masing, Allah pasti tidak akan
pernah mengubah apapun yang mereka alami. Jika sebuah kerusakan internal
dibiarkan begitu saja, maka tunggulah sampai kerusakan itu menyebar dan
menjalar hingga ke puncak. Kita tentu dapat menggunakan prinsip ini untuk
melihat kadar kesalehan manusia. Dapat pula kita katakan bahwa kondisi para pemimpin
yang selalu berhubungan dengan kondisi rakyat sebenarnya serupa dengan hubungan
sebab-akibat”
(Muhammad saw Cahaya Abadi Kebanggaan
Umat Manusia, hal 267-269)
Dari hadist Nabi dan apa yang dipaparkan Gulen dalam
bukunya, kiranya sangat jelas bahwa rakyat Indonesia memiliki peran fundamental
dalam memilih pemimpin dan menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
jangka panjang. John Stuart Mill menyebutnya nilai suatu bangsa dalam jangka panjang adalah akumulasi dari nilai
individu-individu yang ada di dalamnya[5].
Krisis sesungguhnya yang dialami rakyat Indonesia dan
melatari segala bentu krisis lainnya adalah krisis akhlak. Contoh paling nyata
adalah betapa mudahnya suara kita dibeli dengan beberapa lembar uang puluhan
ribu rupiah saja dalam pemilu, atau dengan iming-iming janji tertentu kepada
pihak tertentu. Kebanyakan kita masih memilih pemimpin karena iming-iming
dunia, dan bukan semata-mata karena kredibilitas sosok yang bersangkutan. Di
Kanada misalnya –diceritakan A. Fuadi dalam Ranah
3 Warna- tidak ada satupun calon pemimpin yang berani mengambil kebijakan money politic dalam kampanye untuk
pemilu. Karena jelas, rakyat Kanada akan mem-black list orang tersebut dan tidak akan memilihnya sama sekali. Di Kanada, Money politic justru menjadi awal
kehancuran bagi seorang calon pemimpin. Jadi tepat apa yang
dikatakan Gulen, kejahatan pemimpin terjadi karena kita membiarkan kejahatan
bersemayam di dalam jiwa dan masyarakat kita. Jika kebiasaan buruk ini tidak
kita hapuskan, selamanya kita tidak akan pernah memperoleh sosok pemimpin yang
ideal.
Kembali ke akun Twitter SBY, adalah hak masing-masing
individu untuk setuju atau tidak setuju terhadapnya, hal inipun berlaku untuk
semua kebijakan presiden di bidang apapun. Seorang presiden dari negara bernama
Indonesia yang demokratis harus rendah hati dan legowo untuk menerima kritik dan membebaskan pihak oposisi untuk menyuarakan
pendapatnya. Oposisi sering menjadi ukuran sehat atau tidak sehatnya demokrasi
di suatu negara. Semakin sehat hubungan pemerintah dengan oposisi, semakin
sehat pula iklim peradaban di negara yang bersangkutan.
Tapi yang pelu dicatat adalah, bagaimana cara agar siapapun
yang memilih opsi sebagai pihak oposisi
terhadap pemerintah mampu menyampaikan pendapatnya dengan tata cara yang baik, menjunjung tinggi etika sopan santun,
beradab dan bermartabat sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang
dicontohkan para founding father sehingga
bisa menjadi contoh dan teladan bagi siapapun di sekitarnya.
Menyampaikan pendapat atau protes terhadap pemerintah
dengan cara caci maki dan olok-olok tidak dapat dibenarkan dengan alasan
apapun. Hal itu tidak pantas dilakukan oleh umat manusia, baik secara individu
maupun kelompok, terutama siapapun yang mengaku dirinya muslim dan mengikuti
akhlak Nabi Muhammad saw. Terlebih lagi, hal semacam itu jelas tidak pantas
dilakukan oleh siapapun yang merupakan bagian dari kaum akademisi yang
sejatinya memiliki tanggung jawab moral dihadapan Tuhan dan masyarakat untuk
mencerahkan masyarakat dengan ilmu pengetahuan dan teladan yang baik.
Adalah wajar jika muncul isu kontroversif dari seorang
pemimpin negara dan tiba-tiba setiap orang berubah menjadi pengamat politik
‘adi luhung’ untuk mengkritisi dirinya. Ini adalah konsekwensi era informasi di
abad 21. Tapi hendaknya akhlak tetap dijaga dalam mengomentari setiap kebijakan
pemerintah yang tidak kita sepakati. Menghujat, mencaci maki, dan mengolok-olok
pemerintah dengan segala kebijakannya bukan saja menurunkan wibawa diri
sendiri, tapi juga merusak wibawa bangsa dalam skala yang lebih luas, khususnya
di dunia internasional. Jadi, dalam hemat saya, salah satu alasan mengapa bangsa
Indonesia kurang dihormati oleh pihak-pihak tertentu di dunia internasional,
tidak lain disebabkan, karena kita rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya
menghormati diri sendiri dan para pemimpinnya. Fenomena bintang porno Norwegia
yang dengan tanpa etika ngetweet
presiden SBY[6],
bukan semata-mata merendahkan martabat SBY saja selaku pemimpin tertinggi
negeri ini, tapi juga merendahkan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Presiden di level organisasi apapun adalah ikon yang
menjadi titik pusat kehidupan dan wibawa organisasi yang bersangkutan. Semoga
kita bangsa Indonesia tidak pernah lupa, bahwa SBY adalah sosok yang dipilih
oleh sebagian besar rakyat Indonesia pada pemilu 2009 lalu. Inilah konsekwensi
demokrasi..!! Jika kemudian banyak dari kebijakan dan program-programnya tidak
kita sepakati, betapapun beliau pada akhirnya begitu mengecewakan sebagian
besar rakyat yang sudah memilihnya, betapapun seseorang membencinya entah
dengan alasan apapun, SBY tetaplah presiden kita yang harus kita hormati dan
kita dukung program-programnya dengan ikut proaktif dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Meskipun itu juga sekaligus berarti bahwa kita harus proaktif
mengingatkan jika ada dari kebijakan ataupun program-program beliau yang tidak
pro rakyat, tentu saja dalam batas wajar namun tepat sasaran dengan tidak
menanggalkan akhlak berdasarkan peradaban yang bermartabat.
Mengkritisi secara membabi buta bukan hanya tidak
efektif, tapi juga merusak masyarakat yang seharusnya kita didik bersama agar
memiliki paradigma dan akhlak yang lebih baik. Saya khawatir, jangan-jangan
kritik kita tidak lagi sehat dan hanya didorong oleh kebencian semata. Saya
khawatir, jangan-jangan bukan hanya karena presiden perlu dikritik, tapi karena
kacamata paradigma kita yang sudah terlanjur kotor sehingga apapun yang ada di
depan kita semuanya nampak kotor. Semoga kita terjaga dari hal-hal yang tidak
berguna.
Jadi, menurut saya, yang terbaik adalah memahami area
tanggung jawab dari masing-masing kita dan mencoba melaksanakan tanggung jawab
tersebut dengan sebaik-baiknya. Jika kita tidak atau belum mampu menolong
Indonesia dengan kepemimpinan dan kekuasaan di level negara, kita semua pasti bisa menolong
Indonesia mulai dari level individu hingga level organisasi yang menjadi area
kita baik formal maupun non formal. Masing-masing kita memiliki area tanggung
jawab yang berbeda-beda terhadap masyarakat. Kita harus membangun nilai-nilai
individu dalam diri masing-masing dengan penuh kesadaran dan memahami bahwa
masing-masing kita memiliki peran yang tidak sepele bagi kehidupan.
Dunia mengalami globalisasi di abad 21. Globalisasi –suka
atau tidak suka- membawa efek positif maupun negatif bagi kehidupan. Di era
global, sekecil apapun yang kita gagas dan lakukan, sedikit banyak akan
berpengaruh bagi individu lain, komunitas, organisasi, bangsa dan negara, bahkan
dunia internasional. Ini disebabkan karena globalisasi menjadikan setiap entitas kehidupan dari level
individu hingga negara memiliki jalinan interkoneksi dan interdependensi satu
sama lain. Maka, mengutip statemen Anies Baswedan, kita harus menyadari bahwa masing-masing kita merupakan bagian dari
warga dunia. Dengan demikian, kita akan lebih bertanggung jawab terhadap
apapun yang kita pikir dan lakukan karena sekecil apapun, semuanya memiliki impact bagi kehidupan.
Saya percaya dengan visi Indonesia Emas 2020 gagasan Anis
Matta dan Ary Ginanjar[7],
saya yakin dengan Visi Nusantara Jaya 45 gagasan Marwah Daud Ibrahim[8],
dan saya juga optimis bahwa prediksi SBY - pada 2045, karakteristik para
pemimpin Indonesia akan sekuat karakteristik para founding father[9]-
bisa dicapai. Tapi kita harus selalu ingat, bahwa untuk menuju kesana kita
harus berjuang dengan sungguh-sungguh secara kolektif dengan memaksimalkan
potensi individu-individu yang ada di Indonesia. Dan semua itu, tidak bisa
tidak, harus dilandasi dengan pembangunan akhlak sebagai bagian terpenting dari
diri masing-masing individu. Indonesia tidak akan menjadi emas, kecuali jika
masing-masing individunya (baca : masyarakat) menjadi emas terlebih dahulu.
Indonesia tidak akan berjaya, kecuali jika masyarakatnya berjaya terlebih
dahulu. Para pemimpin Indonesia pada 2045 tidak akan memiliki karakteristik
yang sekuat para founding father
kecuali jika kita siapkan dengan serius bibit-bibit unggul itu sejak sekarang.
Untuk merealisasikan visi-visi di atas, dibutuhkan
sinergi dari setiap entitas yang ada di Indonesia, dari mulai presiden dan
pembantu-pembantunya dari pusat hingga ke RT dan seluruh rakyat Indonesia. Dalam
konteks ini, kaum akademisi memiliki tanggung jawab yang berat mengingat
keilmuan melekat pada dirinya sehingga kewajiban dan tanggung jawabnya untuk
mencerahkan masyarakat menjadi lebih besar dari entitas manapun yang ada di
Indonesia.
Saya merindukan apa yang dilakukan salah seorang teman
saya dari Myanmar tempo hari[10]
akan terwujud di Indonesia suatu hari nanti. Di akun facebook-nya, teman saya
Khun Soe, meng-update status :
“Happy Bithday Mr. President... <3 You are the best
for us..!! We all love you! May you have all that you wish for us to come true”
Soe dengan bangga mengucapkan selamat ulang tahun kepada
Presiden Thein Sein dan berharap sang presiden sukses merealisasikan
program-programnya untuk rakyat Myanmar. Presiden Thein Sein tentu bukan sosok
sempurna karena berhasil mendapat dukungan moril dari rakyatnya seperti Soe. Kebijakan-kebijakan beliau juga tidak lepas dari kontroversi di internal
Myanmar sendiri mulai dari konflik antar agama, masalah ekonomi, kesejahteraan,
dan politik. Belum lagi kontroversi kebijakannya di ranah internasional. Tapi
bagaimana seorang warganya mengapresiasi, mengucapkan selamat ulang tahun, dan
mendukung program-programnya di sebuah akun sosial media, yang belum tentu
dibaca langsung oleh sang presiden memiliki nilai tersendiri.
Ini adalah PR SBY, dan siapapun sosok yang kelak
meneruskan estafet kepemimpinannya. Bahwa keberhasilan terbesar seorang pemimpin
adalah ketika rakyat bangga untuk dipimpin olehnya, dan juga bangga untuk
menyatakan kepada siapapun siapa pemimpinnya. Soe sudah melakukannya, dan saya
belum merasakan apa yang dirasakan Soe, sebuah kebanggan holistik terhadap
sosok pemimpin, kecuali di level universitas, ketika saya dan teman-teman mahasiswa
bangga untuk menyatakan kepada siapapun saat mereka bertanya “Siapa rektor universitasmu??”.
Saya merindukan generasi saya bisa memiliki kebanggaan
yang tulus kepada para pemimpin negeri ini dan bisa dengan senang hati
mengakuinya di hadapan siapapun, khususnya di dunia internasional. Namun yang
jauh lebih penting di atas semua itu adalah kebanggaan kami yang tulus kepada
para pemimpin negeri ini dan mengakuinya dengan sepenuh hati di hadapan diri kami
sendiri. Kebanggaan itu tidak akan pernah ada di hati kami, kecuali dengan
kerja nyata dan pengabdian yang tulus dari Anda-anda yang terhormat, wahai
Presiden Republik Indonesia dan rekan-rekan sejawatnya sekalian selaku para
pemimpin negeri tercinta, Indonesia.
Kami membangun di area kami, dan anda membangun di area
anda. Mari bekerjasama dengan baik. Mari membangun Indonesia dengan akhlak,
karya, dan kerja nyata. Semoga akan lahir para pemimpin ideal di masa depan
untuk Indonesia yang lebih baik. Amin.
Marlis Herni Afridah,
Presidium Pembinaan Tradisi Keilmuan Islamic Global Leader.
*Islamic Global Leader adalah komunitas mahasiswa non-profit, non-politis,
non-partisan yang bernafaskan Islam dengan program-program pembelajaran untuk
meningkatkan kualitas akhlak dan karakter masing-masing individu, meningkatkan
kualitas multilingual (penguasaan terhadap 2 bahasa asing atau lebih),
meningkatkan pemahaman tentang keanekaragaman budaya dan pemikiran
bangsa-bangsa, membina kemampuan kreatif dalam rangka menciptakan para pemimpin
masa depan yang mampu untuk berhasil baik di level nasional maupun
internasional.
Wallahua’lam
Bissawwab...
[1] Sebenarnya sulit untuk
menggantikan istilah kaum tercerahkan
dengan kaum akademisi karena begitu
kompleksnya definisi sesungguhnya dari kaum
tercerahkan itu sendiri. Disini saya mengalami problem alih bahasa, maka
untuk memudahkan pesan ini sampai kepada pembaca, saya sedikit mensimplifikasi
istilah kaum tercerahkan dengan
istilah kaum akademisi karena pada
keduanya sama-sama melekat ilmu pengetahuan, insyaallah. Wallahua’lam
bissawwab.
[3] Tanpa bermaksud mengeneralisasi.
Saya yakin di tengah-tengah rakyat ada banyak orang-orang yang dengan penuh
dedikasi berjuang sepenuh hati untuk memperbaiki masyarakat dengan jalan apapun
yang menjadi bidang kehidupannya. Semoga Tuhan membalas sebaik-baiknya usaha
mereka. Amin.
[8]
marwahdaud.multiply.com/journal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar