Jumat, 08 Februari 2013

Hidup Adalah Hijrah Tiada Henti


HIDUP ADALAH HIJRAH TIADA HENTI
“Wahai manusia..!! Dengarkanlah nasehatku baik-baik. Karena mungkin aku tak dapat  bertemu kalian semua di tempat ini setelah tahun ini untuk selama-lamanya. Wahai manusia..!! Haram bagi kalian darah dan harta kalian satu sama lain hingga kalian bertemu Tuhanmu kelak seperti muliannya bulan ini. Dan kalian semua akan bertemu Tuhanmu dan akan ditanya semua perbuatanmu. Dan aku telah menyampaikannya. Barang siapa memegang amanah, hendaklah ia sampaikan kepada yang empunya. Dan sesungguhnya semua riba itu mauduah. Akan tetapi, kalian yang punya kendali atas harta kalian. Maka jangan saling mendzalimi..!! 


Adapun setelah ini, wahai manusia, sesungguhnya setan telah berputus asa untuk disembah di tanah ini. Namun dia akan senang jika dipatuhi dalam hal yang kalian anggap sepele. Maka jagalah diri kalian agar tidak merusak iman kalian. Telah kutinggalkan kepada kalian dua perkara, apabila kalian berpegang teguh padanya maka kalian tak akan tersesat untuk selama-lamanya, al-Qur’an dan as-Sunnah.
Wahai manusia..!! dengarkan perkataanku dan perhatikanlah..!!  kalian tahu bahwa setiap orang muslim adalah saudara bagi orang muslim yang lain. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati. Karena itu jangan kalian menganiaya diri sendiri. Ya Allah, sudahkah kusampaikan..??
(Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikannya)
Ya Allah, jadilah saksiku, Ya Allah jadilah saksiku.”
Nasehat Nabi Muhammad SAW dalam Haji Wada’ (Dikutip dari film serial Umar Bin Khattab episode 17, Timeline : 00.22.22 – 00.24.26)
Dunia terus berputar, umur kita semakin bertambah. Tidak pernah sedetikpun waktu berbalik ke belakang. Jika Allah sudah menetapkan, maka tak akan ada satupun yang mampu mengubah ketetapan itu. Begitu juga dengan kematian, tidak akan maju barang sedetikpun, dan tidak akan mundur barang sedetikpun. Allah telah mengajarkan kita hikmah dengan merahasiakan kematian. Bahwasannya dengan tidak seorangpun mengetahui kapan ia akan mati, ia akan selalu bersiap diri dengan berbekal amal-amal shaleh di dunia. Tapi apakah kita melakukannya..?? Apakah kita selalu mengingatnya..??
Sering, setiap kali kita mencoba menjadi baik dalam satu hal, kita dapati bahwa kita telah berbuat dosa dalam hal lain. Setiap kali kita mencoba ketat dalam satu perkara sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, kita dapati bahwa kita begitu abai dan lalai dalam perkara yang lain. Akhirnya sebuah hikmah menyingkap kesadaran, bahwa hidup hasruslah merupakan proses hijrah terus menerus, sebab kita belum pernah benar-benar terbebas dari kejahiliahan sebagai seorang manusia.
Setan begitu lembut menggoda hati kita. Saat kita beramal saleh, berlaku baik kepada orang lain, memberi manfaat yang luas untuk kemanusiaan dan darinya kita mendapati banyak pujian, setan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk dengan secara halus menyusupkan benih-benih ujub ke dalam hati kita. Membuat kita merasa bangga, merasa berjasa, merasa telah menjadi baik, merasa telah berada di jalan-Nya yang lurus, merasa puas, dan berbagai bentuk merasa yang lain, yang tanpa kita sadari bahwa semua itu akan merusak hati kita, merusak niat baik dan keikhlasan yang pada akhirnya dapat merusak amal.  
Hidup adalah hijrah tiada henti. Kita harus terus berjalan menuju-Nya hingga titik terakhir saat kita meregang nyawa. Sungguh, kita sebagai manusia tidak pernah statis. Kita terus berjalan dan berproses dalam dinamika kehidupan : kadang baik, kadang buruk, kadang ingat, kadang lalai, kadang bersyukur, kadang kufur, kadang peka, kadang abai, dsb. Artinya, siapa diri kita sesungguhnya adalah saat kita mati. Maka jangan pernah puas dengan pencapaian kebaikan yang kita peroleh saat ini, karena bisa jadi, bukan kebaikan saat ini yang kita dapati saat kita mati. Jangan pula menjustifikasi kehidupan orang lain, karena manusia selalu berjalan, berproses, dan berubah. Jangan pernah menilai orang, cukup jika mereka membutuhkan, kita bantu. Itulah salah satu nasehat paling bijaksana yang disampaikan guru saya, Prof. Laode M. Kamaluddin, Ph.D dalam penerbangan dari Jakarta ke Semarang sepulang dari Korea pada 02 November 2012 lalu.
Manusia berpotensi menjadi apapun. Maka dari itu, jika hari ini kita berada dalam lingkungan yang baik, dengan guru-guru yang saleh, dengan sahabat-sahabat yang selalu mengingatkan disaat kita lupa, dengan kehidupan yang erat pada aturan Allah dan sunnah Nabi Muhammad SAW, tidak sepantasnya kita merasa aman, merasa cukup, merasa puas, apalagi merasa bangga. Tidak boleh kita kemudian dengan mudah menjustifikasi orang lain yang belum sampai pada titik dimana kita telah sampai. Karena apa yang kita miliki saat ini adalah bagian dari proses yang harus terus dijaga secara konsisten dan diupayakan menjadi lebih baik lagi. Apa yang kita miliki saat ini adalah bagian dari proses yang belum final sehingga tidak selayaknya dibangga-banggakan.  
Dengan kebaikan yang mungkin kita miliki saat ini, kita berpotensi untuk turun ke derajat yang serendah-rendahnya jika kita lalai, ujub, sombong dan lupa diri. Begitupun sebaliknya, orang yang saat ini berlumur dosa, jauh dari hidayah dan bimbingan-Nya, bisa jadi kelak akan menjadi pembela Islam yang paling militan dengan menjadi sebaik-baik manusia yang sebaran manfaatnya rahmatan lil alamin tanpa membedakan agama, suku bangsa, warna kulit, harta dan keturunan. Kita tidak pernah statis, kita terus berubah, berproses hingga titik terakhir dimana kita tidak akan pernah berproses lagi, yaitu saat kematian datang. Siapa diri kita adalah saat kita mati.
Menyaksikan film serial Umar Bin Khattab dan mendengar wasiat Nabi Muhammad SAW dalam haji wada menyibak satu lapis kesadaran bahwa selama ini kita telah banyak tertipu dengan mengabaikan hal-hal sepele dalam kehidupan. Kita melanggar aturan-Nya dalam urusan-urusan sepele dengan perasaan adem-ayem seolah-olah kita tidak melanggar apapun. Kita begitu ketat menjaga keislaman dalam hal-hal yang fundamental bahkan hingga ke ranah filsafat dan pemikiran. Tapi tanpa kita sadari, kita sering abai terhadap hal-hal sepele di sekitar kita berkaitan dengan kewajiban, amanah, batasan-batasan hak milik, mana yang boleh kita makan dan mana yang tidak boleh, mana yang boleh kita manfaatkan karena kita memiliki hak di dalamnya dan mana yang tidak boleh kita manfaatkan karena kita tidak memiliki hak.
Sering hati kita dibutakan oleh kesibukan sepele, menjadikan kita abai, lalai, tidak peka terhadap perasaan dan hati orang lain. Sering kita menjadi begitu egois, kurang  sensitif terhadap fenomena di sekitar kita, terhadap fakir miskin, terhadap orang-orang lemah yang mesti dibela dan dibantu dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Sering kita menghabiskan waktu untuk kegiatan yang tidak bermanfaat, mengedepankan ego dan hawa nafsu dalam suatu urusan daripada mencari maslahat yang lebih luas. Sering tanpa sadar kita membenci, dengki, hasud, marah, iri kepada orang lain padahal sesungguhnya segala isi hati akan dimintai pertanggung jawaban kelak di hadapan-Nya.
Kita begitu teguh membela Islam, mempromosikan pemikiran Islam, berdialektika tentang konsep ketuhanan, konsep alam semesta, konsep kemanusiaan, dan konsep-konsep lainnya dalam kehidupan dengan berlandaskan pada spirit Islam. Kita begitu membanggakan peradaban Islam di masa lalu, membanggakan para pemimpin Islam yang alim saleh, membanggakan tradisi keilmuan para ulama, membanggakan Islam sebagai ajaran sempurna dari Tuhan yang maha sempurna. Tapi di saat yang sama, kita disibukkan dengan hal-hal sepele yang tidak diperintahkan oleh Allah. Kita tertipu dan jatuh justru karena hal-hal sepele yang kita abaikan. Ya Allah, Rabbana dzolamna anfusana, wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna min al-khasirin. Kita sering mendzalimi diri kita sendiri. Seandainya Allah tidak mengampuni dan menyayangi kita, pasti kita termasuk orang yang sangat merugi. Naudzubillah...
Kita juga harus berterimakasih kepada Ali Bin Abi Thalib,RA salah satu sahabat terkasih Nabi Muhammad SAW yang telah dengan begitu gamblang menjelaskan analogi kehidupan sekaligus menunjukkan jalan yang bisa kita tempuh agar selamat. Begini nasehat beliau :
“Wahai anakku..!! Dunia ini bagaikan samudera tempat banyak ciptaan-ciptaan-Nya yang yang tenggelam. Maka jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah. Jadikan ketakutanmu kepada Allah sebagai kapal-kapal yang menyelamatkanmu. Kembangkanlah keimanan sebagai layarmu, logika sebagai pendayung kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nahkoda perjalananmu, dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaan.”
(Dikutip dari buku 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais)
Rasa takut Umar Bin Khattab, RA akan hal-hal sepele yang bisa merusak iman dan amal yang telah secara konsisten terus dibangun sejak masuk Islam bisa kita lihat dalam buku-buku sirah. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah tindakan beliau mencari-cari –seorang diri- unta milik baitul mal yang lepas padahal beliau adalah seorang khalifah, pemimpin tertinggi umat Islam pada saat itu. Beliau takut jika kelak akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah atas unta tersebut, yang sebenarnya tidak seberapa nilainya, bahkan sangat sepele jika dibandingkan dengan kekayaan baitul mal pada saat itu. Dalam ritual haji terakhirnya, sebelum akhirnya wafat akibat pembunuhan yang dilakukan oleh Abu Lu’Lu’ah saat beliau memimpin shalat berjamaah, Umar Bin Khattab,RA berdoa :
“Ya Allah, berilah aku harta di dunia tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit sehingga aku tidak melampaui batas, dan juga tidak melupakan tanggung jawabku. Jumlah yang kecil lebih baik daripada jumlah yang besar tapi menyebabkan lupa kepada-Mu. Ya Allah, umurku bertambah dan telah banyak kehilangan kekuatanku tetapi kewajibanku semakin bertambah. Panggillah aku ketika aku bisa memenuhi tanggung jawabku, tanpa meninggalkan salah satupun.”
***
Ya Allah, semoga Engkau memberi kekuatan kepada generasi Islam di abad 21 yang penuh tantangan untuk bisa meneladani Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, mereka adalah sebaik-baik generasi, sebaik-baik teladan. Semoga kami bisa menghidupkan spirit mereka dalam kehidupan kami dan kehidupan generasi-generasi setelah kami sehingga kami bisa ikut andil menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua. Semoga kelak Engkau mengumpulkan kami dengan Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan orang-orang saleh yang sangat kami cintai. Dan semoga Engkau memanggil kami kembali kepada-Mu di saat telah selesai segala urusan dan tanggungjawab kami kepada-Mu dan kepada manusia. Amin...
Hidup adalah hijrah tiada henti.  
Allah Razi Olsun
Wallahua’lam Bissawwab...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar