Minatku pada world
affair semakin memuncak ketika aku menginjak bangku kelas 6. Di kelas 6 aku
sering autis. Berhubungan sangat intim dengan atlas yang aku pinjam dari
perpustakaan SD, dan entah apakah aku kembalikan atau tidak. Aku lupa ^^. Aku
mulai mencari-cari letak berbagai negara di dunia. aku hafal 8 arah mata angin
di peta, aku hafal bentuk-bentuk negara di peta itu, dimana letaknya, siapa negara
tetangganya, apa mata uangnya, berapa penduduknya, dan bahkan miskin atau kayakah
negara itu, aku tahu. Aku tahu dimana Amerika Serikat yang adi kuasa itu, aku
juga tahu dimana Malta yang seperti gabus kecil mengambang di selatan Yunani,
seperti tomcat dihadapan digdayanya perpaduan Eropa dan Asia. aku bisa
menggambar peta-peta itu dengan presisi yang mencengangkan. Eropa pernah
kugambar, Indonesia, Australia. Dan saat menulis ini, aku baru sadar, bahwa
yang paling aku gambar adalah Amerika dan Eropa Barat. Ah entah mengapa aku
jatuh cinta pada keduanya melebihi pada negara-negara lain di dunia. mungkin
karena keduanya, sesungguhnya secara kasat mata nampak lebih Islami. Arsitektur
yang indah dan eksotis, lingkungan bersih, kedisiplinan tingkat tinggi, dan
nilai-nilai Islam lainnya. Untuk membenarkan pendapatku, aku mencari-cari
legitimasi, Muhammad Abduh sang pembaharu Islam dari Mesir pernah berkata “Aku
melihat Islam di Eropa, dan tidak melihatnya di negara-negara dengan penduduk
Islam”. aku semakin penasaran, apakah Abduh pernah bertandang ke Jakarta..??.
Ah tapi sudahlah, tak perlu mencari legitimasi, Barat
memang sebuah peradaban yang sedang menghegomoni dunia. Barat maju, hebat,
digdaya. Agaknya ia telah juga begitu dalam menghegemoni alam pikiranku. Sejak
SD kelas 5, kupingku sudah tegak berdiri setiap kali mendengar nama Oxford
University, Harvard University, London, Paris, Jerman, dan pernak-pernik barat
lainnya. Di sudut kampungku, seorang bocah yang mungkin tidak diperhitungkan
orang dewasa manapun, telah melanglang buana mengelilingi marcapada. Meskipun hanya dalam pikiran, tak apalah. Bukankah tak ada yang terjadi kecuali awalnya sebuah
mimpi?? Begitu kata Arai dalam Sang
Pemimpi karya Andrea Hirata.
Memasuki bangku SMP, kegilaanku pada hubungan
internasional semakin meningkat. Mungkin karena di SMP aku mulai intim dengan
bahasa Inggris. Sang guru bahasa Inggris, Pak Marwan, sangat menyenangkan.
Beliau bisa menjadikan para murid yang cupet otaknya menjadi cemerlang. Jujur,
sedikit banyak aku setuju dengan tesis Adam Smith, bahwa guru adalah faktor
fundamental dalam pendidikan, bukan semata-mata sistem. Ia mengkritik para guru
yang dianggapnya tidak becus. Soe Hok Gie lebih gila lagi “Guru yang tidak
tahan kritik sebaiknya masuk kranjang sampah”. Aku, yang sedari kecil dididik
dengan etika tingkat tinggi, lebih memilih, “Ya memang begitu kemampuan sang
guru. Mentoknya seperti itu. Beliau telah mengerahkan segenap daya dan upayanya
hingga batas akhir kemampuannya. Ya sudah terima saja. Kalo kita mau pintar ya
belajar sendiri”. Ahh, tapi kadang aku tak yakin juga dengan kata-kataku
sendiri.
Di SMP, aku selalu bersemangat belajar isu-isu
internasional. Dari masalah diskriminasi ras “Apharteid” di Afrika Selatan,
Arroyo di Philiphina, KTT Non-Blok, PBB, dll. Saat kelas 3 SMP, aku melihat
gambar Al-Azhar University Cairo yang didengung2kan sebagai universitas tertua
di dunia. aku tergelak, suatu hari aku akan kuliah disana. Cita-citaku itu
hampir-hampir menjadi kenyataan saat aku lolos tahap pertama beasiswa Al-Azhar
University. Dan impianku hancur berkeping-keping ketika seminggu menjelang hari
H, yang aku sudah sangat yakin bisa kulalui karena tes tahap dua hanya
wawancara biasa, dan itu adalah keahlianku untuk meyakinkan orang lain. Xixixii
maklum bakat jadi sales..:D
Apa daya Al-azhar bukan jodohku. Hanya satu minggu
menjelang test Departemen Agama terlibat perang dingin dengan pemangku
kebijakan pendidikan di Mesir. Begitulah informasi yang aku dapat. Wal hasil,
kami, para calon penerima beasiswa harus mengubur dalam-dalam impian untuk
dapat belajar ke Al-azhar dengan beasiswa penuh. Akhirnya, kuputuskan untuk S1
di Indonesia saja, dengan catatan, kualitas yang aku bangun di Indonesia tak
boleh kurang dari teman-temanku yang berangkat ke Al-Azhar sekalipun. Akhirnya
diterimalah aku di Unissula, kampus yang dipimpin seorang rektor yang visioner.
Prof. Laode Masihu Kamaluddin, Ph.D , salah seorang dari sedikit rektor dengan
pergaulan internasional yang sangat luas. Di bawah kepemimpinannya, kampus ini
bercita-cita menjadi worldclass islamic
cyber university. Digdaya sekali...!!
Sejak kecil aku sudah terbiasa menggambar peta dunia di
atas selembar kertas gambar. Maka di dalam pikiranku, Amerika, Eropa, Jepang,
Australia atau negara manapun di dunia seolah terasa dekat. Saat di pondok aku
terbiasa berkorespondensi melalui surat dengan berbagai macam kedutaan
negara-negara besar seperti Inggeris, Jepang dan Amerika serikat. Mereka
memberiku buku-buku bacaan. Di antara mereka yang paling dermawan adalah
Amerika Serikat. Mereka memberiku peta besar Amerika Serikat, detail dengan segala
informasi tentang potensi alam dan nama
jalannya. Waktu itu aku terlonjak senang, suatu saat peta ini akan bermanfaat
bagiku. Negeri itu memang arogan, tapi aku menyukainya. Setidaknya mereka
sangat ramah dengan memberiku buku-buku. Begitu pikiran sederhanaku berkerja
pada waktu itu. Ternyata masalahnya tidak sesederhana itu. Tidak semulia itu.
Aahhh semoga suatu hari aku bisa berkeliling dunia bersama suami dan
anak-anakku. Semoga Allah menunjukkan pada kami tanda-tanda kekuasaannya di
berbagai penjuru bumi ini sehingga semakin bertambah iman dan taqwa kami. Semoga.
Semoga. Semoga. Amiiinn..... ;)
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar